Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Perut (Karya Wing Kardjo)

Puisi “Perut” karya Wing Kardjo bercerita tentang ketegangan antara waktu yang terus berjalan dengan kesunyian yang tak tergoyahkan di dalam diri ...
Perut

Hari melonjak
dalam perut sajak.
Sepi tak beranjak.

Analisis Puisi:

Puisi “Perut” karya Wing Kardjo adalah contoh kuat dari bagaimana kekuatan puisi tidak terletak pada panjangnya larik, tetapi pada kedalaman makna yang tersembunyi dalam struktur sederhana. Terdiri dari hanya satu bait dengan tiga baris, puisi ini menggambarkan keresahan dan kehampaan batin melalui simbol perut, waktu, dan keheningan.

Meski pendek, puisi ini menyentuh sisi eksistensial manusia dalam menghadapi waktu dan kekosongan, serta menyingkap hubungan antara tubuh, bahasa, dan pengalaman hidup.

Tema

Tema utama puisi ini adalah kehampaan eksistensial dan absurditas waktu dalam kehidupan. Puisi ini menampilkan “hari” yang melonjak — menunjukkan waktu yang terus bergerak — namun semuanya terjadi “dalam perut sajak”, ruang puitik yang seharusnya hidup dan dinamis, namun justru terasa stagnan karena “sepi tak beranjak”. Ini adalah potret ketegangan antara gerak waktu dan diamnya makna.

Makna Tersirat

Makna tersirat dari puisi ini begitu dalam. “Perut sajak” bisa dimaknai sebagai simbol dari pusat emosi dan keintiman puisi itu sendiri — tempat perenungan, tempat kehidupan batin digodok. Namun, meskipun “hari melonjak” — waktu berjalan dengan cepat, penuh kejadian — “sepi tak beranjak”, artinya ada kehampaan yang tidak terpecahkan, bahkan dalam dunia puitik yang seharusnya penuh makna.

Puisi ini menyiratkan bahwa waktu dan kata-kata kadang tidak cukup untuk mengusir kekosongan batin. Bahkan ketika hidup terasa “berjalan” atau “melonjak”, bisa saja jiwa tetap diam, sepi, atau bahkan terasing.

Puisi ini bercerita tentang ketegangan antara waktu yang terus berjalan dengan kesunyian yang tak tergoyahkan di dalam diri seorang penyair atau manusia pada umumnya. Ia mencerminkan pengalaman batin yang membeku, meski dunia di luar terus bergerak. “Hari” sebagai simbol waktu, dan “sajak” sebagai simbol bahasa dan ekspresi, keduanya tidak cukup untuk mengubah kenyataan bahwa “sepi tak beranjak”.

Suasana dalam Puisi

Suasana dalam puisi ini adalah hening, muram, dan kontemplatif. Kata “sepi tak beranjak” mengakhiri puisi dengan kesan kekal terhadap kehampaan. Ada kontras tajam antara gerak dan diam, antara “melonjak” dan “tak beranjak” — menciptakan suasana yang tegang namun membisu.

Amanat / Pesan

Pesan yang dapat ditangkap dari puisi ini adalah bahwa kehidupan (waktu) bisa berjalan sangat cepat, namun perasaan sepi dan kehampaan dalam diri seseorang tidak mudah digeser oleh gerak eksternal. Bahkan ketika kita berpikir bahwa hidup ini penuh kesibukan, terkadang hati kita tetap kosong, stagnan, dan membisu. Puisi ini mengajak pembaca untuk merenung lebih dalam, bahwa tidak semua gerak berarti kehidupan, dan tidak semua diam adalah kematian.

Imaji

Puisi ini menghadirkan imaji abstrak namun kuat:
  • “Hari melonjak”: Menggambarkan waktu yang berlari cepat, penuh dinamika, mungkin juga tekanan.
  • “Dalam perut sajak”: Imaji metaforis yang menyarankan bahwa semua itu terjadi di ruang batin atau ruang bahasa.
  • “Sepi tak beranjak”: Imaji keheningan yang melekat, tak tergoyahkan, membekas dalam.
Imaji-imaji ini menciptakan perpaduan antara dunia luar (hari/waktu) dengan dunia dalam (perut/sepi) yang intens.

Majas

Puisi ini mengandalkan beberapa majas penting, antara lain:
  • Personifikasi: “Hari melonjak” → waktu diperlakukan seperti makhluk hidup yang bisa melonjak, bergerak aktif.
  • Metafora: “Perut sajak” → digunakan sebagai lambang ruang batin penyair, atau ruang puitik tempat kata-kata dan makna dimasak.
  • Paradoks: “Hari melonjak” namun “sepi tak beranjak” → menunjukkan pertentangan antara gerak dan diam, antara luar dan dalam.
Kombinasi majas-majas ini menghasilkan kedalaman makna dalam bentuk yang sangat padat.

Unsur Puisi

Diksi: Kata-kata seperti melonjak, perut sajak, dan sepi dipilih dengan presisi untuk menyampaikan nuansa batin yang kompleks.
  • Struktur: 1 bait 3 baris → menciptakan bentuk miniatur, padat, nyaris seperti haiku modern.
  • Nada: Tenang, reflektif, sedikit suram.
Puisi “Perut” karya Wing Kardjo adalah salah satu bentuk puisi pendek modern yang menggugah dengan kesederhanaannya. Meski hanya terdiri dari tiga baris, puisi ini memuat kedalaman refleksi tentang waktu, kehampaan, dan eksistensi. Ia membicarakan betapa bahkan di tengah derasnya waktu dan kata-kata, kesepian bisa tetap diam dan menetap — tanpa beranjak.

Melalui perut sajak sebagai metafora pusat keintiman bahasa, Wing Kardjo berhasil menciptakan ruang kecil tempat pembaca bisa merasakan ketegangan batin antara gerak dan diam, antara harapan dan kekosongan. Sebuah karya singkat yang menyimpan gema panjang dalam jiwa pembacanya.

Puisi Wing Kardjo
Puisi: Perut
Karya: Wing Kardjo

Biodata Wing Kardjo:
  • Wing Kardjo Wangsaatmadja lahir pada tanggal 23 April 1937 di Garut, Jawa Barat.
  • Wing Kardjo Wangsaatmadja meninggal dunia pada tanggal 19 Maret 2002 di Jepang.
© Sepenuhnya. All rights reserved.