Seseorang Makan Singkong
Di Warung Pinggiran Jalan
Di Suatu Siang yang Panas.
Kaulihatlah Kakinya yang tanpa Sandal
Seperti Ubi yang Baru Dicabut.
Lelaki itu mengunyah singkong pelan-pelan seperti
gerobak sapi menapaki jalanan desa.
Kita jadi ingat dulu, ketika kita masih kecil suka mandi
di kali main simbur-simburan air.
Nah, dengan sesungguhnya aku katakan kepadamu sekarang.
Setiap orang di kota ini akan menyimbur kepada orang
lain buan dengan air tapi dengan uap.
Demikianlah maksudku: orang itu nasibnya sama saja
seperti cerita Dracula dalam film kena uap matahari.
1974
Sumber: Horison (Oktober, 1975)
Analisis Puisi:
Puisi berjudul “Seseorang Makan Singkong” karya Adri Darmadji Woko merupakan karya yang sarat makna meski tampil dalam bentuk yang sederhana. Dengan gaya naratif yang menyelipkan nostalgia dan kritik sosial, puisi ini mampu menyentuh pembaca lewat diksi sehari-hari yang kontras dengan pesan mendalam di baliknya.
Tema
Tema utama puisi ini adalah perubahan sosial dan dehumanisasi dalam kehidupan modern, khususnya pergeseran dari kesederhanaan hidup di desa menuju kehidupan kota yang penuh tekanan dan kehilangan nilai-nilai kemanusiaan. Di satu sisi, puisi ini berbicara tentang kenangan masa kecil yang bersih dan polos; di sisi lain, ia menyinggung kehidupan kota yang penuh kepalsuan dan kehancuran nilai sosial.
Makna Tersirat
Makna tersirat dalam puisi ini menyentil realitas sosial kontemporer. Ada dua dunia yang digambarkan secara kontras:
- Dunia desa—yang sederhana, penuh kenangan hangat, seperti mandi di kali dan makan singkong.
- Dunia kota—yang digambarkan tidak lagi menyimbur air sebagai bentuk keakraban, melainkan "uap", metafora untuk tekanan, kebencian, atau bahkan kekerasan sosial yang tersembunyi.
Melalui metafora ini, sang penyair menyampaikan bahwa kehidupan di kota telah kehilangan sentuhan kemanusiaannya. Orang-orang tak lagi jujur, bersahabat, atau terbuka, melainkan menyebarkan “uap”—yang bisa dimaknai sebagai kebencian, sindiran, kepalsuan, dan tekanan emosional.
Puisi ini bercerita tentang seorang lelaki yang makan singkong perlahan, yang kemudian membangkitkan ingatan akan masa kecil yang bahagia. Namun, kenangan itu segera dibenturkan dengan realitas pahit kehidupan kota. Penyair kemudian mengajak pembaca melihat bahwa nasib lelaki pemakan singkong itu—yang sederhana dan mungkin tertindas—sama seperti tokoh Dracula dalam film, yang meleleh ketika terkena uap matahari.
Analogi tersebut secara sarkastik menggambarkan bahwa orang kecil atau orang baik di kota akan "melebur", kalah, atau hancur ketika berhadapan dengan tekanan sosial dan budaya kota yang keras dan tidak manusiawi.
Suasana dalam Puisi
Suasana dalam puisi ini bergerak dari nuansa tenang dan nostalgik menuju satir dan getir. Bagian awal menciptakan kesan damai, lambat, dan kontemplatif—ketika lelaki itu makan singkong dan penulis mengenang masa kecil. Namun, bagian akhir memunculkan kesan satir yang tajam dan getir: bahwa kota telah menjadi ruang yang menyesakkan dan penuh ‘uap’.
Amanat / Pesan yang Disampaikan Puisi
Amanat yang dapat ditarik dari puisi ini adalah ajakan untuk mengenang dan merefleksikan kembali nilai-nilai hidup sederhana, serta kritik terhadap kehidupan modern yang telah menggerus kemanusiaan dan kepekaan sosial. Penyair tampaknya ingin menyampaikan bahwa kita perlu mawas diri terhadap apa yang telah berubah dalam diri kita dan masyarakat akibat tekanan budaya kota—termasuk bagaimana kita memperlakukan sesama manusia.
Imaji
Puisi ini kuat dalam menciptakan imaji visual dan kinestetik. Contohnya:
- “mengunyah singkong pelan-pelan seperti gerobak sapi menapaki jalanan desa” → membentuk imaji visual dan gerakan yang lambat, sederhana, dan khas pedesaan.
- “kita masih kecil suka mandi di kali main simbur-simburan air” → membangun nostalgia masa kecil dengan imaji visual dan sentuhan.
- “orang itu nasibnya sama saja seperti cerita Dracula dalam film kena uap matahari” → imaji sinematik yang menyampaikan kehancuran atau kehampaan.
Imaji-imaji ini memperkuat pesan puisi, dengan menyentuh sisi emosional pembaca.
Majas
Beberapa majas yang menonjol dalam puisi ini adalah:
- Simile (perbandingan langsung): “mengunyah singkong pelan-pelan seperti gerobak sapi menapaki jalanan desa” → simile yang menciptakan kesan lambat, tenang, dan tradisional.
- Metafora: “menyimbur dengan uap” → metafora untuk serangan yang tidak kasat mata, mungkin berupa tekanan emosional, sindiran sosial, atau kebencian tersembunyi.
- Sarkasme / Ironi: Analogi dengan Dracula kena uap matahari tampak ironis dan menyindir kehidupan sosial kota yang menghancurkan ‘orang baik’ atau ‘orang sederhana’.
- Apostrof / penyapaan langsung: “Nah, dengan sesungguhnya aku katakan kepadamu sekarang” → sapaan langsung kepada pembaca, membuat nuansa puisi menjadi seperti pengakuan atau khotbah kecil.
Puisi “Seseorang Makan Singkong” karya Adri Darmadji Woko adalah puisi pendek namun penuh daya pukau. Ia membawa pembaca dari kenangan masa kecil yang bersih dan jujur menuju refleksi kritis terhadap kehidupan modern yang keras dan manipulatif. Dengan menggunakan tema besar perubahan sosial, makna tersirat yang menyindir realitas kota, serta imaji dan majas yang tajam, puisi ini menyuguhkan pesan bahwa dalam derasnya arus kehidupan modern, manusia bisa kehilangan jati diri dan kemanusiaannya jika tidak kembali pada akar kesederhanaan dan kejujuran.
Puisi ini layak dibaca ulang—bukan hanya untuk menikmati kesederhanaannya, tetapi juga untuk merenungkan sejauh mana kita telah berubah sebagai manusia di tengah arus zaman yang kian deras.
Karya: Adri Darmadji Woko
Biodata Adri Darmadji Woko:
- Adri Darmadji Woko lahir pada tanggal 28 Juni 1951 di Yogyakarta.
