Analisis Puisi:
Puisi “Tersebab Sunyi” karya Iswadi Pratama adalah karya yang kompleks, kaya referensi historis dan kultural, sekaligus sangat personal. Dengan gaya naratif dan reflektif, puisi ini menjelajahi bentangan peradaban dari Manhattan ke Babilonia, dari Elam hingga Mesopotamia, lalu kembali ke pekarangan sendiri — untuk menulis tentang cabai dan cobek. Perjalanan itu bukan sekadar geografis, melainkan juga spiritual, intelektual, dan emosional.
Meski tampak bercerita tentang banyak hal — sejarah, bangsa, kolonialisme, bahkan inflasi — puisi ini justru menggiring pembaca untuk merenung pada satu hal yang lebih hakiki: sunyi, dan bagaimana sunyi bisa menjadi ruang lahirnya identitas, keberanian menulis dari dalam, bukan dari kilau luar.
Keinginan Menulis dari Dalam Diri Sendiri
Puisi ini bercerita tentang seorang penyair yang bergulat dengan pilihannya untuk menulis. Ia bisa saja menulis sajak tentang sejarah global, tentang Manhattan dan Harlem, tentang Babilonia dan Mesopotamia, tentang darah, perang, penjajahan, dan peradaban yang hilang. Ia bisa memadukan referensi Yahudi, Indo-Eropa, Arya, Elam, Semit — semua bisa ia racik jadi sajak agung. Tapi di ujung semua itu, ia menolak.
Ia memilih menulis sesuatu yang lebih dekat, lebih personal, lebih “pedas” dan membumi: “tentang pedas cabe di cobekku sendiri / dan bukan tentang anggur yang sangat kau puji.”
Dengan ini, puisi menawarkan kritik terhadap romantisisme terhadap dunia luar dan penolakan terhadap identitas diri yang sederhana. Penolakan terhadap “anggur” (simbol dunia Barat, kemewahan, atau pengetahuan asing), dan penerimaan terhadap “cabe” (simbol lokalitas, keberanian, dan keaslian diri) menjadi klimaks makna dalam puisi ini.
Tema: Identitas, Penulisan, dan Ketegangan Global-Lokal
Tema utama puisi ini adalah pencarian identitas melalui penulisan, serta ketegangan antara globalitas dan lokalitas. Iswadi Pratama, melalui persona penyair dalam puisi ini, menyampaikan bahwa meskipun kita hidup dalam dunia yang penuh sejarah besar dan wacana global, tetaplah penting untuk menulis dari ruang yang paling dekat dengan kita.
Tema lain yang kuat adalah penolakan terhadap dominasi narasi besar, dan penghormatan terhadap suara personal dan sunyi. Sang aku lirik tidak menolak pentingnya sejarah dunia, tetapi ia memilih untuk tidak larut di dalamnya. Ia ingin menulis dari "pekarangan sempit"-nya sendiri.
Makna Tersirat: Keberanian untuk Menjadi Diri Sendiri dalam Berkarya
Makna tersirat dari puisi ini adalah ajakan untuk tidak larut dalam kemegahan narasi-narasi luar, apalagi jika itu hanya menjauhkan kita dari akar. Dunia menawarkan begitu banyak cerita: peradaban, konflik, kolonialisme, bahkan inflasi. Namun di tengah semua itu, penulis menyiratkan bahwa yang paling penting adalah berani menulis tentang hal-hal kecil namun otentik, tentang "cabe di cobek", bukan “anggur” yang diagungkan orang lain.
Ini adalah deklarasi keberanian untuk menulis dari ruang sunyi, dari pengalaman sendiri, dari kesederhanaan sehari-hari. Bukan karena kita tak tahu sejarah besar, tetapi justru karena kita tahu, maka kita memilih untuk tidak berpura-pura.
Suasana dalam Puisi: Reflektif, Tajam, dan Sedikit Sarkastik
Suasana dalam puisi ini adalah reflektif, dengan sentuhan tajam dan kadang sarkastik. Sang penyair terkesan mengejek absurditas peradaban besar yang telah berdarah-darah namun gagal menjaga nilai-nilai luhur. Di sisi lain, ada ironi dalam pernyataan bahwa dunia telah "menolak semua kitab suci dan menawarkan inflasi", seakan peradaban maju pun pada akhirnya hanya menghadirkan kehampaan.
Namun pada akhirnya, suasana itu menjadi lebih tenang dan akrab, ketika penyair menyebut cobek, cabe, dan pekarangan rumah — suasana yang hangat dan membumi.
Amanat / Pesan yang Disampaikan: Kembali ke Diri Sendiri
Pesan utama puisi ini adalah: karya yang jujur dan bermakna lahir dari keberanian untuk menulis dari pengalaman sendiri, bukan meniru narasi agung yang justru mengasingkan kita dari identitas kita sendiri.
Kita bisa menghargai sejarah dunia, tapi jangan sampai kehilangan suara diri. Cabe dan cobek yang kita miliki mungkin tidak mewah seperti anggur dan kebun Eropa, tetapi di sanalah keotentikan kita hidup.
Imaji: Sejarah, Kota, dan Dapur
Puisi ini menghadirkan berbagai imaji yang luas dan tajam:
- “di Manhattan, di sisi West Side” — imaji kota besar, modern, dan simbol peradaban Barat.
- “kulit mengelupas di sekujur stalagnit” — imaji kerusakan dan perubahan sejarah.
- “Peter Menurit” dan “doa kaum Yahudi yang terkunci” — imaji kolonialisme dan persekusi.
- “pekik Hammurabi” dan “darah pemberontakan Elam” — menggambarkan kekerasan sejarah dan keruntuhan peradaban.
- “cabe di cobekku sendiri” — imaji lokal yang konkret, sederhana, namun penuh makna.
Kontras antara imaji dunia luar yang besar dan rumit dengan imaji domestik yang kecil namun akrab menjadi kekuatan utama puisi ini.
Majas: Simbolisme, Ironi, dan Metafora Historis
Puisi ini kaya majas, antara lain:
Simbolisme:
- Anggur → simbol dunia luar, Barat, kemewahan, atau pengetahuan yang diagungkan.
- Cabe → simbol lokalitas, pedasnya pengalaman sendiri, dan keberanian untuk jujur.
- Cobek → simbol rumah, keseharian, dan keberanian menciptakan dari ruang pribadi.
Ironi:
- “menawarkan inflasi” – menyindir modernitas yang kehilangan nilai spiritual.
- “kita menolak semua kitab suci” – kritik terhadap masyarakat modern yang melupakan nilai esensial.
Metafora historis:
- Penggunaan tokoh dan tempat sejarah (Hammurabi, Mesopotamia, Arya) sebagai metafora dari gagalnya peradaban menjawab kebutuhan manusia secara hakiki.
Puisi “Tersebab Sunyi” karya Iswadi Pratama adalah puisi cerdas dan reflektif yang memadukan tema sejarah, identitas, dan kesadaran lokal dalam lanskap puisi kontemporer. Melalui makna tersirat tentang keberanian menjadi diri sendiri dalam berkarya, puisi ini bercerita tentang pilihan untuk menulis dari sunyi, dari dapur sendiri, daripada meniru megahnya panggung dunia.
Dengan imaji yang luas dan simbolik, serta majas yang tajam dan penuh ironi, puisi ini menjadi semacam manifesto kesusastraan personal yang membumi. Sebuah pernyataan tegas bahwa dalam dunia yang ramai dan bising, justru sunyilah tempat paling jujur untuk menulis.
Karya: Iswadi Pratama
Biodata Iswadi Pratama:
- Iswadi Pratama lahir pada tanggal 8 April 1971 di Tanjungkarang, Bandar Lampung, Lampung, Indonesia.
