Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Pembebasan (Karya Trisno Soemardjo)

Puisi "Pembebasan" karya Trisno Soemardjo bercerita tentang perjalanan batin manusia dalam mencari makna hidup, melepaskan diri dari kepalsuan ...
Pembebasan (1)

Apakah hidup in? nanti kita mati juga!
Tak perlu keriahan: itu riasan hati
Yang minta dipuji-puji, anjungan tidak berarti
Dan nanti hilang juga tiada terduga-duga

Apakah tubuh? Hidupnya hanya sampai kubur!
Tapi jiwa yang sering tidak terpelihara,
Oleh tabiat insani yang suka tekebur
Dan hanya menengok sepintas lalu di bumi fana

Jiwa itulah mata yang tiada terperi!
Hanya bayanganlah hidup kita dan laziman
Mengejar harga diri terkandung dalam Maut.

Tetapi siapa telah mengangkat nilaian diri
Ke atas kemilauan sementara dialah budiman:
Tak ada mati baginya, tapi hidup yang terpasang-surut

Pembebasan (2)

Nanti bila kita bangun di cuaca fajar.
Kita bangkit lagi dan kesadaran baru mulai.
Mengapa membutuhkan tidur sebelum sadar.
Mimpi sebelum tahu kebenaran sendiri?

Nanti dalam bahaya kita pun putus asa,
Kita yang lupa darat dalam kesentosaan:
Dan sewaktu miskin jatuhlah budi-bahasa
Yang dalam kekayaan membudak kebendaan.

Pembebasan (3)

Nantikanlah! Nanti terbuka pula dinihari!
Tiada malam abadi, tak kegelapan yang kekal:
Nanti kita berhenti juga dan berlari-lari.
Tenang tercenung dalam kebesaran jiwa dan akal.

Segala langkah kecil ragu-ragu akan terpukau
Dan cita besar mengedari alam semesta:
Cekcok sempit akan tercekik, kerisauan terhalau.
Dan bersinar megah hasil kemenangan cita-cita.

Kita berjuang dan selama itu kita menunggu
Timbulnya mahamanusia pembawa terang.
Jujur dan patuh, penghalau kesengsaraan bersama.

Cita besar menyala di hatinya, dan dari situ.
Cahaya memancar ke seluruh umatnya, sadar dan girang –
Pembebas dari dahaga, pembimbing kebahagiaan!

Jakarta, 10 Januari 1951

Sumber: Indonesia (Februari, 1951)

Analisis Puisi:

Puisi "Pembebasan" karya Trisno Soemardjo merupakan trilogi perenungan mendalam yang menggugah kesadaran spiritual, sosial, dan eksistensial manusia. Ditulis dalam bentuk tiga bagian terpisah, puisi ini mencerminkan proses pelepasan manusia dari belenggu kedangkalan menuju kebebasan hakiki. Trisno Soemardjo bukan sekadar menawarkan kritik terhadap pola hidup manusia yang terjebak dalam kesementaraan, tapi juga menyalakan obor harapan tentang kebangkitan jiwa, akal, dan nilai-nilai luhur dalam kehidupan manusia.

Tema

Tema utama dalam puisi ini adalah pembebasan jiwa manusia dari belenggu duniawi dan materialisme menuju kesadaran sejati. Puisi ini mengeksplorasi ide-ide besar tentang makna hidup, kefanaan tubuh, kebangkitan moral, dan harapan akan lahirnya mahamanusia—sosok ideal yang mampu membebaskan manusia dari penderitaan batin dan sosial.

Di bagian pertama, temanya lebih eksistensial dan spiritual; bagian kedua membahas krisis moral dan kebendaan; sementara bagian ketiga menyajikan tema harapan dan perlawanan terhadap keputusasaan serta penantian akan kebangkitan kolektif.

Makna Tersirat

Makna tersirat dari puisi ini sangat kaya dan bertingkat. Beberapa makna yang dapat ditangkap antara lain:

1. Kehidupan yang hanya dipenuhi keinginan pamer, kemewahan, dan pujian adalah semu dan tak berarti. Trisno mengkritik kesenangan palsu yang hanya menipu hati:

“Tak perlu keriahan: itu riasan hati / Yang minta dipuji-puji…”

2. Tubuh bersifat sementara, namun jiwa adalah hakikat hidup. Jiwa, yang sering diabaikan karena kesombongan manusia, justru adalah esensi yang kekal dan perlu dijaga.

3. Dalam kesenangan, manusia sering lupa akan asal dan tujuannya, baru ketika sengsara datang, mereka sadar.

“Dan sewaktu miskin jatuhlah budi-bahasa / Yang dalam kekayaan membudak kebendaan.”

Ini menyindir krisis moral yang muncul akibat dominasi materialisme.

4. Harapan itu tetap ada, bahkan saat semuanya tampak gelap. Dini hari akan tiba, dan dalam kebangkitan kesadaran akan lahir pemimpin spiritual dan moral:

“Timbulnya mahamanusia pembawa terang.”

5. Pembebasan bukan hanya tentang fisik atau politik, tetapi yang terutama adalah pembebasan batin.

Puisi ini bercerita tentang perjalanan batin manusia dalam mencari makna hidup, melepaskan diri dari kepalsuan dunia, dan menantikan pencerahan besar dalam bentuk mahamanusia—figur ideal yang membawa kejujuran, kebijaksanaan, dan kebahagiaan kolektif.

Setiap bagian puisi membawa cerita sendiri-sendiri:
  • Pembebasan (1) berbicara tentang kefanaan tubuh dan pentingnya jiwa.
  • Pembebasan (2) mengangkat cerita tentang kejatuhan moral manusia dalam kemewahan dan kebendaan.
  • Pembebasan (3) menarasikan harapan akan munculnya pemimpin bijak yang mampu membimbing umat menuju kebebasan sejati.

Suasana dalam Puisi

Suasana dalam puisi ini berubah-ubah namun tetap dalam bingkai kontemplatif dan reflektif:
  • Pada bagian pertama, suasananya kelam dan pesimistis, menyoroti kefanaan hidup.
  • Di bagian kedua, muncul suasana frustrasi dan keprihatinan, karena manusia kehilangan arah.
  • Namun di bagian ketiga, suasananya berubah menjadi optimistis dan penuh harapan, seolah menyambut fajar baru dalam kehidupan manusia.
Trisno Soemardjo menguasai perubahan suasana ini dengan sangat halus dan terarah, membentuk narasi perjalanan spiritual dari gelap menuju terang.

Amanat / Pesan yang Disampaikan Puisi

Amanat puisi ini antara lain:
  • Hidup yang hanya berorientasi pada materi dan pujian adalah semu dan akan hancur.
  • Jiwa manusia harus dijaga, karena di situlah letak nilai hakiki kehidupan.
  • Kesadaran sering datang terlambat, setelah manusia tertimpa musibah atau penderitaan.
  • Kita harus menantikan dan mempersiapkan kelahiran manusia-manusia bijak yang membawa pencerahan dan pembebasan.
  • Perjuangan batin dan cita besar adalah kunci menuju kebahagiaan dan kemuliaan hidup.

Imaji

Puisi ini sarat akan imaji eksistensial, sosial, dan kosmis yang kuat:
  • Imaji tubuh yang fana: “Apakah tubuh? Hidupnya hanya sampai kubur!” Menggambarkan kesementaraan fisik manusia.
  • Imaji jiwa sebagai mata tak terperi: “Jiwa itulah mata yang tiada terperi!” Menegaskan nilai luhur dan kedalaman batin.
  • Imaji fajar dan dinihari: “Nantikanlah! Nanti terbuka pula dinihari!” Melambangkan harapan, kebangkitan, dan waktu baru.
  • Imaji manusia agung: “Mahamanuasia pembawa terang… pembebas dari dahaga, pembimbing kebahagiaan!” Imaji ini begitu utopis, namun inspiratif, membentuk figur pemimpin sejati.

Majas

Trisno Soemardjo menggunakan berbagai majas yang memperkuat makna dan rasa puisinya:

Pertanyaan retoris
  • “Apakah hidup ini? nanti kita mati juga!” Menimbulkan efek reflektif pada pembaca, seolah menantang pemahaman konvensional tentang hidup.
Metafora
  • “Hidup yang terpasang-surut” → menggambarkan kehidupan sebagai arus pasang surut, naik turun, tidak kekal.
  • “Jiwa itulah mata…” → jiwa disamakan dengan mata sebagai sarana utama melihat kebenaran.
Simbolisme
  • “Cuaca fajar, dinihari” → melambangkan kebangkitan dan kesadaran baru.
  • “Pasar” dalam puisi sebelumnya diganti dengan “kerisauan, cekcok sempit”, menyimbolkan kebodohan sosial yang perlu dibebaskan.
Antitesis
  • “Dalam kekayaan membudak kebendaan” → menunjukkan ironi bahwa kekayaan tidak membuat manusia merdeka, tapi justru memperbudak nilai.
Hiperbola (sedikit)
  • “Cahaya memancar ke seluruh umatnya, sadar dan girang” → memberikan kesan agung dan ideal pada figur sang mahamanusia.
Puisi "Pembebasan" karya Trisno Soemardjo adalah manifestasi perenungan mendalam tentang hakikat manusia, relasi antara jiwa dan tubuh, serta perjuangan menuju kesadaran spiritual dan sosial. Dengan tema pembebasan, puisi ini mengkritik kehidupan yang terjebak dalam kebendaan dan pujian kosong, sekaligus menawarkan harapan tentang bangkitnya kesadaran kolektif dan hadirnya figur pemimpin spiritual—mahamanusia—yang mampu membebaskan umat dari penderitaan batin dan materialisme.

Melalui imaji kuat, suasana kontemplatif, dan majas yang tajam, puisi ini tak hanya menyentuh ranah estetis, tapi juga filosofis dan revolusioner. Pembebasan adalah seruan untuk hidup lebih sadar, lebih bermakna, dan lebih luhur.

Puisi Trisno Soemardjo
Puisi: Pembebasan
Karya: Trisno Soemardjo

Biodata Trisno Soemardjo:
  • Trisno Soemardjo (dieja Trisno Sumarjo) lahir pada tanggal 6 Desember 1916 di Surabaya.
  • Trisno Sumardjo meninggal dunia pada tanggal 21 April 1969 (pada usia 52 tahun) di Jakarta.
  • Trisno Sumardjo adalah salah satu Sastrawan Angkatan 1945.
© Sepenuhnya. All rights reserved.