Analisis Puisi:
Puisi "Penumpang-Penumpang Musim" karya Iyut Fitra merupakan karya puitik yang memuat kompleksitas rasa, ruang, dan waktu dalam balutan metafora kepergian. Dengan gaya khas yang reflektif dan penuh simbol, puisi ini mengangkat realitas emosional dari seorang individu yang mengalami perpisahan, perjalanan, dan kehampaan janji. Puisi ini juga membalut nostalgia, kesedihan, serta harapan samar dalam citraan perjalanan yang begitu manusiawi.
Tema
Tema utama dari puisi ini adalah perjalanan hidup dan kepergian yang menyisakan kehampaan serta penyesalan. Puisi ini menyoroti perpisahan sebagai sesuatu yang tidak hanya fisik, tetapi juga emosional, bahkan eksistensial. Perjalanan tidak hanya dimaknai sebagai mobilitas dari satu tempat ke tempat lain, namun juga sebagai proses mental menuju kedewasaan, kehilangan, dan jarak emosional yang tak dapat dijembatani.
Puisi ini bercerita tentang seseorang yang sedang melakukan perjalanan—mungkin secara fisik melalui bandara dan keberangkatan, namun juga secara batin menuju ketidaktahuan dan ketidakpastian. Ia meninggalkan kota, meninggalkan seseorang yang pernah penting, namun dalam kepulangan atau pertemuan yang ditunggu, hanya tersisa kesepian dan janji yang tidak ditepati.
Pengalaman personal tersebut digambarkan dalam suasana bandara, keberangkatan, dan kenangan masa kecil yang diwakili oleh "sawah", "serunai", dan "taman bunga". Penyair juga menggambarkan ketegangan antara keinginan untuk tinggal dan kebutuhan untuk pergi—perpisahan yang tidak utuh, sebab rindu tidak sempat disampaikan dan janji tak sempat ditunaikan.
Makna Tersirat
Makna tersirat dalam puisi ini mencerminkan kerentanan manusia dalam menghadapi perubahan musim kehidupan, perpisahan yang tidak selalu dramatis, tetapi perlahan mengikis makna dan keakraban. Kata “tualang” berulang kali disebut, memberi simbol pada seseorang yang gemar berpindah-pindah atau pergi, namun dalam konteks ini juga menjadi simbol dari sosok yang meninggalkan tanpa bekas yang utuh.
Puisi ini juga bisa dimaknai sebagai kritik lembut terhadap hubungan manusia modern yang cepat usang dan digantikan oleh kesibukan serta rutinitas. Kepergian bukan hanya meninggalkan tempat, tetapi juga melupakan emosi. Tiket yang seharusnya membawa kepergian fisik justru menjadi simbol penyesalan emosional karena relasi tidak selesai dengan damai.
Suasana dalam Puisi
Suasana dalam puisi ini terasa melankolis, sepi, dan penuh kerinduan yang tak tersampaikan. Bahkan sejak baris awal, kata-kata seperti “jadwal keberangkatan yang sesak”, “kubenci warna tiket”, “jurang yang runtuh dan ruruh”, serta “tualang yang mencuri kesepian” menunjukkan perasaan tertahan, getir, dan penuh luka halus. Ada kekecewaan, tapi bukan yang meledak-ledak—melainkan tenang, diam-diam menghujam.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Puisi ini menyampaikan pesan bahwa setiap kepergian menyimpan kisah dan emosi yang tidak selalu tuntas diucapkan. Ada janji yang tak ditepati, harapan yang menggantung, dan cinta yang tertinggal diam-diam. Dalam hidup, tidak semua hal bisa diselesaikan, dan seringkali kita menjadi “penumpang musim”—datang dan pergi begitu saja tanpa sempat menyelesaikan persoalan batin. Maka, penting untuk mengapresiasi setiap pertemuan dan menyelesaikan apa yang bisa sebelum semuanya menjadi “tiket yang menyesal kupesan”.
Imaji
Puisi ini kaya akan imaji visual dan emosional yang memperkuat suasana. Imaji “bandara”, “warna tiket”, “sawah-sawah mengecil”, dan “pelangi menyungkup kota” menciptakan gambaran konkret yang memperkuat rasa rindu dan kepergian. Sementara itu, imaji “lorong di hatiku adalah orang-orang yang tak saling sapa” dan “ciuman perpisahan yang tak sempat” menggambarkan kehampaan dan kekosongan emosional.
Beberapa imaji yang kuat antara lain:
- “tualang yang mencuri kesepian”
- “sawah-sawah sayup kekanak terbuai serunai”
- “aku pergi bagai layang-layang”
- “tiket yang menyesal kupesan”
Seluruhnya membangun suasana yang hidup, namun tetap membalut kerinduan dan kehilangan dalam lapisan estetis.
Majas
Puisi ini juga menggunakan berbagai majas, seperti:
- Metafora: “aku pergi bagai layang-layang” menggambarkan jiwa yang tak menentu arah, seperti terombang-ambing oleh angin kehidupan.
- Personifikasi: “jurang yang runtuh dan ruruh”, “impian kita saat dulu bermain”, dan “hidup digagal nasib” memberikan nyawa pada objek tak hidup untuk menggambarkan kehancuran emosional.
- Epitet: “tualang yang mencuri kesepian” menunjukkan karakter tualang dengan cara unik dan puitik.
- Repetisi: kata “tualang” diulang beberapa kali sebagai penekanan terhadap sosok yang menjadi pusat emosi dan konflik batin sang penutur.
Puisi "Penumpang-Penumpang Musim" karya Iyut Fitra bukan sekadar puisi tentang keberangkatan di bandara. Ia adalah karya yang menyimpan makna dalam tentang relasi yang tidak selesai, musim hidup yang terus berubah, dan jiwa-jiwa yang berusaha berdamai dengan kepergian. Dalam puisinya, Iyut Fitra merayakan perpisahan tidak dengan tangisan, tetapi dengan renungan tajam yang mengajak pembaca untuk berpikir: perjalanan manakah yang benar-benar selesai, dan perasaan mana yang pernah utuh kembali?
Dengan imaji kuat, majas yang padu, serta suasana sendu yang menyelimuti tiap barisnya, puisi ini mengajak pembaca untuk merenung tentang cinta, jarak, dan waktu—hal-hal yang tak bisa selalu kita genggam, namun tetap kita simpan di ingatan, layaknya tiket yang tak pernah dipakai kembali.
Puisi: Penumpang-Penumpang Musim
Karya: Iyut Fitra
Biodata Iyut Fitra:
- Iyut Fitra (nama asli Zulfitra) lahir pada tanggal 16 Februari 1968 di Nagari Koto Nan Ompek, Kota Payakumbuh, Sumatra Barat.
