Analisis Puisi:
Puisi “Semarang–Tegal” karya Gunoto Saparie merupakan sebuah karya yang kaya akan refleksi perjalanan, cinta, dan pencarian inspirasi kreatif. Dengan struktur empat bait empat baris (quatrain), penyair mengajak pembaca menyusuri jalur imajiner antara dua kota di pesisir utara Jawa, sambil membingkai peristiwa-peristiwa kecil yang mengandung makna personal dan simbolik.
Tema
Tema utama puisi ini adalah perjalanan batin dan fisik dalam pencarian puisi dan cinta. Perjalanan dari Semarang ke Tegal tidak hanya menjadi latar fisik, melainkan juga metafora untuk penjelajahan kreatif, nostalgia, dan kemesraan emosional.
Makna Tersirat
Makna tersirat dari puisi ini menyentuh beberapa aspek:
- Perjalanan bukan sekadar bergerak secara geografis, tetapi merupakan ruang di mana inspirasi, komunikasi, dan renungan bercampur. Puisi menjadi sesuatu yang tidak direncanakan, tetapi bisa “dipetik” dalam momen sederhana.
- Romansa dalam puisi ini disisipkan secara lembut, melalui ungkapan rindu dan keinginan untuk bersandar di lengan kekasih, menunjukkan bahwa cinta menjadi pelipur dalam letih dan pencarian.
- Ada sindiran halus terhadap dunia sastra yang penuh dinamika, melalui penyebutan nama-nama tokoh sastra (Adri Darmadji, Kurniawan Junaedhie, Handrawan, Maman) yang mungkin melambangkan suara-suara kreatif maupun distraksi.
Puisi ini bercerita tentang sepasang penyair atau pegiat sastra yang melakukan perjalanan dari Semarang ke Tegal, mungkin untuk menghadiri acara sastra atau sekadar mencari inspirasi. Dalam perjalanan itu, mereka mengalami banyak momen kecil: menerima SMS, menerima telepon, mampir ke Pekalongan, bercanda, merasa kantuk, bahkan sempat menyinggung pertentangan batin atas distraksi dalam dunia sastra. Di akhir perjalanan, muncul keletihan dan keinginan untuk beristirahat dalam dekapan seseorang yang dicintai.
Suasana dalam Puisi
Suasana dalam puisi terasa:
- Hangat dan akrab di awal (karena diisi dengan percakapan dan canda).
- Sedikit melankolis dan reflektif di tengah (karena penuh dengan pikiran dan bisikan hati).
- Santai namun letih di bagian akhir (karena hari menjelang sore dan keinginan untuk beristirahat bersama kekasih mendominasi).
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Puisi ini menyampaikan bahwa:
- Perjalanan adalah bagian dari penciptaan seni. Bahkan hal-hal kecil dalam perjalanan—SMS, telepon, mampir membeli batik—bisa menjadi bahan puisi.
- Hidup, cinta, dan sastra saling terkait dan saling memengaruhi. Terkadang, kita perlu melupakan hal-hal besar atau nama-nama besar demi menemukan keintiman dan ketenangan dalam kebersamaan yang sederhana.
- Inspirasi sejati datang dari keseharian yang hidup, bukan dari keterpaksaan atau kompetisi intelektual.
Unsur Puisi
- Struktur: Empat bait dengan empat baris per bait (kuatrain), mengalir luwes seperti narasi lisan.
- Bahasa: Menggunakan diksi sehari-hari yang ringan dan akrab, sehingga terasa seperti percakapan dalam perjalanan.
- Penggunaan tokoh dan nama tempat: Memberikan kesan otentik dan realisme dalam puisi.
Imaji
Gunoto Saparie menggunakan imaji visual dan audio yang kuat:
- “pagi-pagi kita pun berangkat” → menggambarkan awal perjalanan yang penuh semangat.
- “mencari-cari baju bercorak batik” → memperkuat warna lokal dari perjalanan.
- “matahari berjalan pelan menggapai horison” → melukiskan senja dan kelelahan.
- “aku lelah ingin tidur di lenganmu” → menciptakan imaji keintiman dan kenyamanan emosional.
Majas
Beberapa majas yang muncul dalam puisi ini antara lain:
- Metafora: “memetik sepotong puisi” → menggambarkan inspirasi sebagai buah yang bisa dipetik dari perjalanan.
- Personifikasi: “kata-kata menjerat impianku” → kata-kata digambarkan seolah memiliki kekuatan untuk mengikat dan mengganggu.
- Sarkasme atau ironi halus: “persetan dengan handrawan atau maman” → seolah menertawakan keseriusan dunia sastra, sebagai sindiran terhadap dinamika di dalamnya.
- Repetisi dan ironi lokal: Penyebutan kota (Semarang, Tegal, Pekalongan) dan penyair-penyair kontemporer menunjukkan kekhasan lokal dan medan sosial sastra Indonesia.
Puisi “Semarang–Tegal” karya Gunoto Saparie adalah refleksi indah tentang perjalanan fisik yang bersinggungan dengan pencarian makna batin dan inspirasi puisi. Dengan gaya santai namun penuh makna, penyair berhasil menyampaikan kerumitan dunia sastra, dinamika relasi manusia, dan kedalaman rasa cinta yang melekat dalam perjalanan sehari-hari. Puisi ini seakan berkata: kadang yang paling puitis bukanlah puisi itu sendiri, tetapi kehidupan yang dijalani dengan jujur dan penuh kesadaran.
Puisi ini sangat layak dibaca ulang—tidak hanya sebagai karya sastra, tetapi juga sebagai cermin tentang relasi manusia, bahasa, dan ruang hidup.
Karya: Gunoto Saparie
GUNOTO SAPARIE. Lahir di Kendal, Jawa Tengah, 22 Desember 1955. Pendidikan formal Sekolah Dasar Kadilangu Cepiring Kendal, Sekolah Menengah Pertama Cepiring Kendal, Sekolah Menengah Ekonomi Atas Kendal, dan Akademi Uang dan Bank Yogyakarta dan Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Semarang. Pendidikan informal Madrasah Ibtidaiyyah Islamiyyah Tlahab Gemuh Kendal dan Pondok Pesantren KH Abdul Hamid Tlahab Gemuh Kendal.
Kumpulan puisi tunggalnya yang telah terbit adalah Melancholia (Damad, Semarang, 1979), Solitaire (Indragiri, Semarang, 1981), Malam Pertama (Mimbar, Semarang, 1996), Penyair Kamar (Forum Komunikasi Wartawan Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah, Semarang, 2018), dan Mendung, Kabut, dan Lain-lain (Cerah Budaya, Jakarta, 2019).
Kumpulan esai tunggalnya Islam dalam Kesusastraan Indonesia (Yayasan Arus, Jakarta, 1986). Kumpulan cerita rakyatnya Ki Ageng Pandanaran: Dongeng Terpilih Jawa Tengah (Pusat Bahasa, Jakarta, 2004) dan Mendung, Kabut, dan Lain-lain (Cerah Budaya, Jakarta, 2019).
Kumpulan esai tunggalnya Islam dalam Kesusastraan Indonesia (Yayasan Arus, Jakarta, 1986). Kumpulan cerita rakyatnya Ki Ageng Pandanaran: Dongeng Terpilih Jawa Tengah (Pusat Bahasa, Jakarta, 2004). Ia pernah menerbitkan antologi puisi bersama Korrie Layun Rampan berjudul Putih! Putih! Putih! (Yogyakarta, 1976) dan Suara Sendawar Kendal (Karawang, 2015).
Puisi-puisinya terhimpun dalam berbagai antologi bersama para penyair Indonesia lain, termasuk dalam Kidung Kelam (Seri Puisi Esai Indonesia - Provinsi Jawa Tengah, 2018).
Saat ini ia menjabat Pemimpin Redaksi Kampus Indonesia (Jakarta) dan Tanahku (Semarang) setelah sebelumnya menjabat Redaktur Pelaksana dan Staf Ahli Pemimpin Umum Koran Wawasan (Semarang). Sempat pula bekerja di bidang pendidikan, konstruksi, dan perbankan. Aktif dalam berbagai organisasi, antara lain dipercaya sebagai Ketua Umum Dewan Kesenian Jawa Tengah (DKJT), Fungsionaris Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Wilayah Jawa Tengah, Ketua Forum Komunikasi Wartawan Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah (FKWPK), Pengurus Yayasan Cinta Sastra, Jakarta, dan Ketua III Komite Seni Budaya Nusantara (KSBN) Jawa Tengah. Sebelumnya sempat menjadi Wakil Ketua Seksi Budaya dan Film PWI Jawa Tengah dan Ketua Ikatan Penulis Keluarga Berencana (IPKB) Jawa Tengah. Sering diundang menjadi pembaca puisi, pemakalah, dan juri berbagai lomba sastra di Indonesia dan luar negeri.
Kumpulan puisi tunggalnya yang telah terbit adalah Melancholia (Damad, Semarang, 1979), Solitaire (Indragiri, Semarang, 1981), Malam Pertama (Mimbar, Semarang, 1996), Penyair Kamar (Forum Komunikasi Wartawan Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah, Semarang, 2018), dan Mendung, Kabut, dan Lain-lain (Cerah Budaya, Jakarta, 2019).
Kumpulan esai tunggalnya Islam dalam Kesusastraan Indonesia (Yayasan Arus, Jakarta, 1986). Kumpulan cerita rakyatnya Ki Ageng Pandanaran: Dongeng Terpilih Jawa Tengah (Pusat Bahasa, Jakarta, 2004) dan Mendung, Kabut, dan Lain-lain (Cerah Budaya, Jakarta, 2019).
Kumpulan esai tunggalnya Islam dalam Kesusastraan Indonesia (Yayasan Arus, Jakarta, 1986). Kumpulan cerita rakyatnya Ki Ageng Pandanaran: Dongeng Terpilih Jawa Tengah (Pusat Bahasa, Jakarta, 2004). Ia pernah menerbitkan antologi puisi bersama Korrie Layun Rampan berjudul Putih! Putih! Putih! (Yogyakarta, 1976) dan Suara Sendawar Kendal (Karawang, 2015).
Puisi-puisinya terhimpun dalam berbagai antologi bersama para penyair Indonesia lain, termasuk dalam Kidung Kelam (Seri Puisi Esai Indonesia - Provinsi Jawa Tengah, 2018).
Saat ini ia menjabat Pemimpin Redaksi Kampus Indonesia (Jakarta) dan Tanahku (Semarang) setelah sebelumnya menjabat Redaktur Pelaksana dan Staf Ahli Pemimpin Umum Koran Wawasan (Semarang). Sempat pula bekerja di bidang pendidikan, konstruksi, dan perbankan. Aktif dalam berbagai organisasi, antara lain dipercaya sebagai Ketua Umum Dewan Kesenian Jawa Tengah (DKJT), Fungsionaris Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Wilayah Jawa Tengah, Ketua Forum Komunikasi Wartawan Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah (FKWPK), Pengurus Yayasan Cinta Sastra, Jakarta, dan Ketua III Komite Seni Budaya Nusantara (KSBN) Jawa Tengah. Sebelumnya sempat menjadi Wakil Ketua Seksi Budaya dan Film PWI Jawa Tengah dan Ketua Ikatan Penulis Keluarga Berencana (IPKB) Jawa Tengah. Sering diundang menjadi pembaca puisi, pemakalah, dan juri berbagai lomba sastra di Indonesia dan luar negeri.
