Para Pelengkap Penderita (1)
(Bagi demonstran jalanan)
Seberapakah besar bunga yang tumbuh dalam kepala
yang mendorong seribu kakimu
merangsak pagar istana, mendesakkan impian kejayaan
yang mendikte seribu mulutmu
berteriak: sekali merdeka, merdeka sekali!
Ataukah kamu hanya boneka-boneka wayang
yang jumpalitan dimainkan para dalang
mengibarkan pamflet, memekikkan yell dengan nyalang
yang nyaris tak terpahami maknanya
kemudian merobohkan rambu, memecahkan kaca-kaca
tanpa rasa bersalah, tanpa!
Manakah pokok kalimat demo panas di kotakota
jika kamu hanya pelengkap penderita
cuma topeng karton ringkih yang disewa denawa-denawa ?
Para Pelengkap Penderita (2)
Kamus zaman apakah ini
yang menerjemahkan sebutir akal jadi seonggok okol
resah jadi rusuh, ramah jadi amarah
kain sutera santun digantikan rantai seribu borgol
hingga sungai-sungai lapar luapkan aroma darah
Kamukah jua yang larut hanyut dalam arusnya, saudara?
menyanyikan lagu lupa, membutakan mata
menangguk ikan di air keruh
membentak mikropon menantang matari
kamukah jua yang berlari berteriak sepanjang trotoar
menjaga harga-diri demi sepotong ambisi di luar lingkar nalar
membiarkan tonggak-tonggak rubuh
menurutkan nurani yang terbakar
Betapa keringat kaum tertindih menjelma tuba
memabokkan tungku jiwa membarakan amuk massa
lengkaplah kesia-siaan, salah siapa!
Pangenrejo, 2007
Analisis Puisi:
Puisi “Para Pelengkap Penderita” karya Soekoso DM merupakan kritik tajam sekaligus refleksi mendalam terhadap fenomena demonstrasi jalanan yang sering terjadi dalam realitas sosial-politik Indonesia. Terbagi ke dalam dua bagian, puisi ini tidak hanya mempertanyakan motif di balik teriakan dan amarah massa, tetapi juga menguliti bagaimana nalar bisa tergelincir menjadi sekadar simbol, tanpa substansi.
Tema
Tema utama puisi ini adalah kekacauan nalar dalam aksi kolektif—lebih tepatnya, bagaimana perjuangan yang seharusnya lahir dari kesadaran justru berubah menjadi kerusuhan yang didorong oleh kepentingan tersembunyi. Puisi ini mengusung tema tentang manipulasi massa, kerusuhan tanpa arah, dan kritik terhadap kemunduran moral dalam aksi-aksi protes.
Makna Tersirat
Secara tersirat, puisi ini menyingkap ironi dalam gerakan rakyat yang semula bermaksud menuntut keadilan, tetapi justru menjadi alat atau “boneka” dari aktor-aktor yang memiliki agenda tersembunyi.
Baris seperti:
“Ataukah kamu hanya boneka-boneka wayang / yang jumpalitan dimainkan para dalang”
menyiratkan bahwa demonstran bisa saja hanyalah alat kekuasaan lain yang bersuara atas nama rakyat, padahal hanya mengikuti naskah dalang yang tak terlihat.
Sementara bait lain menyoroti absurditas zaman, ketika kekuatan fisik (okol) menggantikan rasio (akal), dan protes berubah menjadi anarki:
“Kamus zaman apakah ini / yang menerjemahkan sebutir akal jadi seonggok okol”
Itu menandakan dekadensi moral dan intelektual, yang mereduksi perjuangan menjadi sekadar kemarahan yang meledak tanpa pijakan nurani.
Puisi ini bercerita tentang sekelompok orang yang berdemo, melontarkan pekik kebebasan, menggoyang pagar-pagar kekuasaan, namun tak benar-benar memahami makna di balik tindakan mereka sendiri. Alih-alih menjadi "subjek utama" perjuangan, mereka justru digambarkan sebagai “pelengkap penderita”—bagian dari kalimat besar sejarah yang tidak punya kekuatan mandiri, hanya menuruti "kata kerja" yang ditentukan pihak lain.
Puisi ini juga bercerita tentang zaman yang gila, di mana makna-makna luhur seperti “merdeka”, “harga diri”, atau “keadilan” mengalami pembusukan karena dibajak oleh kepentingan yang tidak jujur.
Suasana dalam Puisi
Suasana dalam puisi ini sangat penuh emosi, marah, getir, dan sinis. Kata-kata yang digunakan memberi nuansa panas, beringas, dan penuh luka sosial. Suasana ini semakin tegas dalam bagian kedua, di mana digambarkan darah di sungai, mikropon yang dibentak, dan tonggak-tonggak yang rubuh—menunjukkan dunia yang tidak lagi stabil dan tercerai-berai oleh kekacauan.
Amanat atau Pesan yang Disampaikan
Puisi ini menyampaikan amanat bahwa perjuangan tanpa kesadaran hanyalah kesia-siaan. Penyair ingin pembaca merenung—apakah aku bagian dari perubahan sejati, atau sekadar pelengkap dalam kerusuhan yang diarahkan orang lain?
Ia juga memperingatkan bahwa masa depan akan terus suram jika rakyat tidak belajar untuk berpikir kritis dan mengenali siapa yang mengendalikan mereka. Keringat kaum tertindih seharusnya jadi bahan bakar perjuangan, bukan malah dibajak untuk membakar massa menjadi amuk.
Imaji
Puisi ini dipenuhi dengan imaji yang kuat dan mencolok, di antaranya:
- “merangsak pagar istana”: gambaran langsung tentang aksi massa menerobos simbol kekuasaan.
- “boneka-boneka wayang” dan “dalang”: gambaran tentang manusia yang dikendalikan.
- “mikropon menantang matari” dan “tonggak-tonggak rubuh”: imaji kekerasan dan kehancuran.
- “sungai-sungai lapar luapkan aroma darah”: menciptakan nuansa horor dan simbol ketidakadilan sosial yang membara.
Majas
Soekoso DM menggunakan banyak majas untuk memperkuat pesan dan suasana puisi:
Metafora:
- “pelengkap penderita” sebagai metafora bagi orang-orang yang menjadi bagian dari sebuah sistem tanpa daya untuk mengubahnya.
- “dalang” dan “boneka” melambangkan relasi antara kekuatan besar dan massa yang dimanipulasi.
Ironi:
- Ketika “merdeka” hanya jadi pekikan kosong.
- Ketika perjuangan justru menjadi alat dari kezaliman yang baru.
Hiperbola:
- “sungai-sungai lapar luapkan aroma darah”, memberikan efek dramatis pada kerusuhan yang terjadi.
Personifikasi:
- “kain sutera santun digantikan rantai seribu borgol”—seolah kain memiliki karakter moral.
Unsur Puisi
- Struktur: Terdiri dari dua bagian, masing-masing menyajikan narasi yang saling menguatkan. Bentuk bebas tanpa rima menunjukkan ekspresi yang lepas dan bebas, layaknya suara jalanan.
- Nada: Tegas, marah, sarkastik, dan reflektif.
- Gaya Bahasa: Puitik namun tajam, mencampur liris dan politis.
Puisi “Para Pelengkap Penderita” karya Soekoso DM adalah puisi politik yang bukan hanya mempertanyakan keabsahan gerakan demonstrasi, tetapi juga menggugat kesadaran di balik tindakan massa. Ia adalah seruan kepada rakyat—khususnya para demonstran—untuk berpikir ulang: apakah perjuangan ini benar-benar milik kita, atau kita hanya memainkan peran yang ditulis orang lain?
Dengan tema yang kuat, makna tersirat yang menggugah, serta imaji dan majas yang tajam, puisi ini menjadi kritik sosial yang menyala seperti api—mengingatkan kita bahwa menjadi pelengkap penderita dalam sejarah adalah kutukan yang harus dihindari. Jangan sampai, suara yang kita teriakkan hanya gema dari ambisi orang lain.
Catatan akhir: Puisi ini bukan anti-demonstrasi, melainkan anti-kebodohan massa. Ia menghormati perjuangan yang lahir dari nurani, bukan dari skrip kekuasaan.
