Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Sajak (Karya Emha Ainun Nadjib)

Puisi “Sajak” karya Emha Ainun Nadjib bercerita tentang seseorang yang masuk ke dalam ruang gelap—baik secara harfiah maupun metaforis—untuk ...

Sajak (1)


engkau tahu, ruangan ini amat gelap dan mendebarkan, bukan? mengapa kau datang ke mari dan tidak beratkah engkau langkahkan kaki?

garis-garis remang dan bayangan-bayangan kelam di depanmu hanya bisa kau caba dengan mata di dalam batinmu, itu pun jika engkau berhasil memelihara denyutan-denyutan yang menandai hidupmu betapapun terseret dan — bagai membeku

garis-garis dan bayangan itu semakin tidak kau kenal jika terlalu lama engkau amati, mengapa kau datang ke mari dan mukamu seakan berseri?

"Kekasihku berada di sini!" — katamu.

ah jangan berbicara tentang Kekasih bagai seorang pelupa! bayangan-bayangan menggoda, Kekasih yang bagai akan kau jumpa, memberimu sedikit tenaga tapi kemudian lenyap dari sisimu sambil tertawa dan meninggalkan suara-suara yang tak bisa dicerna

dan engkau, seperti juga aku, kemudian tergeletak bagai boneka, tergeletak, menggerak-gerakkan kepala, tergeletak di lantai yang dingin dan tahu akhirnya bahwa di mana-mana pun adalah panggung permainan-Nya.

"emha?"

ya? —

"apa cita-citaku sekarang?"

ah, kau meledekku, janganlah begitu, kau mengganggu bunyi tertawaku yang tak henti-hentinya meskipun tanpa sebab dan betapapun sumbangnya, kau mengganggu nyanyian-nyanyianku yang terlempar-lempar meskipun tanpa sebab dan sukmaku yang tetap berpijar-pijar meskipun tanpa sebab

tapi baiklah, usahakanlah agar kau tak memiliki setitikpun cita-cita atau keinginan apa-apa, engkau tahu, ruangan ini amatlah gelap dan berbahaya, kembalilah, kembalilah ke rumahmu, menyisir rambut dan merapikan sepatu.

"bukankah hanya di tengah gelap gulita begini bisa kutemu cahaya yang paling bercahaya?"

ya, demikianlah kata anak dewa-dewa, "buat apa memperpanjang kesia-siaan dan tipuan rahasia-rahasia, cepatlah jadi ruh, cepatlah kembali kepada-Nya!" — demikianlah kata anak dewa-dewa yang hidup di angan-angan kita . . . . .

1976

Sumber: Horison (Februari, 1979)

Analisis Puisi:

Puisi berjudul “Sajak” karya Emha Ainun Nadjib adalah sebuah meditasi puitis yang dalam dan metafisik, penuh kontemplasi tentang pencarian makna hidup, eksistensi, dan spiritualitas. Melalui dialog samar antara “aku” dan “engkau”, Emha menghadirkan ruang gelap sebagai metafora batin manusia yang bergulat mencari terang sejati. Di puisi ini, pembaca diajak tidak hanya menyentuh kata, tetapi juga menembus lapisan makna yang berada di bawah kesadaran dan di balik keheningan.

Tema

Tema utama puisi ini adalah pencarian spiritual dan eksistensial di tengah gelapnya kehidupan. Penyair memaknai kegelapan bukan sekadar kondisi fisik, tetapi simbol dari ketidaktahuan, kegelisahan, dan pencarian akan Tuhan (Kekasih).

Tema lainnya menyentuh kegagalan manusia memahami realitas yang sepenuhnya ilahi, dan bagaimana hidup pada akhirnya hanyalah panggung dari “permainan-Nya”—sebuah rujukan pada pandangan sufistik bahwa manusia hanya aktor kecil dalam drama besar Tuhan.

Makna Tersirat

Puisi ini menyiratkan bahwa hidup adalah ruang yang penuh teka-teki, dan manusia kerap datang ke dalamnya dengan harapan akan menemukan sesuatu yang terang, meskipun yang mereka temui adalah bayang-bayang dan bisikan yang menyesatkan.

Baris:

"Kekasihku berada di sini!" — katamu.
ah jangan berbicara tentang Kekasih bagai seorang pelupa!

mencerminkan keraguan akan sejauh mana manusia benar-benar tahu siapa Tuhan atau kekasih spiritualnya.

Di bagian akhir, kalimat:

“cepatlah jadi ruh, cepatlah kembali kepada-Nya!”

merujuk pada kerinduan terdalam jiwa untuk kembali pada asalnya, pada Tuhan, namun diiringi dengan kesadaran bahwa jalan itu penuh bahaya dan kabut ilusi.

Puisi ini bercerita tentang seseorang yang masuk ke dalam ruang gelap—baik secara harfiah maupun metaforis—untuk mencari Kekasih, yang merupakan simbol dari Tuhan, cinta sejati, atau pencerahan. Di dalam ruang itu, ia berjumpa dengan keraguan, ilusi, bisikan-bisikan batin, dan pada akhirnya kesadaran bahwa seluruh hidup ini hanyalah permainan yang tak mudah dipahami.

Dialog yang muncul dalam puisi juga memberi kesan bahwa tokoh “aku” dan “engkau” adalah dua sisi dari satu jiwa, atau mungkin percakapan batin antara manusia dan bagian terdalam dirinya.

Suasana dalam Puisi

Puisi ini dibalut dalam suasana kelam, reflektif, dan menggugah. Kegelapan menjadi latar utama, menghadirkan nuansa yang sunyi, mencekam, namun juga penuh potensi pencerahan. Ada rasa cemas, gelisah, tapi juga rindu dan harap, seperti seseorang yang berjalan dalam terowongan gelap berharap akan cahaya di ujungnya.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Beberapa amanat yang tersirat dari puisi ini antara lain:
  • Jangan tertipu oleh bayang-bayang dan ilusi dalam pencarian spiritual—karena tidak semua yang terlihat sebagai "Kekasih" adalah benar-benar Tuhan.
  • Kita semua adalah bagian dari permainan-Nya, dan hidup ini sarat dengan rahasia dan tipu daya.
  • Keinginan yang terlalu besar bisa memperdalam gelap, bukan menerangi. Maka, terkadang keikhlasan, bukan ambisi, yang menuntun pada pencerahan.
  • Kegelapan bukan akhir, karena bisa jadi dari sanalah muncul cahaya yang sejati.

Imaji

Puisi ini menampilkan imaji batin dan simbolik yang tidak banyak mengandalkan visual konkret, tetapi lebih kuat pada citra metafisik dan spiritual, seperti:
  • “ruangan ini amat gelap dan mendebarkan” → imaji ketakpastian hidup
  • “Kekasih... memberimu tenaga lalu lenyap sambil tertawa” → imaji ilusi ilahi
  • “tergeletak bagai boneka” → imaji kehilangan kendali hidup
  • “menyisir rambut dan merapikan sepatu” → imaji kembali ke kesadaran sehari-hari, normalitas duniawi
Ini semua adalah representasi emosional dan spiritual yang ditawarkan lewat kata-kata yang subtil dan dalam.

Majas

Beberapa majas yang menonjol dalam puisi ini adalah:
  • Personifikasi: “Kekasih... memberimu tenaga lalu lenyap sambil tertawa” → Kekasih (Tuhan/ilham/cinta) digambarkan dengan tingkah laku manusiawi.
  • Metafora: “ruangan ini amat gelap” → metafora dari batin yang kehilangan arah atau terombang-ambing dalam kehidupan.
  • Alegori: Seluruh puisi ini bisa dibaca sebagai alegori tentang perjalanan jiwa, kesadaran spiritual, dan dialog internal eksistensial.
  • Paradoks: “tanpa sebab... meskipun tanpa sebab”, “tak bisa kuusir kamu... tak bisa kuusir tenaga hidupku” → menampilkan pertentangan dalam diri manusia antara keinginan dan kerelaan, antara menerima dan menolak.
Puisi “Sajak” karya Emha Ainun Nadjib adalah karya yang dalam, kompleks, dan kaya secara spiritual. Ia tidak hanya menampilkan refleksi filosofis, tetapi juga mengajak pembaca merenungi eksistensinya sebagai makhluk yang terjebak dalam pencarian makna. Gelap dalam puisi ini bukan semata lawan dari terang, tetapi ruang suci di mana Tuhan bisa dijumpai, jika manusia sanggup menanggalkan ilusi dan keinginan pribadi.

Emha Ainun Nadjib
Puisi: Sajak
Karya: Emha Ainun Nadjib

Biodata Emha Ainun Nadjib:
  • Muhammad Ainun Nadjib (Emha Ainun Nadjib atau kerap disapa Cak Nun atau Mbah Nun) lahir pada tanggal 27 Mei 1953 di Jombang, Jawa Timur, Indonesia.
© Sepenuhnya. All rights reserved.