Parangtriris
Salam padamu laut: Selamat tidur
Namun dirimu tak pernah mendengkur
Langit dan dadamu bertemu jauh di selatan
Seperti aku dan bayang-bayangku di kepanasan siang
Salam padamu samudra: Selamat jalan
Yang menggigir sunyi sepanjang pasir
Berpaut di telapak hati penyair
Dan selang ombak demi ombak hilang ke pinggir
Ke pedaratan
Ke arah senja membenam
Sumber: Horison (Juli, 1966)
Analisis Puisi:
Puisi berjudul "Parangtriris" karya Yunus Mukri Adi adalah sebuah sajak yang tampak sederhana namun menyimpan kedalaman emosi dan pemaknaan yang luas. Dalam satu bait yang terdiri atas sepuluh baris, penyair menyampaikan sebuah kontemplasi eksistensial di hadapan laut sebagai simbol alam raya dan refleksi diri. Laut tidak hanya menjadi lanskap fisik, tetapi juga medan tafsir batin, tempat segala kegelisahan, kenangan, dan harapan menepi.
Tema
Tema utama dari puisi ini adalah perenungan eksistensial tentang kehidupan, kesunyian, dan hubungan antara manusia dan alam (laut). Penyair membangun sebuah dialog batin antara dirinya dan laut, menghadirkan perasaan sunyi dan puitis yang menyelimuti pengalaman di tepi pantai Parangtritis.
Makna Tersirat
Makna tersirat dalam puisi ini adalah kerinduan akan keheningan dan keterhubungan yang mendalam antara manusia dengan semesta. Laut digambarkan seolah tidak pernah tidur, tidak pernah mendengkur, menandakan bahwa alam terus bergerak, tak pernah benar-benar tenang, meski dalam tampakannya yang diam.
Baris “Langit dan dadamu bertemu jauh di selatan” menyiratkan kehendak untuk menyatu dengan sesuatu yang lebih luas dari diri. Sementara “Seperti aku dan bayang-bayangku di kepanasan siang” menggambarkan keterikatan manusia dengan kesendiriannya—bayang-bayang di bawah terik adalah simbol dari eksistensi yang terus dibayang-bayangi keraguan dan perenungan.
Puisi ini bercerita tentang perenungan penyair di tepi pantai Parangtritis, yang menyapa laut dan samudra sebagai simbol abadi dari sunyi dan ketakterjangkauan. Laut diibaratkan seperti entitas hidup—tak pernah tidur, tak pernah mendengkur—dan menjadi tempat segala perasaan terpaut, dari gelombang yang datang dan pergi, hingga makna yang membenam bersama senja.
Puisi ini juga seperti menggambarkan proses melepas, proses memahami hidup yang terus berjalan—seperti ombak yang datang dan pergi menuju pedaratan, menuju senja yang membenam.
Suasana dalam Puisi
Suasana dalam puisi ini sangat kontemplatif, lirih, dan penuh rasa melankoli. Kata-kata seperti “menggigir sunyi”, “hilang ke pinggir”, dan “membenam” membentuk kesan senja yang syahdu, menandakan proses akhir dari sebuah perjalanan, baik secara fisik maupun spiritual.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Puisi ini mengandung amanat bahwa manusia seharusnya lebih peka terhadap alam dan kesunyian yang dikandungnya, sebab dalam sunyi itu terdapat makna dan ketenangan. Selain itu, ada pesan tersirat tentang keberanian untuk melepas dan menerima perpisahan. Ombak yang datang dan hilang, senja yang membenam—semuanya mengajarkan bahwa hidup adalah rangkaian proses menuju ketenangan dan pemahaman batin.
Imaji
Puisi ini kaya dengan imaji visual dan perasaan yang menyatu dengan alam:
Visual:
- “langit dan dadamu bertemu jauh di selatan” menciptakan visual cakrawala yang luas.
- “ombak demi ombak hilang ke pinggir” menyampaikan gerak berulang yang meneduhkan.
- “senja membenam” memberikan gambaran penutup yang indah namun sarat makna.
Emosional:
- “menggigir sunyi” adalah imaji rasa dingin yang bersifat batiniah, menggambarkan perasaan yang dalam dan penuh renungan.
Majas
Beberapa majas yang digunakan dalam puisi ini antara lain:
Personifikasi:
- “laut: Selamat tidur / Namun dirimu tak pernah mendengkur” menjadikan laut seolah makhluk hidup yang bisa tidur dan mendengkur.
- “yang menggigir sunyi sepanjang pasir” memberi sifat manusia pada sunyi.
Metafora:
- “Berpaut di telapak hati penyair” adalah metafora yang menggambarkan keterikatan emosi dan makna pada laut oleh sang penyair.
- “Seperti aku dan bayang-bayangku” menjadi metafora relasi manusia dengan jati diri atau kenangannya.
Simbolisme:
- “senja membenam” menjadi simbol dari waktu yang berakhir, kehilangan, atau penutup siklus hidup.
Unsur Puisi
Puisi ini memiliki sejumlah unsur intrinsik khas puisi modern:
- Struktur: Tersusun dalam satu bait panjang berisi sepuluh baris tanpa skema rima tradisional. Struktur ini memperlihatkan kebebasan dalam bentuk, namun tetap memiliki keharmonisan ritmis.
- Diksi: Penggunaan kata-kata seperti “menggigir sunyi”, “membenam”, “pinggir”, dan “pedaratan” menunjukkan pilihan diksi yang puitis dan menggugah imajinasi pembaca.
- Nada dan gaya: Nada puisi ini lembut, lirih, seolah bisikan dari hati penyair kepada alam dan dirinya sendiri.
Puisi "Parangtriris" karya Yunus Mukri Adi adalah refleksi yang dalam tentang keterikatan batin manusia dengan laut sebagai metafora kehidupan. Laut tidak hanya dipandang sebagai bentang alam, tetapi juga sebagai lambang kesunyian, kedalaman, dan perjalanan emosi yang tak pernah selesai.
Dengan gaya bahasa yang puitis dan sarat simbolisme, puisi ini mengajak pembaca untuk menyapa alam dalam diamnya, menyelami sunyi yang menggigil, dan pada akhirnya belajar melepas, sebagaimana senja melepas siang ke dalam pelukan malam. Dalam setiap ombak yang datang dan hilang, tersimpan pelajaran abadi tentang hidup, waktu, dan makna keberadaan manusia.
Puisi: Parangtriris
Karya: Yunus Mukri Adi
Biodata Yunus Mukri Adi:
- Yunus Mukri Adi lahir pada tanggal 26 Januari 1941.