Stop Pidato Itu
Pidato................pidato lagi
buat apa banyak pidato, banyak bicara
bila perbuatan tidak sesuai dengan pidato
banyak bicara bukan memakmurkan rakyat
malah harga-harga meningkat
ini kami rakyat. mohon perhatian Tuan-tuan
stop pidato itu!
berbuat dan bekerjalah
sekarang tidak waktunya lagi banyak omong
rakyat sudah kritis. Menuntut bukti
kerja nyata.
Kami bermohon: Tuan-tuan yang di atas
hiduplah sederhana
simpati kepada perjuangan kami.
Kami yang muda-muda ini sudah tau
apa yang dilakukan golongan tuan-tuan
karena itu kami bicara kini:
"kami adalah wakil zaman ini
tak banyak cerita, tapi bekerja
itulah yang kami perjuangkan kini
tiada yang lain.
Tuan-tuan......stoplah pidato itu
kami sudah bosannnnnnnnnnnn!
Sumber: Angku Gadang (1980)
Analisis Puisi:
Puisi “Stop Pidato Itu” karya Zainuddin Tamir Koto adalah manifesto kemarahan rakyat terhadap elite yang gemar berbicara namun minim aksi. Dengan gaya langsung, tanpa metafora yang berbelit, puisi ini menjadi representasi suara rakyat yang jenuh terhadap retorika politik dan menuntut perubahan nyata. Sebuah karya yang sederhana secara bentuk, namun tajam dan lantang secara makna.
Protes Rakyat terhadap Kepemimpinan Retoris
Puisi ini bercerita tentang keluhan masyarakat terhadap para pemimpin yang lebih banyak berbicara—berpidato—ketimbang bertindak nyata. Di tengah meningkatnya harga-harga dan penderitaan rakyat, pemimpin terus berbicara seolah-olah menyelesaikan masalah, padahal yang terjadi adalah kesenjangan antara ucapan dan perbuatan.
Melalui suara kolektif rakyat, penyair menyuarakan bahwa generasi muda sudah tidak bisa dibohongi oleh kata-kata manis dan janji-janji kosong. Mereka ingin bukti, bukan lagi omongan yang mengawang.
Tema: Kritik Sosial dan Tuntutan Aksi Nyata
Tema utama puisi ini adalah kritik sosial terhadap elite politik dan tuntutan terhadap kerja nyata. Puisi ini menjadi semacam seruan langsung kepada para penguasa: berhenti berbicara dan mulai bekerja.
Tema lainnya adalah kesadaran kritis rakyat, khususnya generasi muda, terhadap situasi sosial-politik yang menindas dan sistem kepemimpinan yang penuh kepalsuan. Ini adalah puisi tentang kesadaran kolektif dan harapan akan perubahan.
Makna Tersirat: Waktunya Berubah, Jangan Terbuai Retorika
Makna tersirat dari puisi ini sangat jelas: rakyat tidak lagi bisa dibungkam dengan kata-kata manis. Mereka menginginkan kepemimpinan yang bersih, jujur, dan sederhana, yang bekerja bersama rakyat, bukan hanya berbicara di podium.
Ada juga kritik terhadap gaya hidup para pemimpin yang kontras dengan penderitaan rakyat. Kalimat “hiduplah sederhana” menjadi teguran moral yang mengandung makna bahwa simpati hanya mungkin hadir jika para pemimpin merasakan sendiri derita rakyat.
Suasana dalam Puisi: Geram, Kritis, dan Tegas
Suasana dalam puisi ini sangat kuat: geram, tegas, dan penuh muatan kritik sosial. Tidak ada kehalusan bahasa puitis, karena penyair ingin menyampaikan pesan secara terang dan mendesak. Ini adalah puisi dengan emosi rakyat yang meletup, bukan dalam bentuk ratapan, tapi dalam bentuk perlawanan verbal.
Bait terakhir yang penuh penekanan—“kami sudah bosannnnnnnnnnnn!”—adalah puncak ledakan emosional yang mewakili kemuakan rakyat terhadap pidato-pidato palsu yang tak membuahkan solusi.
Amanat / Pesan: Rakyat Ingin Tindakan Nyata, Bukan Retorika
Amanat dari puisi ini sangat jelas: hentikan retorika, tunjukkan kinerja. Para pemimpin harus berhenti sekadar menjanjikan, dan mulai mendekat kepada rakyat dengan aksi nyata yang bisa dirasakan oleh mereka yang menderita.
Pesan lainnya adalah pentingnya sikap hidup sederhana dan empatik dari pejabat, agar tercipta koneksi emosional dan moral antara pemimpin dan rakyat.
Imaji: Kontras Antara Pidato dan Realitas Hidup Rakyat
Meski puisi ini tidak dipenuhi metafora yang kompleks, beberapa imaji sosial-politik tetap muncul kuat:
- “harga-harga meningkat” → imaji dari beban hidup rakyat yang makin berat.
- “kami yang muda-muda ini sudah tau” → imaji generasi muda yang kritis, melek sosial, dan tidak mudah dibohongi.
- “tiada banyak cerita, tapi bekerja” → imaji nilai kerja keras yang dipegang generasi baru, yang kontras dengan elite politik tua yang hanya pandai bicara.
Majas: Repetisi, Ironi, dan Hiperbola
Beberapa majas digunakan untuk memperkuat tekanan emosional puisi ini:
Repetisi:
- “Seandainya aku bukan buatmu” dan “Pidato... pidato lagi” menegaskan kebosanan dan kekesalan.
- “stop pidato itu” diulang-ulang sebagai bentuk tekanan agar suara rakyat didengar.
Ironi:
- Tersirat dalam pertentangan antara banyak pidato dan harga-harga meningkat, menunjukkan bahwa kata-kata manis tidak menyelesaikan masalah.
Hiperbola:
- “kami sudah bosannnnnnnnnnnn!” → pengulangan huruf ‘n’ yang sangat panjang adalah bentuk hiperbola emosional, menggambarkan kejenuhan ekstrem.
Nyanyian Protes dari Rakyat yang Tidak Bisa Lagi Diam
Puisi “Stop Pidato Itu” karya Zainuddin Tamir Koto adalah cermin perasaan rakyat yang muak terhadap kepemimpinan tanpa aksi. Ia menyuarakan perubahan zaman, saat rakyat—khususnya generasi muda—menuntut kejujuran, kerja nyata, dan gaya hidup sederhana dari para pemimpinnya.
Melalui diksi yang lugas, puisi ini tidak menyembunyikan kritik di balik metafora, melainkan langsung menampar kesadaran kita semua bahwa retorika bukanlah solusi, dan pidato tanpa kerja adalah kebohongan publik.
“Kami adalah wakil zaman ini,” kata penyair. Zaman yang menuntut bukti, bukan basa-basi.
Karya: Zainuddin Tamir Koto
Biodata Zainuddin Tamir Koto:
- Zainuddin Tamir Koto (lebih dikenal dengan nama pena Zatako) lahir pada tanggal 14 Desember 1941 di Gasan Ketek, Kabupaten Padang Pariaman, Provinsi Sumatra Barat.
- Zainuddin Tamir Koto meninggal dunia pada tanggal 11 Desember 2011 di Medan Timur.
