Puake
puan jadi celah
celah jadi sungai
sungai jadi muare
muare jadi perahu
perahu jadi buaye
buaye jadi puake
puake jadi pukau
pukau jadi mau
mau jadi tanah
tanah jadi jemu
pukau pulau
pukaulah bulan
pukau buaye
pukau perahu
pukau seligi
pukaulah camar
pukau laut
pukaulah hiyu
pukau pulau
pukaulah bulan
pukau buaye
buaye biru
pukau rimau
pukaulah bakau
pukau camar
harimau biru
pukau tanah
pukaulah resah
pukau risau
pukau sembilu
pukau seligi
pukau waktu
pukaulah rindu
pukau aku!
kau jadi sia
sia jadi aku
aku jadi siape
siapa jadi aku?
Sumber: O Amuk Kapak (1981)
Analisis Puisi:
Sutardji Calzoum Bachri, penyair avant-garde Indonesia, dikenal sebagai pemimpin pembaruan puisi modern Indonesia. Ia mengguncang norma-norma tradisional dengan membebaskan kata dari beban logika dan sintaksis yang lazim. Salah satu puisi yang mencerminkan pendekatan eksperimental itu adalah “Puake”, puisi yang tidak sekadar bisa dibaca, tetapi harus dialami.
Meski tampak seperti permainan kata yang eksentrik dan penuh repetisi, “Puake” menyimpan jejak pemaknaan yang mendalam, baik secara eksistensial maupun kultural. Berikut analisis puisinya secara mendetail.
Tema
Puisi ini membawa tema metamorfosis dan pencarian identitas. Perjalanan kata-kata dari “puan” hingga “siapa jadi aku?” merupakan proses transformasi yang mencerminkan bagaimana identitas manusia terus berubah dan dipertanyakan dalam pusaran alam, bahasa, dan makna.
Ada pula tema kehilangan arah dan eksistensi, di mana subjek dalam puisi terus-menerus mengalami perubahan bentuk dan kehilangan jati diri hingga pada akhirnya mempertanyakan kembali keberadaannya.
Makna Tersirat
Di balik deretan kata yang seolah tanpa narasi utuh, tersembunyi makna tersirat tentang kehancuran identitas dalam arus waktu dan budaya. Dimulai dari “puan” — sebuah kata yang bisa merujuk pada perempuan atau kehormatan dalam budaya Melayu — kata-kata berkembang menjadi sungai, muara, perahu, buaya, hingga "puake" dan "pukau", sebelum berujung pada “aku” yang berubah menjadi “siape” dan akhirnya “siapa jadi aku?”
Proses ini merefleksikan pencairan makna: sesuatu yang semula bermakna jelas, kemudian melebur dalam transisi, hingga menjadi absurd dan kehilangan pusat. Pukau yang berulang seperti mantra menunjukkan betapa manusia bisa tersihir oleh berbagai bentuk perubahan dan godaan dunia, hingga kehilangan kesadaran akan dirinya sendiri.
Puisi ini bercerita tentang perjalanan simbolik dari asal-usul menuju kehampaan, dari bentuk-bentuk konkret (seperti sungai, perahu, buaya) ke abstraksi yang membingungkan (pukau, sia, siapa). Di antara perubahan itu, muncul kesan bahwa kata dan makna tidak pernah stabil, seperti identitas manusia sendiri yang terus bergeser karena pengaruh waktu, alam, dan keraguan batin.
“Puake” bisa dimaknai sebagai bentuk kekacauan atau letusan emosional (dalam bahasa lisan, "puake" bisa menyerupai “muntah” atau “ledakan”), yang mencerminkan kondisi batin yang kacau.
Suasana dalam Puisi
Suasana dalam puisi ini sureal dan magis, menyerupai dunia mimpi atau ritual mantra. Pembaca seakan dibawa ke dalam pusaran arus yang melibatkan unsur laut, hewan, bulan, dan alam — semua bergerak dan berubah tanpa batas. Di satu sisi, ini menimbulkan kekacauan dan kebingungan, namun di sisi lain menyisakan rasa kagum dan keterpesonaan.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Puisi ini menyampaikan pesan bahwa identitas manusia bersifat cair dan rentan terhadap perubahan yang membingungkan. Dalam kehidupan, manusia bisa kehilangan arah dan jatidiri ketika terlalu larut dalam godaan (pukau), ketika dikuasai oleh dunia luar, atau ketika tidak lagi bisa membedakan antara "aku" dan "siapa".
Akhir puisi yang menggemakan pertanyaan “siapa jadi aku?” adalah puncak dari kegelisahan eksistensial manusia yang terperangkap dalam pusaran transformasi tanpa jawaban pasti.
Imaji
Puisi ini kaya akan imaji alam dan binatang, seperti:
- “sungai”, “muare”, “perahu”, “buaye”, “laut”, “pulau”, “bulan”, “camar”, “hiyu”, “rimau”, “bakau” — semuanya menghadirkan lanskap tropis, nuansa kelautan yang khas Nusantara.
- Imaji itu kemudian dibenturkan dengan kata “pukau” — yang menciptakan sensasi gaib, hipnotik, dan menyeramkan.
- Perubahan cepat dari satu imaji ke imaji lain membentuk sensasi visual dan auditif yang dinamis dan mengguncang.
Majas
Meskipun terkesan tidak menggunakan struktur gramatikal tradisional, puisi ini justru memainkan majas dengan sangat bebas dan kreatif, antara lain:
- Repetisi: Kata “pukau” diulang berkali-kali seperti mantra. Ini menciptakan efek irama dan tekanan batin yang mendalam.
- Metafora: Transformasi dari satu kata ke kata lain (misalnya “perahu jadi buaye”, “buaye jadi puake”) adalah metafora untuk perubahan jiwa atau identitas.
- Personifikasi: Dalam konteks mantra, benda-benda alam seperti “pulau”, “bulan”, “laut”, dan “waktu” diberikan sifat bisa dipukau, seolah hidup dan bisa tersihir.
- Simbolisme: Kata “pukau” menjadi simbol godaan, kekuatan gaib, dan juga kehilangan kendali atas diri.
Puisi “Puake” karya Sutardji Calzoum Bachri adalah puisi yang tidak hanya dibaca, tetapi dialami dan direnungi. Di dalamnya tersimpan perjalanan panjang kata-kata dan makna yang terus berubah, mencerminkan perjalanan manusia dari keberadaan ke kekosongan, dari identitas ke kehilangan arah.
Dengan tema eksistensial, makna tersirat tentang kehancuran jati diri, dan imaji yang memikat, “Puake” menjelma menjadi karya yang menggugah kesadaran pembaca akan betapa rapuhnya posisi manusia di hadapan dunia yang terus berubah. Di ujung puisi, kita dihadapkan pada pertanyaan tajam: “siapa jadi aku?” — pertanyaan yang tak meminta jawaban, tapi mengajak kita merenung lebih dalam tentang siapa sesungguhnya diri kita.
Karya: Sutardji Calzoum Bachri
Biodata Sutardji Calzoum Bachri:
- Sutardji Calzoum Bachri lahir di Rengat, Indragiri Hulu, Riau, pada tanggal 24 Juni 1941.
- Sutardji Calzoum Bachri merupakan salah satu pelopor penyair angkatan 1970-an.
