Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Sore Itu (Karya Mustiar AR)

Puisi “Sore Itu” karya Mustiar AR bercerita tentang seorang bocah kecil yang, selepas suatu sore yang menyedihkan, menulis puisi di pasir putih ...
Sore Itu

Selepas sore itu
Bocah kecil menulis puisi putih
Di pasir membuih putih
Lhok Geudong renyuh
Pulanglah bunda
Kami tak nakal lagi.

Ujong Kareung, 2016

Analisis Puisi:

Puisi pendek “Sore Itu” karya Mustiar AR menyimpan duka yang dalam di balik lariknya yang sederhana. Dalam bentuk yang minimalis, puisi ini menyuarakan trauma masa lalu dengan simbol-simbol yang kuat. Ia bukan sekadar rekaman puitik, melainkan sebuah ratapan kecil dari generasi yang mewarisi luka sejarah.

Tema

Tema utama puisi ini adalah luka sejarah dan penyesalan anak-anak korban kekerasan. Secara khusus, puisi ini mengangkat tragedi kemanusiaan yang terjadi di Lhok Geudong, Aceh—sebuah nama yang dalam sejarah Indonesia identik dengan pelanggaran HAM berat. Di balik kesederhanaannya, puisi ini menyuarakan tema tentang kehilangan, trauma, dan kerinduan terhadap figur ibu.

Makna Tersirat

Makna tersirat dari puisi ini sangat menyentuh. Larik “Pulanglah bunda / Kami tak nakal lagi” menyiratkan permohonan maaf dan penyesalan mendalam dari anak-anak kepada ibu mereka yang sudah tiada atau menghilang karena kekerasan. Bait ini mengandung kerinduan sekaligus rasa bersalah, seolah mereka menyangka bahwa kepergian sang bunda disebabkan oleh kenakalan mereka. Padahal, konteks sejarah Lhok Geudong menunjuk pada situasi yang jauh lebih kompleks dan tragis.

Dalam makna lebih luas, puisi ini mengisyaratkan dampak psikologis dari konflik dan kekerasan terhadap anak-anak, yang tak sepenuhnya memahami situasi, namun memikul trauma dan rasa bersalah yang membekas.

Puisi ini bercerita tentang seorang bocah kecil yang, selepas suatu sore yang menyedihkan, menulis puisi di pasir putih yang berbuih. Adegan ini menggambarkan perilaku anak-anak sebagai pelarian dari kesedihan, atau sebagai bentuk ekspresi duka yang polos dan tanpa kepura-puraan. Latar tempat “Lhok Geudong renyuh” menjadi penanda bahwa ini bukan sekadar puisi anak biasa—ini adalah fragmen kecil dari sebuah tragedi besar.

Suasana dalam Puisi

Puisi ini menyimpan suasana haru dan memilukan, namun dibungkus dalam nada yang tenang. Kesedihan dalam puisi ini tidak meledak-ledak, melainkan lirih dan menyayat, seperti tangisan yang dipendam dalam sunyi. Keheningan sore hari, pasir, dan buih laut menjadi metafora dari kegetiran yang tak mampu diluapkan dengan kata-kata keras.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Puisi ini menyampaikan pesan tentang perlunya menghadirkan kembali ingatan sejarah, terutama yang menyangkut pelanggaran kemanusiaan, agar tidak diulang kembali. Suara anak-anak dalam puisi ini adalah peringatan lembut tentang dampak panjang dari kekerasan negara. Di saat bersamaan, puisi ini juga mengajak pembaca untuk melihat dari sudut pandang yang polos dan manusiawi, bahwa bahkan anak-anak pun terkena dampak paling dalam dari konflik.

Ada juga amanat kemanusiaan yang lebih universal: kerinduan akan kasih sayang, terutama sosok ibu, adalah naluri dasar manusia, yang jika direnggut, meninggalkan luka tak tersembuhkan.

Imaji

Puisi ini kuat dalam membentuk imaji visual dan emosional:
  • “Bocah kecil menulis puisi putih” menghadirkan citra yang indah sekaligus menyedihkan: kepolosan yang mencoba menyusun kata di tengah ketidakpahaman akan tragedi.
  • “Di pasir membuih putih” menciptakan gambaran pantai atau tepian laut, tempat sunyi yang menyimpan renungan, atau menjadi saksi bisu sebuah peristiwa besar.
  • “Lhok Geudong renyuh” langsung menggugah imaji sejarah dan kepedihan kolektif.
  • “Pulanglah bunda” adalah imaji emosional yang sangat kuat, simbol dari kerinduan paling dalam.

Majas

Beberapa majas penting dalam puisi ini antara lain:
  • Metafora: “puisi putih” adalah metafora untuk kesucian, kepolosan, atau kejujuran anak-anak dalam menyuarakan kesedihan.
  • Personifikasi: “pasir membuih putih” seolah menghadirkan pasir sebagai sesuatu yang hidup dan bereaksi, menambah kesan dinamis dalam kesunyian.
  • Ironi: Permintaan polos “kami tak nakal lagi” menjadi ironi tragis, sebab pembaca dewasa tahu bahwa kepergian sang bunda bukan akibat kenakalan mereka, melainkan karena kekerasan yang sistematis.
Puisi “Sore Itu” karya Mustiar AR adalah karya pendek yang memuat kekuatan luar biasa dalam menyuarakan ingatan sejarah dan luka kemanusiaan. Dengan kata-kata sederhana dan nuansa anak-anak, puisi ini justru memukul dengan lebih dalam. Ia tidak berteriak, tidak menyalahkan, tetapi menunduk dalam duka dan menulis “puisi putih” di pasir membuih, seperti anak-anak yang tak mengerti mengapa dunia bisa begitu kejam.

Melalui puisi ini, Mustiar AR tidak hanya menuliskan sejarah dengan cara puitik, tetapi juga menyuarakan suara-suara kecil yang selama ini tak terdengar—suara anak-anak korban kekerasan, suara sunyi yang memanggil pulang ibunya. Dan mungkin, suara yang terdengar paling jujur tentang kemanusiaan, justru datang dari mereka yang belum sepenuhnya mengerti arti luka.

Mustiar AR
Puisi: Sore Itu
Karya: Mustiar AR
© Sepenuhnya. All rights reserved.