Analisis Puisi:
Puisi "Percakapan Bulan Juli" karya Diah Hadaning adalah karya sastra yang sarat kritik sosial dan politik. Dengan gaya bertutur yang menyerupai dialog sehari-hari dan nada yang sarkastis, penyair menyuarakan keresahan masyarakat terhadap berbagai kasus ketidakadilan, pelanggaran hak asasi, serta manipulasi kebenaran oleh penguasa dan media. Puisi ini bukan sekadar refleksi, tetapi juga merupakan bentuk perlawanan dalam bentuk kata.
Tema
Tema utama puisi ini adalah kritik sosial-politik terhadap ketidakadilan dan kemunafikan kekuasaan. Kasus Trisakti, orang hilang, laporan yang disembunyikan, serta kegilaan sosial dan moral dalam kehidupan masyarakat menjadi pokok bahasan yang memperlihatkan keterpurukan sistem dan nilai. Tema lain yang muncul adalah kekecewaan terhadap aparat kekuasaan, kekerasan negara, serta keputusasaan rakyat kecil.
Makna Tersirat
Makna tersirat dari puisi ini adalah bahwa di balik rutinitas informasi dan tayangan media yang terus bergulir, ada ketidakberesan struktural yang dibiarkan dan bahkan ditertawakan. Puisi ini mengajak pembaca untuk tidak menerima informasi begitu saja, sebab di balik kata “aktualita” dan berita-berita besar tersimpan rekayasa, kebohongan, dan ketidakadilan yang disengaja. Ucapan-ucapan dalam bentuk percakapan mencerminkan kegelisahan rakyat terhadap keadaan bangsa, sekaligus sindiran terhadap sikap apatis masyarakat dan hipokrisi penguasa.
Puisi ini bercerita tentang kekacauan dan kebusukan sistem sosial-politik yang disampaikan melalui dialog spontan dan puitis. Dalam bagian pertama, suara-suara dari layar kaca (TV) menjadi pemicu obrolan tentang kasus-kasus besar: Trisakti, orang hilang, korupsi, dan ketimpangan ekonomi. Di bagian kedua, suasana jalan kota menjadi latar dari percakapan yang lebih filosofis dan emosional. Pembicaraan bergerak dari berita menjadi satire, dari kejadian menjadi keluhan eksistensial.
Dengan menyebut nama “Lustrilanang” dan peristiwa Trisakti secara eksplisit, puisi ini berangkat dari peristiwa nyata namun digubah dalam bentuk puitik dan simbolik, menjadikannya karya yang menggugah secara intelektual dan emosional.
Suasana dalam Puisi
Suasana dalam puisi ini penuh kegelisahan, sarkastik, dan mengecam. Dalam beberapa bagian, muncul juga kesedihan, putus asa, bahkan kemarahan yang dipendam. Ini bukan puisi yang lirih atau sentimentil, melainkan karya yang berani dan bernada tajam. Nada-nadanya menggambarkan perasaan frustrasi karena realitas yang korup dan tak kunjung membaik.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Puisi ini menyampaikan pesan bahwa masyarakat harus sadar dan tidak tunduk begitu saja pada konstruksi berita dan narasi kekuasaan. Kebenaran sering kali dikaburkan, korban dilupakan, dan ketidakadilan dibungkus dengan formalitas hukum. Maka, sikap kritis dan kepekaan sosial menjadi penting untuk menghadapi realitas. Melalui nada satiris, puisi ini menyindir orang-orang yang memilih bungkam, para pemimpin yang culas, dan sistem yang memihak kepentingan segelintir orang.
Imaji
Puisi ini membangun banyak imaji sosial dan politik yang kuat, meski tidak eksplisit menggunakan citraan alam atau deskripsi fisik:
- “Layar kaca masih nyala / suaranya berdentang-dentang” → membentuk imaji rumah atau ruang publik yang dipenuhi berita yang gaduh dan membombardir.
- “Spanduk mati” → menciptakan imaji visual tentang tuntutan rakyat yang terbengkalai atau dilupakan.
- “Cinta pertamaku korban si sadis” dan “Cinta terakhirku diterjang mimis” → imaji emosional dan metaforis tentang kehilangan dan kekerasan.
- “Ada yang suka jadi kambing terpilih” → menyindir politisi atau pihak yang bersedia dijadikan korban palsu demi skenario politik tertentu.
Majas
Puisi ini kaya dengan berbagai majas yang memperkuat efek kritik dan sarkasme:
Personifikasi:
- “Layar kaca masih nyala / suaranya berdentang-dentang” → TV digambarkan seolah bersuara keras seperti lonceng, membangkitkan kesan mendesak.
Metafora:
- “Spanduk mati” → tuntutan rakyat yang kehilangan daya, menjadi simbol ketidakberdayaan.
- “Zaman berbiaknya setan” → metafora zaman yang penuh keburukan, tanpa moral.
Sarkasme / Ironi:
- “Sudah puasa terlalu lama!”, “Asal yang dijarah itu predator!” → sindiran terhadap ketimpangan sosial yang dibungkus humor getir.
- “Mati dulu baru ketemu malaikat” → ironi eksistensial tentang harapan dan keselamatan.
Paralelisme:
- Kalimat tanya dan jawab yang ritmis dan berulang memperkuat dinamika percakapan dan tekanan emosi yang dibangun.
Puisi "Percakapan Bulan Juli" karya Diah Hadaning adalah puisi sosial-politik yang berani, cerdas, dan menggigit. Melalui struktur dialog yang spontan dan nada satir, puisi ini tidak hanya mencatat peristiwa sosial, tetapi juga memaksa pembaca untuk merenung dan mempertanyakan realitas yang ada di sekitar mereka. Dengan mengangkat kasus Trisakti, orang hilang, dan sistem manipulatif yang tak kunjung berubah, puisi ini menolak bungkam dan mengajak kita ikut bersuara—dengan atau tanpa megafon, tapi lewat puisi yang tajam dan menyala.

Puisi: Percakapan Bulan Juli
Karya: Diah Hadaning