Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Rutinitas (Karya Fitri Yani)

Puisi “Rutinitas” karya Fitri Yani bercerita tentang dua tokoh yang menjalani hari-hari yang melelahkan, namun tidak karena beban berat, melainkan ...
Rutinitas

apa yang pertama kali kau ingat
ketika bangun pagi
berangkat kerja, pergi belanja
atau mengunjungi kawan lama
lalu tergesa-gesa menghindari cahaya

kau tidur lagi, kemudian bangun
makan di restoran, menemui kenalan
meneguk sepi hingga mabuk
letih yang biasa
tanpa sempat bermimpi bersama puisi

aku tak jauh berbeda
bangun pagi bersama tumpukan buku
segelas kopi dan sebungkus kretek 
lalu pergi ke gedung-gedung pertunjukan
atau galeri lukisan

kepalaku dipenuhi kata-kata
mataku diselimuti pertunjukan demi pertunjukan
lalu mabuk bersama beberapa kenalan
di pojok kafetaria
ah, letih yang biasa
tanpa sempat memasuki ruang puisi.

Juli, 2011

Sumber: Jurnal Nasional (20 Mei 2012)

Analisis Puisi:

Puisi “Rutinitas” karya Fitri Yani menawarkan potret getir kehidupan manusia urban masa kini. Ia tidak berbicara tentang peristiwa besar atau tragedi megah. Justru, lewat hal-hal kecil dan sehari-hari—bangun tidur, bekerja, minum kopi, dan bertemu kenalan—puisi ini menyodorkan refleksi mendalam tentang kehampaan, alienasi, dan absurditas rutinitas. Di tengah segala yang tampak produktif, sesungguhnya jiwa manusia bisa saja kehilangan makna.

Tema

Tema utama puisi ini adalah kekosongan makna dalam rutinitas harian. Fitri Yani menggambarkan kehidupan manusia modern yang penuh dengan aktivitas, tetapi sepi secara emosional dan spiritual. Setiap tindakan seperti otomatis—dilakukan karena terbiasa, bukan karena keinginan sadar atau penuh makna.

Puisi ini bercerita tentang dua tokoh yang menjalani hari-hari yang melelahkan, namun tidak karena beban berat, melainkan karena kebosanan dan kekosongan batin. Tokoh pertama digambarkan sebagai seseorang yang menjalani rutinitas seperti berangkat kerja, belanja, dan bertemu kawan, tetapi hidupnya terasa mekanis dan tanpa gairah. Tokoh kedua—mungkin penyair itu sendiri—adalah sosok yang lebih dekat dengan dunia seni, membaca buku, pergi ke pameran, dan nongkrong di kafetaria. Namun, meski lebih dekat dengan "dunia estetika", ia pun tetap merasakan kekosongan yang sama.

Makna Tersirat

Di balik gambaran kehidupan harian itu, terdapat makna tersirat yang kuat:
  • Rutinitas tanpa kesadaran bisa menjadi penjara yang mengikis makna hidup.
  • Bahkan kegiatan yang tampak indah dan intelektual seperti membaca atau menikmati seni bisa menjadi rutinitas kosong, jika tidak dilakukan dengan kesadaran dan keterhubungan batin.
  • Ada kerinduan yang samar terhadap sesuatu yang lebih otentik—yang diungkapkan secara simbolis melalui kata “puisi”. Dalam konteks ini, puisi bukan sekadar karya sastra, tetapi lambang dari kepekaan, makna, dan kehidupan yang puitis.

Suasana dalam Puisi

Suasana yang dibangun dalam puisi ini adalah muram dan lelah. Ada nuansa letih eksistensial, sejenis kelelahan jiwa karena terjebak dalam pola hidup yang tidak bermakna, bukan sekadar karena aktivitas fisik. Kata-kata seperti “tergesa-gesa”, “meneguk sepi”, “letih yang biasa” menegaskan bahwa kehidupan yang dijalani terasa seperti pengulangan yang menjemukan.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Puisi ini menyampaikan pesan bahwa manusia perlu merenungkan kembali makna dari aktivitas-aktivitas yang dijalani setiap hari. Hidup yang penuh rutinitas tanpa refleksi bisa menumpulkan rasa dan membuat manusia menjauh dari dirinya sendiri. Pesannya bukan untuk menghindari rutinitas, melainkan menemukan kembali kesadaran dan kejujuran dalam setiap tindakan. Dan mungkin, membiarkan puisi—simbol dari keindahan batin dan makna—hadir kembali di tengah kesibukan.

Imaji

Fitri Yani menggunakan imaji kehidupan sehari-hari dengan sangat jitu:
  • “berangkat kerja, pergi belanja” — imaji keseharian yang sangat nyata dan dapat dikenali siapa pun.
  • “kepalaku dipenuhi kata-kata”, “mataku diselimuti pertunjukan demi pertunjukan” — imaji dari kehidupan kreatif, namun tetap dilanda kelelahan.
  • “meneguk sepi hingga mabuk” — imaji metaforis yang menggambarkan bagaimana kesepian bisa begitu kuat hingga membuat kehilangan kendali.
Imaji yang dihadirkan sangat visual dan sensorik, tetapi juga mengandung kedalaman emosional.

Majas

Beberapa majas penting yang digunakan dalam puisi ini antara lain:

Metafora:
  • “meneguk sepi hingga mabuk” adalah metafora yang menggambarkan kesepian yang begitu pekat hingga menyesakkan.
  • “tanpa sempat bermimpi bersama puisi” — puisi di sini bukan hanya karya sastra, tetapi simbol dari kehidupan yang lebih bermakna dan puitis.
Personifikasi:
  • “mataku diselimuti pertunjukan demi pertunjukan” memberikan kualitas manusiawi pada mata, seolah ia “diselimuti” oleh tontonan, menggambarkan betapa ia terjebak dalam dunia visual yang penuh, tapi kosong secara esensial.
Repetisi (Pengulangan):
  • Pengulangan frasa seperti “letih yang biasa” menciptakan irama khas dan penegasan pada kejenuhan hidup.

Unsur Puisi

Unsur-unsur puisi yang kuat dalam karya ini antara lain:
  • Diksi: Pilihan kata-kata yang sangat familiar dengan dunia pembaca urban (kerja, belanja, restoran, galeri) menjadikan puisinya membumi dan mudah diterima.
  • Gaya bahasa: Menggunakan gaya naratif, tetapi tetap puitis, menjadikan puisi ini seperti kisah lirih yang reflektif.
  • Struktur: Tidak kaku dalam bentuk, tetapi terdiri dari bait-bait yang mengalir bebas seperti arus pikiran.
Puisi “Rutinitas” karya Fitri Yani adalah refleksi eksistensial yang subtil namun dalam, tentang bagaimana manusia modern terjebak dalam kehidupan yang tampak sibuk, tetapi sesungguhnya kosong secara spiritual dan emosional. Melalui bahasa sederhana, namun penuh lapisan makna, penyair menyampaikan bahwa manusia perlu menghadirkan kembali puisi—simbol dari makna dan kepekaan—dalam hidup sehari-hari. Sebab hidup yang hanya dipenuhi kesibukan tanpa sempat “bermimpi bersama puisi” hanyalah perjalanan yang melelahkan tanpa tujuan.

Fitri Yani
Puisi: Rutinitas
Karya: Fitri Yani

Biodata Fitri Yani:
  • Fitri Yani lahir pada tanggal 28 Februari 1986 di Liwa, Lampung Barat, Indonesia.
© Sepenuhnya. All rights reserved.