Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Tahanan Ranjang (Karya Joko Pinurbo)

Puisi "Tahanan Ranjang" karya Joko Pinurbo bercerita tentang seorang tokoh liris yang memutuskan untuk meninggalkan ranjangnya karena tidak lagi ...
Tahanan Ranjang

Akhirnya ia lari meninggalkan ranjang.
Lari sebelum tangan-tangan malam
merampas tubuhnya dan menjebloskannya
ke nganga waktu yang lebih dalam.

"Selamat tinggal, negara. Aku tak ingin
lebih lama lagi terpenjara. Mungkin di luar ranjang
waktu bisa lebih luas dan lapang."

Ranjang memang sering rusuh dan rawan.
Penuh horor dan teror. Di sana ada psikopat
gentayangan sambil mengacung-acungkan pistol
dan teriak, "Tiarap. Kau akan kutembak."
Kemudian ada yang balik mengancam
sambil membentak, "Angkat tangan.
Pistolmu tak bisa lagi meledak."

Ada yang lari meninggalkan ranjang.
Ada yang ingin berumah kembali di ranjang.
Pada kelambu merah ia baca tulisan:
Ini penjara masih menerima tahanan.
Dijamin puas dan jinak. Selamat malam.

1999

Sumber: Selamat Menunaikan Ibadah Puisi (2016)

Analisis Puisi:

Puisi "Tahanan Ranjang" karya Joko Pinurbo menyodorkan sebuah refleksi tajam dan satir tentang tubuh, trauma, dan perlawanan atas kuasa yang melampaui sekadar ruang tidur. Sebagaimana ciri khas penulisnya, puisi ini memadukan elemen humor gelap, absurditas, dan kritik sosial yang membisik lirih tetapi menusuk. Puisi ini bukan sekadar berbicara tentang "ranjang" sebagai furnitur fisik, melainkan sebagai metafora kehidupan, penindasan, dan ruang batin manusia.

Tema

Puisi ini mengusung tema kebebasan dan trauma yang berakar dari pengalaman personal maupun sosial. Ranjang menjadi simbol dari keterpenjaraan yang tak hanya fisik, tetapi juga psikologis dan emosional. Tema lainnya yang muncul secara bersamaan adalah kekuasaan, ketakutan, dan ambiguitas antara kenyamanan dan teror di dalam ruang paling intim manusia.

Makna Tersirat

Makna tersirat dari puisi ini adalah bahwa tidur, ranjang, atau rumah yang seharusnya menjadi tempat beristirahat dan aman, bisa menjelma menjadi penjara atau arena kekerasan. Puisi ini mengandung kritik terhadap kekerasan domestik, represi seksual, bahkan kekuasaan politik yang masuk ke dalam ruang privat. Lari dari ranjang berarti usaha membebaskan diri dari trauma dan belenggu, serta pencarian atas ruang baru yang lebih luas—baik secara fisik maupun spiritual.

Selain itu, pengucapan “Selamat tinggal, negara” juga menyiratkan ketidakpercayaan terhadap institusi atau sistem yang tidak mampu memberikan rasa aman, bahkan dalam ruang terkecil sekali pun. Ranjang, yang diwarnai oleh "psikopat", "pistol", dan "teror", melambangkan kekuasaan yang menindas dan mencederai rasa aman manusia.

Puisi ini bercerita tentang seorang tokoh liris yang memutuskan untuk meninggalkan ranjangnya karena tidak lagi merasa aman dan nyaman di sana. Ranjang telah berubah menjadi medan horor dan kekerasan—suatu ruang yang penuh ancaman dari entitas atau suara yang membayangi. Lewat pengalaman ini, tokoh dalam puisi mencoba melarikan diri untuk mencari waktu dan ruang yang lebih luas, lebih lepas, dan lebih hidup. Pada akhirnya, ia menyadari bahwa “penjara” itu tetap terbuka dan menawarkan diri untuk dihuni kembali, seolah jerat itu tak mudah dilepaskan.

Suasana dalam Puisi

Suasana dalam puisi ini adalah tegang, ganjil, dan muram dengan nuansa horor yang absurd. Ada semacam suasana surealis yang dihasilkan dari percampuran antara kenyataan dan khayalan, antara peristiwa psikologis dan kekerasan simbolik. Pembaca dibawa ke dalam ruang batin yang gelisah, terancam, namun juga ironis.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Pesan utama dari puisi ini adalah bahwa kebebasan sejati kadang harus diperjuangkan dari ruang-ruang yang dianggap paling akrab dan dekat—bahkan dari ranjang sendiri. Ranjang, simbol rumah dan keintiman, bisa menjadi tempat penindasan jika relasi di dalamnya tidak sehat. Amanat lain yang bisa ditangkap adalah ajakan untuk tidak menyerah pada trauma masa lalu, dan berani mengambil langkah keluar, mencari ruang-ruang yang lebih sehat, baik secara fisik, psikis, maupun eksistensial.

Imaji

Joko Pinurbo menciptakan imaji yang kuat dan tidak biasa:
  • “tangan-tangan malam / merampas tubuhnya”: membangkitkan imaji ancaman yang datang dari kegelapan, sesuatu yang tidak kasat mata namun terasa nyata.
  • “psikopat gentayangan sambil mengacung-acungkan pistol”: menyajikan gambaran horor seperti dalam adegan film, membentuk imaji teror domestik.
  • “kelambu merah” dengan tulisan: “Ini penjara masih menerima tahanan”: imaji visual yang absurd dan mengejutkan, seolah ranjang menjadi institusi represif.
Semua ini menghadirkan gambaran visual dan emosional yang kaya, sekaligus mengguncang kenyamanan pembaca.

Majas

Puisi ini kaya dengan penggunaan majas:
Metafora:
  • Ranjang sebagai metafora penjara, ruang represi, atau ruang trauma.
  • Negara sebagai metafora kekuasaan atau sistem yang menindas dalam bentuk paling mikro.
Personifikasi:
  • Tangan-tangan malam merampas tubuh: malam dipersonifikasi memiliki tangan dan niat jahat.
Hiperbola:
  • Penuh horor dan teror menggambarkan intensitas emosi dalam ranjang secara berlebihan namun efektif.
Ironi:
  • “Dijamin puas dan jinak. Selamat malam.”: mengandung ironi yang pahit, seolah kejahatan atau penindasan itu malah disuguhkan sebagai pelayanan yang menghibur.
Puisi "Tahanan Ranjang" adalah bentuk kontemplasi satir dan kelam tentang relasi antara manusia dengan ruang privatnya sendiri. Lewat diksi yang jenaka namun menggigit, Joko Pinurbo menyingkap ketegangan batin yang bisa terjadi dalam ranjang—ruang yang seharusnya tenang dan personal, namun malah menjadi arena trauma dan kekuasaan. Dengan tema kebebasan, kekerasan simbolik, dan pergulatan batin, puisi ini berhasil membangun imaji yang tajam dan penuh majas, mengajak pembaca untuk merenungi: apakah kita benar-benar merdeka dalam rumah dan tubuh kita sendiri?

"Puisi: Tahanan Ranjang (Karya Joko Pinurbo)"
Puisi: Tahanan Ranjang
Karya: Joko Pinurbo
© Sepenuhnya. All rights reserved.