Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Senyum yang Tertinggal di Gelas Teh (Karya Fitri Wahyuni)

Puisi "Senyum yang Tertinggal di Gelas Teh" karya Fitri Wahyuni bercerita tentang seseorang yang mengenang sosok terkasih melalui secangkir teh ...

Senyum yang Tertinggal di Gelas Teh


Di meja kayu, secangkir teh hangat,
dan senyummu yang tertinggal di bibir cangkir.
Aku menyeruput pagi itu perlahan,
mencicipi manisnya rindu
yang belum sempat mengucapkan selamat tinggal.
Juli, 2025

Analisis Puisi:

Puisi "Senyum yang Tertinggal di Gelas Teh" karya Fitri Wahyuni adalah karya pendek yang kaya makna, menghadirkan perasaan halus tentang kehilangan, kenangan, dan rindu yang tidak sempat berpamitan. Melalui metafora yang sederhana dan suasana yang intim, penyair menyampaikan gejolak batin yang sunyi, namun dalam dan menyentuh. Dalam puisi ini, cangkir teh menjadi saksi bisu atas jejak kasih yang tertinggal dan tak tersampaikan.

Tema

Tema utama dalam puisi ini adalah kerinduan yang tersisa setelah perpisahan yang tak sempat utuh. Ada nuansa kehilangan, kenangan, dan kepedihan yang disampaikan dengan cara halus namun penuh makna, menjadikan puisi ini sebagai representasi tentang bagaimana rindu bisa hadir dalam hal-hal paling kecil dan sederhana.

Puisi ini bercerita tentang seseorang yang mengenang sosok terkasih melalui secangkir teh hangat yang ditinggalkannya. Sang aku lirik duduk di hadapan meja kayu, memperhatikan gelas teh yang masih menyimpan jejak senyum seseorang—kemungkinan orang yang telah pergi. Dengan menyeruput teh itu perlahan, ia bukan hanya menikmati minuman, tetapi juga menyesap kenangan dan rindu yang belum sempat terucap sepenuhnya. Dalam momen itu, rasa kehilangan menjadi nyata, namun disampaikan dalam suasana yang sangat intim dan lembut.

Makna Tersirat

Makna tersirat dari puisi ini adalah bahwa kenangan bisa melekat pada benda-benda sederhana, dan bahkan kepergian yang tidak disertai perpisahan utuh bisa meninggalkan bekas yang kuat di hati seseorang. "Senyummu yang tertinggal di bibir cangkir" bukan hanya gambaran puitis, tetapi bentuk metaforis dari memori yang melekat—senyum terakhir, percakapan terakhir, atau mungkin waktu terakhir bersama seseorang yang kini sudah tidak ada.

Puisi ini juga menyiratkan bahwa rindu tidak selalu datang dalam bentuk besar dan dramatis, tetapi bisa hadir melalui rutinitas kecil seperti meminum teh di pagi hari. Bahkan kehangatan teh pun bisa terasa getir ketika diminum dengan perasaan kehilangan.

Suasana dalam Puisi

Suasana dalam puisi ini adalah hening, sendu, dan penuh kontemplasi. Tidak ada tangisan atau keluhan, namun ada perasaan sunyi yang terasa di balik tiap larik. Suasana ini tercipta dari pilihan kata yang lembut, suasana pagi, dan aktivitas sederhana yang diliputi emosi mendalam.

Amanat / Pesan yang Disampaikan Puisi

Amanat dari puisi ini adalah bahwa kenangan tidak selalu harus diucapkan atau diabadikan secara besar-besaran; kadang ia hidup dalam hal-hal sederhana dan sunyi. Melalui puisi ini, pembaca diajak untuk menghargai momen-momen kecil bersama orang terkasih, karena bisa jadi suatu saat hal-hal kecil itulah yang akan paling dirindukan.

Selain itu, puisi ini menyiratkan bahwa perpisahan yang tidak sempat diakhiri dengan baik bisa meninggalkan jejak mendalam dalam hati seseorang, dan betapa pentingnya untuk memberi waktu, ruang, atau kata perpisahan ketika harus beranjak dari sesuatu yang bermakna.

Imaji

Puisi ini sangat kuat dalam menghadirkan imaji visual dan rasa, meskipun hanya terdiri dari lima baris. Beberapa imaji yang menonjol antara lain:
  • “Di meja kayu, secangkir teh hangat”: menciptakan bayangan konkret suasana pagi, hangat, dan damai, sekaligus menjadi latar emosional dari puisi.
  • “Senyummu yang tertinggal di bibir cangkir”: imaji ini sangat puitis, menyiratkan bahwa senyuman orang yang dirindukan masih terasa atau terlihat pada benda mati.
  • “Mencicipi manisnya rindu”: adalah imaji rasa yang menggambarkan bahwa rindu bisa terasa seperti rasa teh—manis, hangat, tapi menyisakan getir.

Majas

Puisi ini kaya dengan majas atau gaya bahasa kiasan yang memperdalam maknanya:

Metafora:
  • “Senyummu yang tertinggal di bibir cangkir” merupakan metafora dari kenangan atau perasaan seseorang yang masih melekat meskipun ia telah pergi.
  • “Mencicipi manisnya rindu” adalah metafora dari merasakan kerinduan yang indah sekaligus menyakitkan.
Personifikasi:
  • “Senyum yang tertinggal di bibir cangkir” juga memberi sifat manusia pada cangkir, seolah cangkir itu memiliki bibir tempat senyuman bisa tertinggal.
Hiperbola:
  • Meski tidak berlebihan secara ekstrem, ada sedikit penguatan dalam makna “rindu yang belum sempat mengucapkan selamat tinggal” — rindu seolah memiliki mulut dan kesempatan untuk berbicara.
Simbolisme:
  • Teh hangat dan meja kayu menjadi simbol kehangatan masa lalu dan keintiman yang telah berlalu.
Puisi "Senyum yang Tertinggal di Gelas Teh" karya Fitri Wahyuni adalah puisi pendek yang memancarkan kekuatan emosional mendalam melalui bahasa yang lembut dan simbol-simbol yang kuat. Dalam keterbatasan larik, puisi ini berhasil menyampaikan tema besar: kerinduan, kehilangan, dan kenangan yang tertinggal. Fitri Wahyuni menghadirkan sebuah pengalaman batin yang sangat manusiawi—rasa kehilangan yang diam, tak terucap, tetapi terus hidup dalam hal-hal kecil sehari-hari.

Melalui puisinya, pembaca diajak untuk merenungkan bahwa dalam keheningan pagi dan secangkir teh, bisa tersembunyi sebuah dunia emosi yang dalam, dan bahwa kepergian seseorang tidak selalu berakhir dengan pintu tertutup—kadang hanya menyisakan senyum yang tertinggal di gelas teh.

Fitri Wahyuni
Puisi: Senyum yang Tertinggal di Gelas Teh
Karya: Fitri Wahyuni

Biodata Fitri Wahyuni:
  • Fitri Wahyuni saat ini aktif sebagai mahasiswa, Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, di Universitas Andalas.
© Sepenuhnya. All rights reserved.