Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Sajak dari Laut (Karya Bambang Darto)

Puisi “Sajak dari Laut” karya Bambang Darto bercerita tentang penderitaan manusia yang hidup di tengah dunia yang tidak lagi berpihak pada cinta, ...
Sajak dari Laut

Laut bergelombang buas
tapi, lebih buas hati manusia
Hari demi hari
meruntuhkan alam manusia kami

Dan ombak berbisik
menandai lagu nestapa

Bintang yang jauh
menghancurkan cinta kami
menyihir dunia kami
Dan menjebak
setelah kami kalah berjudi

Kami jadi enggan berbicara tentang rindu
yang senantiasa menyaksikan gemuruh ini
begitu sekarat

Analisis Puisi:

Puisi “Sajak dari Laut” karya Bambang Darto adalah perenungan getir tentang manusia, alam, dan cinta yang terhempas dalam gelombang kehidupan. Dalam baris-barisnya yang sederhana namun sarat makna, penyair menciptakan kontras tajam antara alam yang garang dan hati manusia yang lebih buas. Laut, yang biasanya dilihat sebagai unsur alam yang luas dan agung, dihadirkan di sini sebagai simbol perjuangan batin dan sosial, tempat lahirnya bisikan luka dan kerinduan yang sekarat.

Tema

Tema utama puisi ini adalah kejatuhan dan kehancuran manusia oleh sifatnya sendiri, yang bahkan lebih buas daripada alam. Puisi ini juga menyentuh tema rasa bersalah kolektif, patah hati eksistensial, dan kerinduan yang tak tersampaikan dalam dunia yang makin kejam.

Puisi ini bercerita tentang penderitaan manusia yang hidup di tengah dunia yang tidak lagi berpihak pada cinta, nilai, dan kemanusiaan. Laut yang bergelombang buas menjadi latar, namun justru hati manusia yang dituduh “lebih buas”. Penyair mencatat hari demi hari sebagai masa kehancuran “alam manusia” — suatu frasa yang mengisyaratkan hilangnya nilai-nilai dasar dalam diri manusia itu sendiri.

Bintang, simbol harapan atau petunjuk, justru digambarkan menghancurkan cinta dan menyihir dunia, menciptakan penyesalan mendalam setelah “kami kalah berjudi”. Kerinduan yang biasanya membara, kini hanya menjadi saksi gemuruh — dalam keadaan “sekarat”.

Makna Tersirat

Makna tersirat dari puisi ini adalah bahwa kehancuran hidup manusia bukan semata-mata karena alam atau nasib, tetapi karena sifat manusia itu sendiri: ketamakan, keangkuhan, dan kesalahan memilih jalan. Perjudian yang disebutkan dalam puisi bukan sekadar permainan untung-rugi, melainkan simbol keputusan moral yang salah.

Laut yang “bergelombang buas” hanyalah bayangan luar dari badai batin yang lebih kejam. Bahkan “bintang” yang biasa menjadi penuntun, dalam puisi ini justru menciptakan ilusi yang menjebak. Dengan kata lain, harapan pun bisa berbahaya bila tak disertai kebijaksanaan.

Suasana dalam Puisi

Suasana puisi ini penuh dengan kesedihan, penyesalan, dan keputusasaan. Dari awal hingga akhir, suasana puisi dibalut oleh kesuraman dan kesunyian batin. Ombak bukan lagi sumber ketenangan atau petualangan, melainkan suara derita. Rindu bukan lagi perasaan romantis, melainkan sesuatu yang sekarat — diam, tak terucap, dan mungkin tak lagi memiliki tempat di dunia yang sudah rusak ini.

Imaji

Puisi ini menghadirkan imaji yang kuat dan kontras, terutama antara unsur alam dan batin manusia:
  • Laut bergelombang buas – menggambarkan kekuatan alam yang tak terkendali.
  • Lebih buas hati manusia – menciptakan perbandingan yang mengejutkan dan menggambarkan kerusakan moral yang lebih dalam dari bencana alam.
  • Ombak berbisik – personifikasi yang menghidupkan alam sebagai saksi penderitaan manusia.
  • Bintang yang menghancurkan cinta – imaji paradoksal; bintang, simbol keindahan dan harapan, justru menjadi perusak.
  • Rindu yang sekarat – menciptakan kesan emosional yang mendalam; kerinduan yang dulu mungkin hidup dan bermakna kini nyaris mati.

Majas

Beberapa majas yang menonjol dalam puisi ini antara lain:
  • Paradoks: “laut bergelombang buas / tapi, lebih buas hati manusia” adalah paradoks yang menunjukkan bahwa manusia sering kali lebih kejam daripada kekuatan alam itu sendiri.
  • Personifikasi: “ombak berbisik” dan “bintang menghancurkan cinta” memberikan kualitas manusiawi pada alam untuk menambah nuansa dramatis dan emosional.
  • Metafora: “kami kalah berjudi” bukan tentang permainan sebenarnya, tapi mewakili keputusan besar yang salah dalam hidup.
  • Hiperbola: “hari demi hari / meruntuhkan alam manusia kami” – memperkuat gambaran kehancuran batin dan spiritual secara terus-menerus.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Amanat puisi ini adalah peringatan tentang kerusakan nilai-nilai manusia dalam kehidupan modern. Di tengah kekuatan alam yang tampak dahsyat, justru manusialah yang membawa kehancuran sejati. Keputusan-keputusan keliru, perjudian moral, dan kesombongan dalam mempermainkan cinta dan harapan menjadi penyebab nestapa kolektif.

Penyair mengajak pembaca untuk berintrospeksi, untuk melihat bahwa penderitaan bukan selalu datang dari luar, melainkan dari ketidaksadaran akan nilai, cinta, dan kerinduan yang pernah menjadi bagian luhur dari manusia.

Puisi “Sajak dari Laut” karya Bambang Darto adalah seruan sunyi tentang kekacauan batin manusia yang mengalahkan badai laut, tentang rindu yang kehilangan makna, dan cinta yang dikalahkan oleh kesalahan pilihan. Dengan tema yang berat dan makna tersirat yang tajam, puisi ini mengukir lanskap emosional yang sangat relevan dengan kondisi zaman yang kehilangan arah.

Melalui imaji laut dan bintang, serta majas yang hidup, puisi ini tidak hanya menyentuh rasa, tetapi juga menggugah kesadaran. Di balik gemuruh ombak, terdengar bisikan: manusia perlu kembali pada dirinya yang sejati — sebelum segalanya sekarat.

Bambang Darto
Puisi: Sajak dari Laut
Karya: Bambang Darto

Biodata Bambang Darto:
  • Bambang Darto lahir di Nganjuk, pada tanggal 26 Februari 1950.
  • Bambang Darto meninggal dunia di Yogyakarta pada tanggal 20 Januari 2018.
© Sepenuhnya. All rights reserved.