Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Sehabis Magrib (Karya Gunoto Saparie)

Puisi “Sehabis Magrib” oleh Gunoto Saparie
Sehabis Magrib (1)

sehabis magrib bulan pun memudar
ketika kepak sayap kelelawar terdengar
ketika dari masjid ada lantunan doa terakhir
mengapakah nadanya sedih dan getir?

ada bocah mengeja alif ba ta
ada pak tua membaca ayat-ayat kitab suci
kalimat dan sabda tuhan abadi
suaranya rawan menggetarkan sukma

ada kemilau sisa hujan pada daun
ditimpa cahaya lampu jalanan
sehabis magrib hanya tinggal keremangan
sebentar lagi malam, sebentar lagi kesepian

2021

Sehabis Magrib (2)

sehabis magrib anak-anak desa mengaji
di langgar kayu model panggung sederhana
memahami kata-kata purba para nabi dan wali
tentang nasib dan sejarah manusia yang papa

sehabis magrib pintu jendela rumah terkunci
sepi pun menyanyi dan senja segera berlalu 
di penanggalan kakek memberi tanda biru
mencatat usia, mungkin kenangan masa revolusi

sehabis magrib anak-anak desa mengaji
di bawah nyala lampu petromaks yang muram
meninggalkan seruling gembala di dangau sunyi
duduk bersila menyimak firman dan kalam

2021

Analisis Puisi:

Puisi “Sehabis Magrib” terdiri atas dua versi. Puisi ini menyuguhkan nuansa religius, kontemplatif, dan nostalgia desa saat memasuki periode waktu magrib—rentang perpindahan antara siang dan malam. Gunoto Saparie menciptakan gambaran kuat tentang aktivitas spiritual, keheningan malam, dan dimensi historis yang terselip dalam ingatan masyarakat pedesaan.

Tema

  • Ritual keagamaan di waktu magrib di desa.
  • Kontemplasi spiritual tentang keabadian ayat suci dan pengaruhnya pada jiwa manusia.
  • Perpindahan waktu: magrib sebagai transisi antara cahaya dan kegelapan, kesiangan menuju malam.

Makna Tersirat

  • Kehidupan spiritual masyarakat desa: dari bocah belajar membaca huruf Arab hingga pak tua membaca kitab suci (versi 1), serta anak-anak mengaji di langgar (versi 2).
  • Kesadaran historis: ada penyinggungan pada masa revolusi dan catatan waktu pada penanggalan kakek, menunjukkan hubungan antara ritual religius dan konteks sejarah personal.
  • Keremangan fisik sebagai simbol keremangan batin: muncul saat magrib, sorot hujan, dan lampu petromaks, menimbulkan aura kesunyian dan melankolis.
Puisi ini menggambarkan adegan magrib di sebuah desa, menampilkan:
  • Suara kelelawar dan nyanyian doa dari masjid (versi 1),
  • Bocah mengeja alif ba ta, pak tua membaca ayat kitab suci,
  • Kemilau sisa hujan dan lampu jalan menciptakan keremangan,
  • Anak-anak desa mengaji di langgar sederhana sambil mendengarkan kisah nabi,
  • Pintu terkunci menandai malam yang tiba, dan penanggalan kakek menyimpan ingatan sejarah.

Suasana dalam Puisi

  • Sunyi dan keremangan: magrib ditandai dengan redup dan kesepian yang mengendap.
  • Syahdu religius: lantunan doa, proses mengaji, dan bacaan kitab suci menciptakan suasana sakral.
  • Nostalgia dan kontinuitas: suasana desa yang tetap mempertahankan tradisi, muncul dalam setting yang akrab namun lembut menyentuh emosional.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Puisi ini menyampaikan beberapa pesan, antara lain:
  • Penghargaan terhadap tradisi spiritual desa: mengingatkan kita bahwa selain kegiatan religius, magrib adalah momen untuk mengenang nilai-nilai luhur seperti ajaran nabi, nilai sejarah, dan pendidikan generasi muda.
  • Perlunya sambungan antara masa kini dan masa lalu: penanggalan kakek sebagai medium untuk mengingat revolusi dan kisah keluarga mencerminkan pentingnya menjaga memori kolektif.
  • Kenikmatan dalam keremangan: magrib mengajarkan kita untuk berdiam, merenungi, dan terhubung kembali dengan diri dan yang Ilahi, di tengah kesunyian semalam.

Imaji

Puisi ini kaya dengan imaji:
  • Auditori: kepakan sayap kelelawar, lantunan doa, suara baca alif ba ta.
  • Visual: bulan memudar, kemilau sisa hujan, cahaya lampu jalan, pintu terkunci, anak-anak mengaji di bawah lampu petromaks.
  • Temporal: pergantian siang ke malam, penanggalan yang mengingatkan usia dan masa revolusi.

Majas

Beberapa gaya bahasa yang menyatu dalam puisi ini:
  • Personifikasi: bulan memudar seolah punya kehendak, senja yang “segera berlalu”.
  • Paradoks: kota mandiri dan modern memiliki magrib, tapi desa mempertahankan ritual magrib dengan sederhana—kesederhanaan yang berisi.
  • Simbolisme: lampu petromaks sebagai simbol kecukupan batin dalam kegelapan fisik; penanggalan sebagai simbol jembatan antara masa kini dan masa lalu.
Puisi “Sehabis Magrib” oleh Gunoto Saparie adalah karya yang memadukan ritual religius, kesadaran sejarah, dan sensasional magrib yang hening dalam satu bingkai puitik. Dengan merangkai imaji cahaya, suara, dan waktu, puisi ini menumbuhkan penghormatan terhadap tradisi, kenangan, dan momen kontemplatif yang tersembunyi di tengah rutinitas harian desa.

Ia menegaskan bahwa magrib bukan hanya waktu untuk shalat, tapi juga waktu untuk menyadari eksistensi, merasakan ikatan spiritual, dan mengenali diri dalam suara doa yang menggetarkan sukma. Di tengah keremangan jalan dan petromaks sederhana, tersembunyi kebijaksanaan yang tak lekang oleh zaman.

Puisi Gunoto Saparie
Puisi: Sehabis Magrib
Karya: Gunoto Saparie


BIODATA GUNOTO SAPARIE

Gunoto Saparie lahir di Kendal, Jawa Tengah, 22 Desember 1955. Pendidikan formal yang ditempuh adalah Sekolah Dasar Kadilangu, Cepiring, Kendal, Sekolah Menengah Pertama Cepiring, Kendal, Sekolah Menengah Ekonomi Atas Kendal, Akademi Uang dan Bank Yogyakarta, dan Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Semarang. Sedangkan pendidikan nonformal Madrasah Ibtidaiyyah Islamiyyah Tlahab, Gemuh, Kendal dan Pondok Pesantren KH Abdul Hamid Tlahab, Gemuh, Kendal.

Selain menulis puisi, ia juga mencipta cerita pendek, kritik sastra, esai, dan kolom, yang dimuat di sejumlah media cetak terbitan Semarang, Solo, Yogyakarta, Surabaya, Jakarta, Brunei Darussalam, Malaysia, Australia, dan Prancis. Kumpulan puisi tunggalnya yang telah terbit adalah Melancholia (Damad, Semarang, 1979), Solitaire (Indragiri, Semarang, 1981),  Malam Pertama (Mimbar, Semarang, 1996),  Penyair Kamar (Forum Komunikasi Wartawan Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah, Semarang, 2018), dan Mendung, Kabut, dan Lain-lain (Cerah Budaya Indonesia, Jakarta, 2019). Kumpulan esai tunggalnya Islam dalam Kesusastraan Indonesia (Yayasan Arus, Jakarta, 1986). Kumpulan cerita rakyatnya Ki Ageng Pandanaran: Dongeng Terpilih Jawa Tengah (Pusat Bahasa, Jakarta, 2004).  Novelnya Selamat Siang, Kekasih dimuat secara bersambung di Mingguan Bahari, Semarang (1978) dan Bau (Pelataran Sastra Kaliwungu, Kendal, 2019) yang menjadi nomine Penghargaan Prasidatama 2020 dari Balai Bahasa Jawa Tengah.

Ia juga pernah menerbitkan antologi puisi bersama Korrie Layun Rampan berjudul Putih! Putih! Putih! (Yogyakarta, 1976) dan Suara Sendawar Kendal (Karawang, 2015). Sejumlah puisi, cerita pendek, dan esainya termuat dalam antologi bersama para penulis lain.  Puisinya juga masuk dalam buku Manuel D'Indonesien Volume I terbitan L'asiatheque, Paris, Prancis, Januari 2012. Ia juga menulis puisi berbahasa Jawa (geguritan) di Panjebar Semangat dan Jaya Baya.

Ia menjabat Pemimpin Redaksi Kampus Indonesia (Jakarta), Tanahku (Semarang), Delik Hukum Jateng (Semarang) setelah sebelumnya menjabat Redaktur Pelaksana dan Staf Ahli Pemimpin Umum Koran Wawasan (Semarang), Pemimpin Redaksi Radio Gaya FM (Semarang), Redaktur Pelaksana Tabloid Faktual (Semarang), Redaktur Pelaksana Tabloid Otobursa Plus (Semarang), dan Redaktur Legislatif  (Jakarta).

Kini ia masih aktif menjadi Redaktur Pelaksana Majalah Info Koperasi (Kendal), Majalah Justice News (Semarang), dan Majalah Opini Publik (Blora).

Saat ini ia menjabat Ketua Umum Dewan Kesenian Jawa Tengah (DKJT), Fungsionaris Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Wilayah Jawa Tengah, Ketua III Komite Seni Budaya Nusantara (KSBN) Jawa Tengah, dan Ketua Forum Komunikasi Wartawan Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah. Sebelumnya ia pernah menjabat Ketua Kelompok Studi Seni Remaja (KSSR) Kendal, Ketua Pelaksana Dewan Teater Kendal, Sekretaris Forum Komunikasi Studi Mahasiswa Kekaryaan (Fokusmaker) Jawa Tengah, Wakil Ketua Ormas MKGR Jawa Tengah, Fungsionaris DPD Partai Golkar Jawa Tengah, Sekretaris DPD Badan Informasi dan Kehumasan Partai Golkar Jawa Tengah, dan Sekretaris Bidang Kehumasan DPW Partai Nasdem Jawa Tengah. 

Sejumlah penghargaan di bidang sastra, kebudayaan, dan jurnalistik telah diterimanya, antara lain dari Kepala Perwakilan PBB di Jakarta dan Nairobi, Ketua Persatuan Wartawan Indonesia Pusat, Menteri Perumahan Rakyat, Menteri Penerangan, Menteri Luar Negeri, Menteri Lingkungan Hidup, Pangdam IV/ Diponegoro, dan Kepala Balai Bahasa Jawa Tengah. Selain itu, di tengah kesibukannya menulis, ia kadang diundang untuk membaca puisi, menjadi juri lomba kesenian, pemakalah atau pembicara pada berbagai forum kesastraan dan kebahasaan, dan mengikuti sejumlah pertemuan sastrawan di Indonesia dan luar negeri.
© Sepenuhnya. All rights reserved.