Sabana (2)
sabana
di bukit kemarau
sabana
bangkitkan rinduku
senyap wajahMu memejam selipu salju
penyap sukmaku lebur di atas mimpiku
sabana
gembala anganku
sabana
ranumlah risauku
langit biru mencabik segenap cintaku
musim tak selesai menggiring kasihMu
Januari, 1974
Sumber: Horison (Mei, 1975)
Analisis Puisi:
Puisi “Sabana” karya Emha Ainun Nadjib, atau yang akrab disapa Cak Nun, merupakan salah satu karya liris yang kaya akan simbol dan spiritualitas. Dengan struktur yang padat, metaforis, dan kontemplatif, puisi ini menawarkan pembaca perjalanan batin melalui lanskap alam, yakni sabana—padang rumput luas yang gersang namun menyimpan potensi keindahan dan ketenangan.
Tema
Tema utama dalam puisi ini adalah kerinduan spiritual yang mendalam dan personal terhadap kehadiran Ilahi atau cinta transenden. Sabana dalam konteks ini tidak sekadar tempat fisik, melainkan metafora batin manusia yang sunyi, tandus, namun menyimpan harapan pertemuan dengan yang dicinta—entah itu Tuhan, kekasih, atau kebenaran sejati.
Makna Tersirat
Puisi ini sarat dengan makna tersirat yang berlapis. Beberapa di antaranya:
- “Sabana di bukit kemarau” mencerminkan kesepian, kehausan spiritual, dan pencarian makna dalam kekeringan hidup. Ini bisa ditafsirkan sebagai kondisi batin yang sedang mengalami kekosongan, namun tetap menyimpan harapan akan kehadiran yang mengisi jiwa.
- “Senyap wajahMu memejam selipu salju” menggambarkan Tuhan atau cinta sejati yang tidak hadir secara nyata, namun terasa begitu dekat, dingin, tenang, dan menenangkan seperti salju. Ada paradoks antara jarak dan kedekatan yang memperkuat nuansa kerinduan.
- “Penyap sukmaku lebur di atas mimpiku” menyiratkan proses spiritual atau emosional yang mendalam, di mana mimpi menjadi medan transendensi dan “sukma” atau jiwa menyatu dengan sesuatu yang lebih tinggi dari dirinya.
- “Langit biru mencabik segenap cintaku” memberi gambaran pertentangan antara keindahan eksternal (langit biru) dan kegelisahan batin, sebuah ekspresi bagaimana dunia luar tak selalu mencerminkan kedamaian dalam diri.
Secara naratif, puisi ini bercerita tentang seorang jiwa yang berkelana di padang sabana—alam terbuka yang hening dan luas—dalam kondisi batin yang merindu. Sabana menjadi tempat simbolik bagi seseorang yang menanti, memanggil, dan mencintai sesuatu yang agung namun tak terjangkau. Ini bisa dimaknai sebagai doa, meditasi, atau momen kontemplasi penuh kesunyian.
Suasana dalam Puisi
Suasana puisi ini sangat hening, syahdu, dan kontemplatif. Hembusan spiritual terasa di setiap larik, mengajak pembaca untuk tidak sekadar membaca, tapi ikut merasakan keheningan sabana sebagai ruang batin yang kosong namun dalam. Ada pula kesan pasrah dan harap—dua sisi dari kerinduan yang tak kunjung padam.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Pesan utama dari puisi ini adalah pengakuan akan kehausan spiritual manusia dan pentingnya keteguhan hati dalam menunggu, mencari, dan memelihara cinta yang tak kasatmata. Bahwa hidup bisa terasa gersang seperti sabana kemarau, namun di dalamnya tetap bisa tumbuh kerinduan yang ranum, harapan yang tak padam.
Amanat lainnya menyentuh aspek keikhlasan menerima kesunyian, kegelisahan, dan ketiadaan sebagai bagian dari perjalanan mendekati kehadiran Ilahi atau cinta yang hakiki.
Unsur Puisi
Beberapa unsur puisi yang menonjol antara lain:
- Tipografi dan pengulangan kata “sabana” berfungsi membangun struktur musikal dan memperkuat ide sentral.
- Kata-kata seperti “kemarau”, “rindu”, “senyap”, “gembala”, “risau”, dan “langit biru” menyumbang pada pembentukan atmosfer batin puisi.
Imaji
Puisi ini sangat kaya akan imaji visual dan afektif:
- Visual: “sabana di bukit kemarau”, “langit biru”, “salju”, “sabana ranumlah risauku”.
- Afektif: “rinduku”, “risauku”, “cintaku”, “kasihMu”—menyampaikan rasa galau, rindu, cinta spiritual, dan pencarian emosional yang dalam.
Imaji-imaji ini membuat pembaca masuk dalam ruang batin penyair, ikut merasakan sunyi dan harap dalam satu tarikan nafas.
Majas
Beberapa majas dominan dalam puisi ini meliputi:
- Metafora: Sabana digunakan sebagai simbol kondisi batin manusia. “Langit biru mencabik cintaku” menggambarkan pertentangan antara kenyataan luar dan perasaan dalam.
- Personifikasi: “senyap wajahMu memejam” memberi sifat manusiawi pada kehadiran Ilahi yang diam.
- Simbolisme: Seluruh puisi adalah hamparan simbol—salju, langit, risau, sabana—semuanya mengandung makna spiritual atau eksistensial.
Puisi “Sabana” karya Emha Ainun Nadjib adalah karya liris yang halus, simbolik, dan penuh muatan spiritual. Dengan gaya khas Cak Nun yang reflektif, puisi ini mengajak pembaca menengok ke dalam hati sendiri dan mengakui bahwa hidup bukan hanya soal kenyataan, tetapi juga tentang rindu, sabar, dan pencarian yang tak pernah usai.
Sabana adalah hati manusia—luas, sunyi, dan penuh kemungkinan. Di sanalah cinta dan doa menemukan tempatnya untuk tumbuh dan hidup.
Karya: Emha Ainun Nadjib
Biodata Emha Ainun Nadjib:
- Muhammad Ainun Nadjib (Emha Ainun Nadjib atau kerap disapa Cak Nun atau Mbah Nun) lahir pada tanggal 27 Mei 1953 di Jombang, Jawa Timur, Indonesia.
