Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Salman Pengelu-elu (Karya Taufiq Ismail)

Puisi "Salman Pengelu-elu" mengajak pembaca untuk merenungkan pentingnya pencarian makna dan kehadiran spiritual dalam menghadapi kesulitan dan ...
Salman Pengelu-elu

Salman terbungkuk pada punggung
Lelaki nanar yang kehilangan diri
Usia disandarkan di lingir kemah
Menudungkan tangan pada mata tua.

Di kantong Salman nujum bahari
Begitu rindu, rindu Kitab Suci.

Salman tendanya di ujung gurun
Gembala biri-biri berdinding bukit karang
Jangat pun kerut-merut demi tahun-tahun bertaut
Menudungkan tangan di pelupuk tua
Mata air yang tak kunjung biru.

Menudungkan jari pada mata tua
Nanap dan berlutut
Dua lengan meregang
Ketika Muhammad datang.

Wahai dikau mata air kami!
Wahai dikau anyaman zaitun!
Duhai dikau zamrud suarga!
Rasul! Rasul gurun terakhir!

1960

Analisis Puisi:

Puisi "Salman Pengelu-elu" karya Taufiq Ismail menggambarkan perjalanan spiritual dan harapan melalui figur Salman, seorang yang terasing dan mendalam dalam pencarian makna hidup. Melalui penggunaan citra dan simbol yang kuat, puisi ini mengeksplorasi tema-tema tentang keputusasaan, pencarian spiritual, dan kedatangan wahyu.

Gambaran Figur Salman

Puisi ini dibuka dengan deskripsi Salman sebagai seorang yang "terbungkuk pada punggung" dan "lelaki nanar yang kehilangan diri." Ini menciptakan gambaran awal tentang seorang pria yang tertekan dan terasing, melambangkan keputusasaan dan kerinduan yang mendalam. "Usia disandarkan di lingir kemah" menunjukkan bahwa Salman telah lama berada dalam kesendirian dan refleksi, dengan "tangan pada mata tua" menggambarkan rasa lelah dan kesedihan yang mendalam.

Simbolisme dan Pencarian Spiritual

Di dalam "kantong Salman nujum bahari," kita melihat bagaimana Salman membawa harapan dan kerinduan dalam bentuk "Kitab Suci," simbol dari pencarian spiritual dan harapan untuk menemukan makna. Ini menunjukkan betapa pentingnya teks suci dalam perjalanan spiritualnya, sebagai panduan dan sumber kekuatan.

Konteks Lingkungan dan Kondisi

Salman digambarkan dengan tendanya di "ujung gurun," dengan "gembala biri-biri berdinding bukit karang." Konteks gurun dan kondisi yang keras menciptakan suasana kesepian dan ketidakpastian. "Jangat pun kerut-merut demi tahun-tahun bertaut" menunjukkan bagaimana waktu berlalu dengan penuh kesulitan dan kerinduan.

Kedatangan Muhammad

Puncak puisi ini adalah momen ketika Salman "menudungkan jari pada mata tua" dan "nanap dan berlutut" menyambut kedatangan Muhammad. Ini adalah momen penting yang membawa perubahan dan pengharapan baru. "Wahai dikau mata air kami! Wahai dikau anyaman zaitun! Duhai dikau zamrud suarga!" adalah seruan penghormatan dan pengakuan terhadap kehadiran Rasul sebagai pembawa wahyu dan pembebasan.

Penutup dan Makna

Penutup puisi, dengan seruan "Rasul! Rasul gurun terakhir!" menekankan posisi Muhammad sebagai puncak dari wahyu dan harapan di tengah kesulitan dan kesepian Salman. Ini adalah pernyataan tentang betapa signifikan dan transformatifnya kedatangan Rasul dalam hidup Salman dan bagi umat manusia.

Puisi "Salman Pengelu-elu" adalah karya yang menggambarkan perjalanan spiritual dan harapan melalui citra dan simbol yang kuat. Taufiq Ismail dengan mahir menangkap rasa kesepian, kerinduan, dan kedalaman spiritual Salman, serta penekanan pada kedatangan wahyu sebagai momen transformatif. Puisi ini mengajak pembaca untuk merenungkan pentingnya pencarian makna dan kehadiran spiritual dalam menghadapi kesulitan dan kerinduan.

Puisi Taufiq Ismail
Puisi: Salman Pengelu-elu
Karya: Taufiq Ismail

Biodata Taufiq Ismail:
  • Taufiq Ismail lahir pada tanggal 25 Juni 1935 di Bukittinggi, Sumatera Barat.
  • Taufiq Ismail adalah salah satu Sastrawan Angkatan '66.
© Sepenuhnya. All rights reserved.