Analisis Puisi:
Puisi “Pelesir Air” karya Sam Haidy merupakan karya yang pendek namun menyimpan kritik sosial yang kuat. Disampaikan dengan gaya bahasa yang santai namun menyentil, puisi ini memanfaatkan personifikasi dan ironi untuk menggambarkan bencana banjir di Jakarta dan sekitarnya. Dalam bentuk dua bait dengan masing-masing tiga baris, penyair menyuguhkan narasi yang ringan tapi mengandung makna yang mendalam.
Tema
Tema utama puisi ini adalah bencana banjir sebagai ironi sosial. Air digambarkan seperti tamu yang datang berlibur (pelesir) ke Jakarta dan sekitarnya, namun kedatangannya justru membawa derita bagi warga. Tema lainnya yang tersirat adalah ketimpangan sosial dan ketidakberdayaan manusia dalam menghadapi bencana yang seharusnya bisa dicegah.
Makna Tersirat
Puisi ini mengandung makna tersirat bahwa banjir di Jakarta bukan semata bencana alam, tetapi juga cerminan dari kegagalan manusia dalam mengelola kota dan lingkungannya. Dengan menyebut air “berpelesir” dan “kerasan tinggal”, penyair menyindir sikap permisif, kelalaian, atau bahkan ketidakmampuan pemerintah dan masyarakat dalam mencegah banjir tahunan. Kedatangan air bukan hanya merusak fisik, tapi juga menyisakan luka batin, yang dilambangkan melalui “cinderamata air mata.”
Unsur Puisi
Beberapa unsur puisi yang tampak dalam karya ini antara lain:
- Diksi: Pemilihan kata “pelesir”, “menyisir”, “kerasan”, dan “cinderamata air mata” sangat menarik karena memadukan bahasa yang ringan dengan konotasi serius.
- Bait dan Baris: Terdiri dari dua bait, masing-masing dengan tiga baris. Ini menunjukkan struktur puisi pendek yang padat namun tetap komunikatif.
- Citraan dan gaya bahasa: Unsur ini memperkuat kesan visual dan emosional yang muncul saat membaca puisi.
Puisi ini bercerita tentang banjir yang melanda Jakarta dan sekitarnya. Namun, alih-alih menggunakan kata-kata lugas seperti “banjir” atau “bencana”, penyair justru menyamarkannya dengan diksi metaforis seperti “air berpelesir” dan “menginap di rumah-rumah”. Penggambaran ini menjadikan air seolah-olah makhluk hidup yang datang tanpa diundang, menetap cukup lama, dan pulang membawa penderitaan orang-orang yang terdampak.
Imaji
Puisi ini menampilkan imaji yang kuat dan tajam:
- “Air berpelesir di Jakarta dan sekitarnya” melahirkan imaji visual tentang air yang mengalir ke berbagai wilayah secara luas, dengan nada sindiran terhadap keseringan kejadian banjir.
- “Menginap di rumah-rumah, gedung-gedung” menampilkan gambaran nyata tentang air yang tidak hanya mampir, tetapi tinggal dalam waktu lama, seperti genangan yang tak kunjung surut.
- “Membawa cinderamata air mata” merupakan imaji emosional yang mengaitkan bencana fisik dengan dampak psikologis bagi warga, yakni kesedihan, trauma, dan kehilangan.
Majas
Puisi ini memanfaatkan beberapa majas secara efektif:
- Personifikasi: Air digambarkan seperti makhluk hidup yang berpelesir, menyapa, kerasan, dan membawa cinderamata. Ini menjadikan bencana terlihat sebagai sosok yang aktif, bukan kejadian pasif.
- Sarkasme / Ironi: Penggambaran air yang seolah-olah sedang berlibur dan bersilaturahmi adalah bentuk ironi dari kenyataan bahwa banjir adalah sesuatu yang merusak.
- Metafora: “Cinderamata air mata” adalah metafora bagi penderitaan yang ditinggalkan oleh banjir.
- Repetisi tematik: Kedua bait memiliki struktur serupa—menyebut aktivitas air dan dampaknya—yang memperkuat kesan konsistensi kejadian ini sebagai sesuatu yang berulang.
Suasana dalam Puisi
Suasana dalam puisi ini terkesan tenang di permukaan, namun menyimpan perasaan getir dan sinis di baliknya. Ada campuran antara kelucuan dan kepedihan—membuat pembaca mungkin tersenyum karena cara penyair menyampaikan realitas, tetapi juga merasa tergugah oleh pesan mendalamnya. Nada satir ini menciptakan suasana ironi dan ketegangan yang halus namun kuat.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Puisi ini menyampaikan amanat bahwa bencana tidak akan pernah benar-benar menjadi “alami” jika manusia terus lalai menjaga lingkungan dan membiarkan masalah berulang tanpa solusi. Ada sindiran kepada pengelolaan kota, sistem drainase, dan kesadaran masyarakat yang sering kali tidak berubah meski bencana datang setiap tahun. Penyair juga tampaknya mengajak pembaca untuk lebih peka, peduli, dan bertindak—agar “pelesir air” ini tidak menjadi agenda tahunan yang menyedihkan.
Puisi “Pelesir Air” karya Sam Haidy adalah potret tajam tentang bencana banjir yang dikemas dengan bahasa puitis dan penuh ironi. Dengan tema banjir, makna tersirat tentang kegagalan sistemik, dan penggunaan majas yang kuat, puisi ini menjadi contoh bagaimana puisi dapat menjadi media kritik sosial yang efektif.
Dalam hanya enam baris, penyair mampu membangun dunia yang terasa akrab dan mengganggu—mengajak kita untuk merenungkan betapa seringnya air datang bukan sebagai sahabat, melainkan sebagai tamu yang membawa luka dan air mata.
Karya: Sam Haidy
