Rempuyang
Rempuyang cabe dalam bungkus daun sente
Pohon ganyong di kebun rumah kita
Dalam pagar tumbuhan pohon rawe
Kita mufakat untuk seia sekata
Demikian jika pohon kelor itu
Buat obat mata yang rebun tuju
Akan juga baik
Pohon meniran dan babakan pule
Batu padas gunung gamping
Akar ilalang dan daun remujung
Sembilan bulan dalam kandungan ibu
Dunia adalah sarang burung
Lekuk liku lekuk gerit pintu-Mu
Semua mengristal dalam daun jambu
1975
Analisis Puisi:
Puisi “Rempuyang” karya Suripan Sadi Hutomo menghadirkan kekayaan lokal, tanaman obat, dan nilai-nilai kearifan tradisional dalam narasi liris yang padat makna. Disusun dalam bahasa yang sederhana namun puitis, puisi ini seperti ramuan tradisional, menyatukan unsur alam, budaya, dan kehidupan manusia ke dalam satu penghayatan yang utuh.
Melalui penamaan berbagai tumbuhan dan simbol alam, puisi ini membuka ruang refleksi tentang harmoni hidup, warisan leluhur, dan relasi spiritual dengan semesta.
Tema
Tema utama puisi ini adalah kebijaksanaan lokal dan keselarasan manusia dengan alam, yang menyiratkan pentingnya menjaga keseimbangan hidup dengan tradisi, tanaman obat, dan alam sekitar. Ada pula tema kesehatan tubuh dan jiwa, serta spiritualitas manusia dalam hubungan dengan kehidupan dan Tuhan.
Makna Tersirat
Di balik penyebutan beragam tanaman lokal—rempuyang, ganyong, rawe, kelor, meniran, pule, remujung—tersirat makna tentang kearifan tradisional dan pengetahuan leluhur yang masih relevan dalam kehidupan modern. Penyair tidak sekadar menyebut tumbuhan sebagai objek, tetapi sebagai penanda identitas budaya, penyembuh fisik dan batin, bahkan bagian dari filosofi hidup.
Puisi ini juga menyiratkan bahwa manusia lahir ke dunia bukan sekadar biologis, melainkan dalam jaringan yang rumit antara ibu, alam, dan ruang spiritual. Kalimat “Sembilan bulan dalam kandungan ibu // Dunia adalah sarang burung” memberi kita gambaran bahwa dunia adalah tempat perlindungan, namun juga penuh dinamika dan lekuk-lekuk pengalaman yang membentuk kehidupan.
Puisi ini bercerita tentang sebuah tatanan kehidupan tradisional, di mana tumbuhan, rumah, dan kebun memiliki fungsi penting tidak hanya secara praktis, tapi juga spiritual. Di tengah lanskap desa, dengan kebun berisi rempah-rempah dan tanaman obat, terbangun kehidupan yang didasarkan pada musyawarah ("seia sekata"), keharmonisan, dan penghayatan terhadap makna keberadaan.
Bagian akhir puisi, dengan metafora "lekuk gerit pintu-Mu" dan "daun jambu", memberi penutup yang bersifat religius atau spiritual—mengisyaratkan bahwa semua kesederhanaan ini mengarah pada pemahaman mendalam tentang Tuhan atau hakikat kehidupan itu sendiri.
Suasana dalam Puisi
Suasana dalam puisi ini terasa tenang, akrab, dan penuh nostalgia. Pembaca seperti diajak memasuki halaman rumah di desa yang penuh dengan tumbuhan obat, lalu merenungi nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Ada kedamaian, kebersahajaan, dan kehangatan rumah serta alam yang mengelilinginya. Namun juga ada suasana sakral dalam bait-bait akhir, seperti memasuki ruang sunyi spiritual.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Pesan utama puisi ini adalah ajakan untuk menghargai dan merawat warisan tradisional, terutama dalam bentuk tanaman obat dan pengetahuan lokal, karena di sanalah terkandung nilai-nilai kehidupan yang mendalam.
Selain itu, puisi ini menyampaikan bahwa hidup yang harmonis dengan alam, berlandaskan kesepakatan (seia sekata), dan menghormati ibu serta rumah sebagai pusat kehidupan adalah bentuk spiritualitas tersendiri. Di akhir, pembaca diajak menyadari bahwa segala sesuatu—dari rempah hingga gerit pintu—menjadi bagian dari kehadiran ilahi yang mengristal dalam kehidupan sehari-hari.
Imaji
Puisi ini sangat kaya akan imaji visual dan alam:
Visual tanaman tradisional:
“Rempuyang cabe dalam bungkus daun sente”,“Pohon ganyong di kebun rumah kita”,“Pohon kelor… pohon meniran dan babakan pule”
Imaji fisik dan pengalaman hidup:
“Sembilan bulan dalam kandungan ibu // Dunia adalah sarang burung”
Imaji auditif dan gerak:
“lekuk liku lekuk gerit pintu-Mu”
Imaji spiritual yang mengendap:
“Semua mengristal dalam daun jambu”
Imaji-imaji ini membentuk lanskap desa dan batin yang menyatu: antara alam, rumah, ibu, dan Tuhan.
Majas
Beberapa majas utama dalam puisi ini:
Metafora:
- “Dunia adalah sarang burung”: dunia sebagai tempat lahir dan tumbuh manusia, dengan segala kehangatan dan tantangannya.
- “Semua mengristal dalam daun jambu”: seluruh pengalaman hidup mengendap dalam kesederhanaan dan simbol alam.
Simbolisme:
- Tanaman-tanaman yang disebut bukan sekadar flora, tetapi simbol dari kesehatan, penyembuhan, dan kesinambungan hidup.
- “Gerit pintu-Mu” adalah simbol gerakan ilahi atau wahyu dalam kehidupan sehari-hari.
Personifikasi:
- “gerit pintu-Mu” sebagai suara yang memberi makna spiritual dari benda mati.
Aliterasi dan repetisi:
- Frasa seperti “lekuk liku lekuk gerit” memberi efek musikal dan irama puitis yang kuat.
Puisi "Rempuyang" karya Suripan Sadi Hutomo adalah sebuah oase liris tentang kehidupan tradisional yang bersahaja namun kaya makna. Dengan menyebut nama-nama tanaman lokal dan membingkainya dalam suasana desa, puisi ini bukan sekadar nostalgia, melainkan refleksi mendalam tentang akar kehidupan manusia, hubungan dengan alam, ibu, dan Sang Pencipta.
Sebagaimana daun jambu yang mengristal makna, puisi ini menyimpan hikmah dalam kesederhanaan, dan mengajak pembaca untuk kembali merenungi nilai-nilai lokal sebagai jendela spiritual dan eksistensial.
Karya: Suripan Sadi Hutomo
Biodata Suripan Sadi Hutomo:
- Suripan Sadi Hutomo lahir pada tanggal 5 Februari 1940 di Ngawen, Blora.
- Suripan Sadi Hutomo meninggal dunia pada tanggal 23 Februari 2001 di Surabaya.