Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Polemik (Karya P. Sengodjo)

Puisi “Polemik” karya P. Sengodjo bercerita tentang ketegangan batin dan polemik pikiran yang timbul dari ketidaktentuan hidup. Sosok lirik merasa ...
Polemik

Wah, matahari terbit lagi
dan aku menyangsikan bulan
yang kembali ke ribaan malam

Kelima bintang dari rasi gubug penceng
mengarahkan pandangannya
ke arah selatan

Gurun yang kita injak bersama
membawakan berita –
gadis, engkau akan kemana?

(Pada saksi pertama
dilontarkan puing yang pertama)
lihat! kapal terbang bersembul dari awan.

Sumber: Zenith (Agustus, 1953)

Analisis Puisi:

Puisi “Polemik” karya P. Sengodjo menghadirkan lanskap puitik yang sarat simbol dan metafora. Ia menyuarakan kegelisahan eksistensial yang dibalut dalam suasana langit malam, gurun, dan peristiwa-peristiwa samar namun penuh makna. Judul “Polemik” sendiri membuka ruang tafsir: pertentangan gagasan, konflik batin, bahkan barangkali juga refleksi sosial-politik. Melalui larik-larik pendek namun simbolik, puisi ini menciptakan dunia yang misterius dan menggugah, seolah mengajak pembaca mempertanyakan kenyataan dan arah tujuan manusia.

Tema

Tema utama puisi ini adalah kegelisahan eksistensial dan ketidakpastian arah hidup di tengah dunia yang penuh tanda-tanda kabur. “Polemik” menyuguhkan sebuah dialog batin yang menyangsikan realitas dan mempertanyakan masa depan, baik secara personal maupun kolektif. Tanda-tanda alam seperti matahari, bulan, bintang, dan gurun bukan hanya latar, melainkan simbol pergulatan batin dan keresahan terhadap arah yang dituju.

Makna Tersirat

Puisi ini menyiratkan keraguan manusia terhadap kepastian dan makna yang selama ini dianggap mapan. Baris pertama — “Wah, matahari terbit lagi / dan aku menyangsikan bulan / yang kembali ke ribaan malam” — menyiratkan ironi: meskipun ritme alam berlangsung biasa, keraguan masih ada. Sang aku lirik tidak merayakan matahari sebagai awal yang terang, melainkan justru mempertanyakan kembalinya bulan — simbol malam, gelap, dan misteri.

Baris “Gurun yang kita injak bersama / membawakan berita – / gadis, engkau akan ke mana?” menunjukkan keresahan terhadap arah — baik arah individu (si gadis) maupun arah kolektif masyarakat. Sang penyair seolah memanggil kita untuk menyadari bahwa banyak keputusan besar terjadi dalam lanskap yang tandus dan ambigu.

Puisi ini bercerita tentang ketegangan batin dan polemik pikiran yang timbul dari ketidaktentuan hidup. Sosok lirik merasa asing bahkan terhadap fenomena alam yang biasa. Ia menyangsikan terang, malam, dan bahkan pertanda langit. Dalam situasi semacam ini, muncul tokoh simbolik: seorang gadis, yang menjadi objek pertanyaan. Kemungkinan ia merupakan simbol generasi, harapan, atau arah masa depan.

Bagian “Pada saksi pertama / dilontarkan puing yang pertama” bisa dibaca sebagai momen awal konflik, perpecahan, atau bencana — di dunia yang sakral atau dunia sosial. Dan akhirnya, kemunculan “kapal terbang bersembul dari awan” menjadi lambang dari kemajuan atau perubahan drastis yang muncul dari ketidakpastian.

Suasana dalam Puisi

Suasana dalam puisi ini sangat kontemplatif, murung, dan penuh ketegangan. Ada perpaduan antara kesunyian dan firasat akan sesuatu yang besar — entah itu perubahan, kehancuran, atau kelahiran baru. Kesangsian terhadap ritme alam membuat pembaca merasa tidak tenang, dan pertanyaan dalam larik tentang si gadis memperdalam suasana galau dan menggantung.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Puisi ini menyampaikan pesan bahwa di tengah dunia yang tampak berjalan sebagaimana biasa, sering kali tersembunyi kegelisahan dan pertanyaan mendasar tentang arah dan tujuan. Penyair mengajak pembaca untuk tidak menerima begitu saja apa yang terlihat di permukaan, dan mulai bertanya tentang makna, kebenaran, serta siapa yang menentukan jalan yang akan ditempuh umat manusia.

Imaji

Puisi ini kaya akan imaji kosmik dan imaji daratan yang luas dan kosong, seperti:
  • “Matahari terbit lagi” → imaji waktu dan pergantian hari yang sudah biasa.
  • “bulan yang kembali ke ribaan malam” → imaji keindahan langit malam sekaligus keraguan terhadap siklus yang berulang.
  • “Kelima bintang dari rasi gubug penceng” → membawa imaji langit astrologis khas Nusantara.
  • “Gurun yang kita injak bersama” → imaji kekosongan, keterasingan, dan kebersamaan dalam kesendirian.
  • “kapal terbang bersembul dari awan” → imaji teknologi, kemajuan, atau sesuatu yang tiba-tiba muncul dan menginterupsi keteraturan.
Imaji-imaji ini menciptakan lanskap puitik yang indah namun ganjil — serasa dalam mimpi.

Majas

Beberapa majas yang muncul dalam puisi ini antara lain:
  • Personifikasi: “bulan yang kembali ke ribaan malam” → malam diibaratkan sebagai ibu atau kekasih yang menerima sang bulan.
  • Metafora: “Gurun yang kita injak bersama” sebagai lambang dari kehidupan yang tandus, realitas sosial yang gersang, atau pencarian makna dalam kehampaan.
  • Simbolisme: Tokoh “gadis” menyimbolkan arah masa depan atau harapan yang belum pasti. “Saksi pertama” dan “puing pertama” menjadi simbol kehancuran awal dalam sejarah atau kehidupan manusia.

Unsur Puisi

Beberapa unsur puisi yang penting dalam “Polemik”:
  • Diksi: Kata-kata seperti ribaan, penceng, ceruk, puing, dan bersembul dipilih dengan seksama, memberi kesan puitik dan mengandung lapisan makna.
  • Nada: Serius, perenungan, dan sedikit sinis terhadap “kenormalan” yang tampak.
Puisi “Polemik” karya P. Sengodjo adalah refleksi filosofis yang dikemas dalam bentuk puitik simbolik. Ia menyoal keteraturan alam dan kehidupan sosial yang terlihat mapan, namun menyimpan keresahan dan pertanyaan eksistensial. Puisi ini tidak memberikan jawaban, melainkan mengajak kita untuk turut merasakan kebingungan dan berani mengajukan pertanyaan — tentang arah hidup, makna kehadiran, dan siapa yang menentukan semuanya. Lewat citraan langit, gurun, dan tokoh-tokoh simbolik, penyair berhasil menyampaikan kesan mendalam tentang polemik batin dan sosial yang tak kunjung usai. Sebuah karya puitik yang tetap relevan dalam dunia yang penuh teka-teki.

Puisi: Polemik
Puisi: Polemik
Karya: P. Sengodjo

Biodata P. Sengodjo:
  • P. Sengodjo (nama sebenarnya adalah Suripman) lahir di Desa Gatak, Kecamatan Tengaran, Kabupaten Semarang, pada tanggal 25 November 1926.
  • Dalam dunia sastra, Suripman suka menggunakan nama samaran. Kalau menulis puisi atau sajak, ia menggunakan nama kakeknya, yaitu Prawiro Sengodjo (kemudian disingkat menjadi P. Sengodjo). Kalau menulis esai atau prosa, ia menggunakan nama aslinya, yaitu Suripman. Kalau menulis cerpen, ia juga sering menggunakan nama aslinya Suripman, tapi kadang-kadang menggunakan nama samaran Sengkuni (nama tokoh pewayangan).
© Sepenuhnya. All rights reserved.