Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Sajak Lelah (Karya Motinggo Boesje)

Puisi “Sajak Lelah” karya Motinggo Boesje bercerita tentang seseorang yang sudah merasa sangat lelah menjalani hidup, baik secara fisik maupun batin.
Sajak Lelah

Aku telah lelah
Beri aku pohon
Agar
dapat bersandar
dan di atas rumput hijau
menghalau kenangan lampau

Lalu sunyi membawa mimpi
Dan umur membawa mati

Sumber: Aura Para Aulia (1990)

Analisis Puisi:

Puisi “Sajak Lelah” karya Motinggo Boesje menyuguhkan perenungan eksistensial yang dalam, dibalut dengan bahasa sederhana namun penuh makna. Meskipun hanya terdiri dari delapan baris, puisi ini sanggup memanggil resonansi emosional yang kuat tentang kelelahan hidup, kerinduan akan ketenangan, serta kesadaran akan kefanaan.

Tema

Tema utama dari puisi ini adalah kelelahan eksistensial dan kerinduan akan ketenangan serta kematian sebagai pelepas duka. Puisi ini mencerminkan rasa letih lahir batin seseorang dalam menjalani hidup, yang kemudian memunculkan keinginan untuk beristirahat secara hakiki — baik secara fisik, emosional, maupun spiritual.

Makna Tersirat

Di balik kesederhanaan kata-kata dalam puisi ini, terdapat sejumlah makna tersirat yang mendalam:
  • Kehidupan adalah perjalanan yang melelahkan, dan seseorang pada titik tertentu hanya ingin berhenti sejenak, mencari sandaran—baik fisik maupun batin.
  • Kenangan masa lalu menjadi beban psikologis yang tak mudah dihapus. Sang tokoh lirik ingin "menghalau kenangan lampau", menandakan adanya luka atau duka yang tertinggal dalam ingatan.
  • Sunyi bukanlah kekosongan, melainkan tempat untuk memeluk mimpi atau imajinasi — yang pada akhirnya menuju kesadaran bahwa umur akan membawa pada kematian. Dengan kata lain, keheningan bukan musuh, melainkan awal dari ketenangan abadi.
Puisi ini bercerita tentang seseorang yang sudah merasa sangat lelah menjalani hidup, baik secara fisik maupun batin. Ia tidak meminta banyak — hanya tempat bersandar, secuil ketenangan, dan ruang untuk melepaskan kenangan. Ujung dari narasi ini adalah kesadaran bahwa hidup, pada akhirnya, akan menuju kematian. Namun kematian di sini tidak digambarkan sebagai sesuatu yang menakutkan, melainkan sebagai bentuk istirahat total dari segala kelelahan duniawi.

Suasana dalam Puisi

Suasana puisi ini sangat hening, sunyi, dan reflektif. Nuansa kelelahan bercampur dengan penerimaan. Tidak ada kepanikan, tidak ada kemarahan, hanya keinginan untuk berhenti sejenak, bersandar, lalu membiarkan waktu membawa dirinya pergi. Ada kedamaian yang samar dalam kelelahan itu sendiri.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Puisi ini menyampaikan pesan bahwa:
  • Setiap manusia memiliki batas dalam menjalani kehidupan, dan ketika lelah datang, adalah sah untuk mencari ketenangan, bahkan menerima kematian sebagai bagian tak terpisahkan dari hidup.
  • Kita diajak untuk berdamai dengan kelelahan, tidak selalu harus melawan, tapi juga bisa menerima dan beristirahat. Dalam dunia yang serba cepat, puisi ini seperti undangan untuk jeda, untuk memahami bahwa diam pun bisa menyembuhkan.

Imaji

Motinggo Boesje menulis dengan gaya yang sederhana namun imajinatif. Imaji dalam puisi ini sangat kuat dan membentuk lanskap batin yang mendalam:
  • “Beri aku pohon / agar dapat bersandar” → menghadirkan gambaran visual yang sangat tenang. Sebuah permintaan sederhana, namun sarat makna — pohon sebagai simbol kehidupan, keteduhan, sekaligus ketenangan.
  • “Di atas rumput hijau / menghalau kenangan lampau” → menciptakan imaji damai. Rumput hijau melambangkan kesegaran dan ketenangan, namun digunakan untuk mengusir kenangan pahit masa lalu.
  • “Sunyi membawa mimpi” → menghadirkan imaji suara hening yang tidak kosong, tetapi penuh potensi renungan dan harapan.

Majas

Beberapa majas yang menonjol dalam puisi ini antara lain:

Metafora:
  • “Sunyi membawa mimpi” → sunyi digambarkan sebagai sesuatu yang hidup, bisa membawa sesuatu (mimpi). Ini adalah metafora tentang keheningan yang justru penuh isi dan makna.
  • “Umur membawa mati” → umur tidak hanya bertambah, tapi membawa kita perlahan ke kematian; ini metafora tentang kesinambungan waktu dan takdir manusia.
Personifikasi:
  • “Sunyi membawa mimpi” dan “umur membawa mati” memberikan kualitas hidup kepada konsep abstrak (sunyi dan umur), memperkuat sisi emosional dan filosofis puisi.
Simbolisme:
  • Pohon → simbol tempat berteduh dari beban kehidupan.
  • Rumput hijau → melambangkan harapan, kedamaian, dan penyembuhan.
  • Kenangan lampau → beban emosional yang hendak dilepaskan.
Puisi “Sajak Lelah” karya Motinggo Boesje adalah sebait permenungan tentang kelelahan eksistensial, ditulis dengan penuh keheningan dan ketenangan yang menyentuh. Dalam delapan baris yang singkat, puisi ini berhasil menyuarakan suara hati yang mungkin tak asing bagi banyak orang—suara yang berkata: Aku lelah, aku ingin diam, bersandar, dan menerima. Dengan simbolisme kuat, penggunaan metafora yang tepat, dan suasana reflektif, puisi ini tidak hanya menyentuh jiwa, tapi juga mengajarkan bahwa istirahat, bahkan kematian, bisa menjadi bagian dari kedamaian.

Motinggo Boesje
Puisi: Sajak Lelah
Karya: Motinggo Boesje

Biodata Motinggo Boesje:
  • Motinggo Boesje (Motinggo Busye) lahir di Kupang Kota, pada tanggal 21 November 1937.
  • Motinggo Boesje meninggal dunia di Jakarta, pada tanggal 18 Juni 1999 (pada usia 61 tahun).
  • Nama lahir Motinggo Boesje adalah Bustami Djalid.
© Sepenuhnya. All rights reserved.