Rumah
pada putri munziar munaf, ibunda
(kuketuk hatimu)
sepi
dalam keranda. Dan palka gamang
selusuri dara-dara
pada dada bimbang
putik manda
dan sejuta impian kembara
pada setiap kali gigi mentari menerkam
jantung pun panas
terabas angan-angan ke laut lepas
dalam penantian dan langkah tak tentu
kembali pintu rumah kusebut-sebut
(bunda, makin kelam
makin hangat rinduku!)
1980
Sumber: Obsesi (1985)
Analisis Puisi:
Puisi “Rumah” karya Sutan Iwan Soekri Munaf merupakan karya lirikal yang menyentuh sisi paling personal dan eksistensial manusia—kerinduan akan rumah, bukan sekadar sebagai bangunan fisik, tetapi sebagai simbol kehangatan, identitas, dan tujuan hidup. Dengan diksi padat, penuh simbol, serta struktur bebas yang tidak kaku, puisi ini membangun atmosfer batin yang melankolis dan reflektif.
Tema
Puisi ini mengusung tema besar tentang kerinduan akan rumah dan keinginan untuk kembali, baik secara fisik maupun emosional. Rumah di sini menjadi lambang dari kenyamanan, kehangatan, dan keterikatan emosional, terutama kepada sosok ibu (bunda), yang disebutkan di bagian akhir puisi sebagai pusat dari kerinduan itu.
Secara naratif, puisi ini bercerita tentang seseorang yang sedang berada dalam kondisi terombang-ambing, baik secara fisik maupun batin. Ia menyusuri jalan, menghadapi kebimbangan dan panasnya kehidupan (digambarkan lewat “gigi mentari menerkam”), menjelajah impian dan ambisi, namun tetap kembali pada satu hal yang tak pernah padam dalam dirinya: kerinduan pada rumah dan ibunya.
Makna Tersirat
Makna tersirat dari puisi ini adalah bahwa dalam perjalanan hidup yang tidak pasti—penuh kebimbangan, godaan, dan gejolak—rumah dan ibu menjadi simbol keteduhan dan keteguhan paling hakiki. Penyair ingin menyampaikan bahwa betapapun jauh kita berkelana, betapapun kita mencoba menaklukkan dunia, akan selalu ada kebutuhan mendasar untuk kembali, baik secara fisik maupun spiritual, kepada “rumah”.
Keranda, palka, dan laut lepas dalam puisi ini bisa juga dibaca sebagai metafora kehidupan yang terus bergerak menuju kefanaan. “Rumah” menjadi satu-satunya titik tetap dalam hidup yang berubah dan mengguncang.
Suasana dalam Puisi
Suasana dalam puisi ini sangat melankolis dan kontemplatif. Ada rasa sunyi yang mendalam, kebingungan, panasnya perjuangan hidup, dan pada akhirnya, muncul kehangatan emosional yang kuat ketika penyair menyebut “bunda” dan menegaskan bahwa kerinduan semakin menguat seiring semakin kelamnya dunia di sekitarnya.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Amanat dari puisi ini adalah bahwa rumah dan ibu adalah fondasi emosional yang tidak pernah tergantikan dalam hidup, tempat kita bisa kembali ketika dunia di luar terlalu berat dan penuh ketidakpastian. Pesan lainnya adalah tentang pentingnya mengenali batas diri dan menghargai asal-usul, karena dalam kondisi paling bimbang sekalipun, identitas dan cinta yang sejati tetap berpijak di tempat kita berasal.
Imaji
Puisi ini kaya akan imaji puitik yang kuat:
- “sepi dalam keranda” → imaji kematian dan kekosongan batin.
- “palka gamang” → ruang kapal yang mencerminkan ketidakpastian dan kegelisahan jiwa.
- “gigi mentari menerkam” → gambaran metaforis tentang kerasnya hidup atau tekanan harapan dunia luar.
- “jantung pun panas” → tekanan psikologis dan emosi membara.
- “ke laut lepas” → imaji eksplorasi, pencarian, dan juga keterasingan.
- “makin kelam makin hangat rinduku” → kekuatan rasa cinta yang justru tumbuh dalam kesulitan.
Majas
Beberapa majas penting yang digunakan dalam puisi ini antara lain:
- Personifikasi: “gigi mentari menerkam” menggambarkan matahari (atau waktu/hidup) seolah punya niat jahat.
- Metafora: “keranda”, “palka”, “laut lepas” menjadi lambang dari fase hidup yang mengarah ke kefanaan dan keterasingan.
- Paradoks: “makin kelam, makin hangat rinduku” adalah pertentangan logis yang justru memperkuat makna emosional.
- Simbolisme: “rumah” dan “bunda” bukan sekadar tempat atau sosok, melainkan simbol dari kehangatan, penerimaan, dan makna sejati kehidupan.
Puisi “Rumah” karya Sutan Iwan Soekri Munaf merupakan karya kontemplatif yang menyelami lapisan-lapisan terdalam emosi manusia—dari keterasingan, ambisi, kerapuhan, hingga kebutuhan untuk kembali. Rumah menjadi simbol perhentian batin yang paling tulus, dan ibu (bunda) menjadi pusat gravitasi perasaan yang menyatukan semua kebimbangan hidup.
Lewat kekuatan diksi, simbol, dan struktur bebas yang dinamis, penyair mengajak pembaca untuk tidak melupakan akar—karena dalam kehidupan yang keras dan kadang kehilangan arah, rumah dan ibu adalah tempat kita kembali, meski hanya dalam doa atau ingatan yang sunyi.
Puisi: Rumah
Karya: Sutan Iwan Soekri Munaf
Biodata Sutan Iwan Soekri Munaf:
- Nama Sebenarnya adalah Drs. Sutan Roedy Irawan Syafrullah.
- Sutan Iwan Soekri Munaf adalah nama pena.
- Sutan Iwan Soekri Munaf lahir di Medan pada tanggal 4 Desember 1957.
- Sutan Iwan Soekri Munaf meninggal dunia di Rumah Sakit Galaxy, Bekasi, Jawa Barat pada hari Selasa tanggal 24 April 2018.
