Analisis Puisi:
Sapardi Djoko Damono adalah penyair yang terkenal dengan gaya yang sederhana namun sangat sarat makna. Dalam puisi “Senja”, Sapardi menampilkan momen harian yang sangat biasa—senja hari—tetapi menyisipkannya dengan kedalaman makna yang menyentuh ranah spiritual, sosial, dan kultural. Puisi ini adalah kidung lembut tentang keluarga, kemiskinan, dongeng masa kecil, dan ancaman malam yang ditutup dengan secercah harapan sederhana.
Tema
Tema utama dalam puisi ini adalah masa kecil, keluarga, dan kerinduan akan perlindungan dan kebahagiaan dalam kesederhanaan. Sapardi menulis puisi ini dari sudut pandang orang dewasa yang memperhatikan anak-anak di ujung hari, ketika senja bukan hanya waktu pulang, tetapi juga simbol batas antara kenyataan dan dunia dongeng. Tema lain yang muncul adalah kemiskinan, kerja keras, dan pengharapan orang tua kepada esok hari yang lebih baik bagi anak-anak mereka.
Puisi ini bercerita tentang suasana sore menjelang malam di sebuah kampung atau desa. Saat senja tiba, burung-burung mencari sarangnya, manusia pulang dari sawah atau kali, dan anak-anak bersiap untuk tidur. Tetapi tidur bukan hal yang mudah: mereka masih ingin mendengar dongeng, mereka masih berharap akan hadiah dari pasar besok. Hantu dan ketakutan masa kecil juga hadir sebagai bagian dari kepercayaan lama. Di balik semuanya, ada sosok ayah yang berjanji, “besok bapak ke pekan untuk bahagia seisi rumah.”
Makna Tersirat
Puisi ini menyimpan makna tersirat yang menyentuh sisi kehidupan rakyat kecil:
- Senja adalah simbol batas — antara terang dan gelap, antara kerja dan istirahat, antara kenyataan dan mimpi. Ia menjadi latar peralihan yang mengandung kerentanan.
- Dongeng dan kepercayaan lama hadir bukan sekadar hiburan, melainkan bentuk warisan budaya dan pengalihan dari kerasnya realitas hidup. Dongeng tua “lagi karatan” adalah harta imajiner di tengah kemiskinan nyata.
- Anak-anak yang tidak juga tertidur menyimbolkan harapan yang belum terpenuhi, atau ketakutan akan hari esok yang tidak pasti. Kebutuhan akan baju baru dan sekolah bukan hanya simbol materi, tapi juga cita-cita perbaikan hidup.
- Janji ayah untuk pergi ke pasar “demi kebahagiaan seisi rumah” adalah suara harapan paling jujur dari keluarga kecil yang hidup dalam keterbatasan tapi tetap memelihara cinta dan kehangatan.
Suasana dalam Puisi
Suasana puisi ini melankolis, lembut, namun menyiratkan kecemasan. Senja digambarkan dengan tenang, tapi di balik ketenangan itu ada riuh kelelahan orang dewasa, kerinduan anak-anak, dan bisikan ketakutan akan hantu dan kekurangan. Hujan halus dari perasaan sayang dan lelah menetes dalam tiap baitnya, dan puisi ditutup dengan suasana yang sedikit tenang namun tetap menyisakan kekhawatiran.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Pesan yang ditawarkan puisi ini menyentuh lapisan kehidupan sehari-hari:
- Keluarga adalah tempat perlindungan terakhir ketika dunia tampak asing dan menakutkan.
- Anak-anak hidup dalam dunia antara kenyataan dan dongeng, dan tugas orang tua adalah menjadi jembatan di antara keduanya.
- Kemiskinan bukan akhir dari harapan. Mimpi-mimpi kecil seperti baju baru atau sekolah bisa jadi cita-cita besar bagi sebuah keluarga.
- Kita hidup bukan hanya dengan kenyataan, tapi juga dengan cerita, harapan, dan cinta.
Imaji
Puisi ini kaya dengan imaji yang menggugah indera dan emosi, di antaranya:
- “Burung-burung riuh mencari sarangnya” – menciptakan gambaran alami dan harmonis tentang akhir hari.
- “Anak-anak bergandulan di dada bunda / bocah-bocah tenggelam dipangku bapa” – imaji hangat tentang kasih sayang orang tua dan keamanan di rumah.
- “Turunlah dongeng-dongeng tua lagi karatan” – menghidupkan kembali cerita rakyat sebagai pusaka spiritual anak-anak.
- “Dan hantu-hantu mengintai bocah” – membangun suasana mencekam dan ketegangan batin anak-anak sebelum tidur.
Majas
Sapardi menggunakan beberapa majas khas yang memperkuat keindahan puisinya, seperti:
- Personifikasi: “dongeng-dongeng tua lagi karatan / yang mereka kunyah dalam kepercayaan” — memberikan sifat hidup kepada dongeng.
- Repetisi: “bila tiba sudah rembang senja” diulang untuk memperkuat suasana sore yang melankolis dan menjadi jangkar waktu dalam narasi.
- Metafora: “dongeng itu hadiah temurun nenek moyang” — dongeng dipandang bukan sebagai cerita, melainkan warisan spiritual.
- Simile tersirat: “bagai Colombus yang sesat di negeri sendiri” (dalam karya lain Sapardi, tapi kontekstual di sini juga): digunakan dalam puisinya yang berbeda, tapi nuansanya juga ada dalam puisi ini, yakni kegamangan antara realitas dan harapan.
Puisi “Senja” karya Sapardi Djoko Damono adalah lukisan puitik tentang kehidupan keluarga kecil di ujung hari—tentang rindu akan kebahagiaan, tentang warisan dongeng dan ketakutan masa kanak-kanak, serta tentang cinta diam-diam orang tua yang berharap memberikan yang terbaik bagi anak-anaknya, meski hidup tak selalu ramah.
Lewat bahasa yang lembut, namun sarat perasaan, Sapardi mengingatkan bahwa hidup di dunia yang keras tidak selalu butuh kekuatan besar, melainkan kesetiaan pada hal-hal kecil: dongeng, harapan, dan janji sederhana untuk membuat keluarga bahagia.
Karya: Sapardi Djoko Damono
Biodata Sapardi Djoko Damono:
- Sapardi Djoko Damono lahir pada tanggal 20 Maret 1940 di Solo, Jawa Tengah.
- Sapardi Djoko Damono meninggal dunia pada tanggal 19 Juli 2020.
