Tidak Bisa Kau Biarkan Matahari
Tidak bisa kau biarkan matahari
Menyerap daun-daun
Dan pohonan sampai ngungun
(Di tanggamu seorang bergegas turun)
Tidak bisa kau biarkan matahari
Menyengat genting-genting. Lalu pijar dari dalam bumi
Dan memecah bukit-bukit ini. Tidak bisa dibiarkan
Dan kau lupa yang menerbitkan apinya
Tidak bisa kau biarkan matahari
Menenggelamkan diri
Di ubunmu. Merasuk ke segenap nadi
Dan merebut Kasihmu.
Malang, 1974
Sumber: Horison (Mei, 1975)
Analisis Puisi:
Puisi “Tidak Bisa Kau Biarkan Matahari” karya Emha Ainun Nadjib merupakan puisi kontemplatif yang penuh simbol, membicarakan tentang bahaya membiarkan sesuatu yang agung dan kuat—dalam hal ini matahari—menembus hidup manusia tanpa kendali atau kesadaran. Dengan bahasa puitis yang tajam dan penuh peringatan, puisi ini menyampaikan bahwa sesuatu yang tampak indah seperti cahaya atau kasih, jika diterima tanpa kesiapan batin, justru bisa meluluhlantakkan.
Tema
Puisi ini mengangkat tema tentang kekuatan alam dan spiritualitas yang tak bisa disepelekan. “Matahari” dalam puisi ini bukan hanya benda langit fisik, tapi juga simbol kebenaran, cinta ilahi, pencerahan, atau bahkan kekuasaan. Tema utamanya adalah bahwa kita tidak bisa sembarangan menerima kekuatan agung itu tanpa kesiapan rohani dan pengenalan akan sumbernya.
Unsur Puisi
- Struktur: Puisi terdiri dari 3 bait, masing-masing 4 baris (kuatrain), membentuk struktur yang simetris.
- Diksi: Penggunaan kata seperti menyerap, ngungun, menyengat, merebut, menenggelamkan menciptakan kesan aktif dan mendalam, serta menghadirkan ketegangan.
- Pengulangan: Frasa “tidak bisa kau biarkan matahari” diulang di awal tiap bait, menciptakan repetisi puitis yang memperkuat kesan mendesak dan memperingatkan.
Puisi ini bercerita tentang seseorang atau manusia pada umumnya yang membiarkan kekuatan matahari merasuk terlalu dalam ke dalam hidupnya, tanpa sadar bahwa cahaya itu punya kekuatan yang bisa menghancurkan bila tak dikenali sumbernya.
Matahari menjadi metafora dari banyak hal: pencerahan, kasih, kekuasaan, atau bahkan Tuhan itu sendiri. Dan puisi ini menegaskan bahwa tidak cukup hanya menerima sinar atau kasih; manusia harus sadar dari mana datangnya, dan bagaimana menyiapkan dirinya.
Suasana dalam Puisi
Puisi ini menyimpan suasana yang tegang, mendalam, dan penuh peringatan. Meskipun berbicara tentang matahari—yang biasanya diasosiasikan dengan kehangatan dan cahaya—penyair justru menciptakan aura gelisah, seolah ada kekuatan besar yang bisa meledak jika tidak diredam.
Frasa seperti:
“memecah bukit-bukit ini”“menyerap daun-daun sampai ngungun”“menenggelamkan diri di ubunmu”
menunjukkan bahwa suasana yang dibangun bukanlah damai, tapi intens dan nyaris mistis.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Beberapa pesan moral dan spiritual dari puisi ini antara lain:
- Jangan menerima kekuatan atau anugerah tanpa memahami asal dan dampaknya.
- Cinta, pencerahan, atau kekuasaan yang agung seperti “matahari” harus disikapi dengan kesadaran dan kehati-hatian.
- Jangan lupakan Tuhan sebagai sumber segala cahaya. Karena jika lupa, cahaya itu bisa menjadi bara yang menghancurkan.
- Pencerahan tanpa kesiapan batin bisa menenggelamkan jati diri dan mengaburkan cinta.
Imaji
Puisi ini kaya dengan imaji visual dan spiritual, contohnya:
- “Menyerap daun-daun / dan pohonan sampai ngungun” → Imaji alam yang menunjukkan efek kuat dari panas matahari.
- “Menyengat genting-genting… memecah bukit-bukit” → Imaji kekuatan destruktif dari matahari.
- “Menenggelamkan diri / di ubunmu… merebut Kasihmu” → Imaji spiritual yang menyentuh sisi terdalam batin manusia.
Majas
- Metafora: Matahari sebagai lambang cahaya ilahi, kekuatan, kasih, atau kesadaran spiritual.
- Personifikasi: “Matahari… menyerap daun-daun”, “menenggelamkan diri di ubunmu” → Memberikan sifat manusiawi pada matahari.
- Repetisi: Pengulangan frasa “tidak bisa kau biarkan matahari” di awal setiap bait → menciptakan efek peringatan yang kuat.
- Hiperbola: “memecah bukit-bukit”, “menenggelamkan diri di ubunmu” → melebih-lebihkan dampak dari matahari demi menekankan kekuatan dan bahayanya.
Puisi “Tidak Bisa Kau Biarkan Matahari” karya Emha Ainun Nadjib adalah puisi simbolik dan spiritual yang mengajak kita merenung tentang bagaimana manusia menyikapi anugerah besar dalam hidup—baik itu cinta, kekuasaan, maupun cahaya Tuhan. Dengan gaya yang intens dan penuh peringatan, Emha mengingatkan bahwa kekuatan besar tidak bisa dibiarkan begitu saja tanpa kesiapan jiwa, sebab justru di situlah letak kemungkinan hancurnya manusia jika tidak sadar akan sumber segala yang agung.
Matahari dalam puisi ini bukan hanya cahaya, tapi ujian. Dan puisi ini adalah doa agar kita tidak terlena dan lupa arah saat terang datang menyilaukan.
