Ulat (1)
aku bermimpi seekor ulat yang lunak tubuhnya bergeletar-geletar di permukaan kulit lengan kiriku menuju ke leher, hingga seluruh bulu-buluku berdiri karena putik kelembutanku diraba-raba olehnya
kuambil potongan kayu kecil untuk menjentiknya agar terlempar, tapi tak bisa, bahkan tiba-tiba seekor ulat lain yang bentuknya lentik dan penuh rambut halus menggeriap di permukaan kulit lengan kananku menuju ke leher
aku tersentak dan bangun — aku bergembira setengah mati karena kejadian itu hanya mimpi, tapi aku tak mau dalam ingatanku ulat itu masih menempel di kulitku dan aku tak mau ulat itu terseret mengusik-usik dan menggores kenanganku
aku ingin tidur lagi dan bermimpi menjentik ulat itu agar terlempar dan tak berjalan menuju tempat persembunyianKu, tapi tak bisa, setiap jari tanganku dengan potongan kayu kecil itu hendak menjentiknya, ribuan kaki-kakinya sang berbaris menempel erat-erat ke kulitku hingga terasa juga di rongga dadaku
maka terpaksa kupotong lengan kiriku dan lengan kananku dan darah mengucur deras, mengucur terus dan tak kunjung tuntas, tapi dari arah dadaku mendadak muncul seekor ulat yang warnanya menggeriapkanku sehingga kulit-kulitku tak berani bersentuhan dengan apapun, bahkan kedua telapak kakiku ingin meloncat dan terbang saja agar tidak menyentuh tanah
tapi celaka, dan arah ubunku, keningku, pipiku, terasa ulat-ulat berjalan mengoles-oleskan kelembutannya, semua menuju ke leher! — aku tak mau maka kuiris pipiku, kucungkil ubunku dan kusayat-sayat dadaku, aku tak mau ulat-ulat itu diam-diam berduyun-duyun menuju lubang gelap persembunyianKu dan mengancamku, tapi wahai, di leherku tiba-tiba telah berkerumun menempel ulat-ulat itu menggeriap kulit tubuhku, mengkesiap nyawaku dan mencelupkanku ke dalam cairan lenderMu! — yang membuatku takut bergerak dan tak berani tidak bergerak, yang membuat jantungku takut berdenyut dan tak berani tidak berdenyut . . .
Ulat (2)
ulat-ulat bergantungan di meja, di jendela, di pintu, di kursi, di gantungan pakaian, di buku-buku, di langit-langit bilikku, ulat-ulat melata di setiap helai rambutku, di alisku, di hidungku, di telingaku, di tanganku, di tiap jari kakiku, ulat-ulat bergelantungan dan melata di sekujur tubuhku ulat-ulat bergelantungan dan melata di batinku hingga penuh tolong sirnakan aku sebab aku takut bertempat dan menempatkan diri . . .
1976
Sumber: Horison (September, 1978)
Analisis Puisi:
Puisi "Ulat" karya Emha Ainun Nadjib bukan sekadar pernyataan estetis, melainkan ledakan perasaan yang melampaui batas kesadaran. Disampaikan dalam dua bagian naratif yang panjang dan padat, puisi ini menyerupai mimpi buruk eksistensial, di mana seekor makhluk sederhana—ulat—menjelma menjadi metafora yang mengancam fisik, pikiran, dan jiwa. Dengan gaya khas Emha yang liris sekaligus filosofis, "Ulat" mengeksplorasi trauma, keresahan batin, dan ketakutan terdalam manusia terhadap yang tak dapat dikendalikan.
Tema
Tema utama dari puisi ini adalah kecemasan eksistensial dan ketakutan terhadap sesuatu yang menyelinap ke dalam kesadaran dan batin manusia. Ulat menjadi simbol dari sesuatu yang halus, remeh, namun bisa menyiksa batin secara perlahan dan terus-menerus. Selain itu, puisi ini juga mengusung tema pembersihan diri, penghindaran dari kenangan dan trauma, serta kerentanan terhadap invasi batiniah.
Makna Tersirat
Puisi ini secara tersirat menyampaikan bagaimana hal-hal kecil yang tampaknya tidak signifikan—seperti ulat—dapat menjadi simbol dari kenangan, trauma, dosa, atau gangguan batin yang sulit dihilangkan. Bahkan ketika penyair sadar bahwa itu hanyalah mimpi, sensasi dan ingatan akan ulat tetap tertanam begitu dalam, seakan-akan tubuh dan batin menjadi ruang yang tak aman dari invasi simbolis.
Tindakan menyayat tubuh, mencungkil ubun-ubun, hingga keinginan "melompat agar tidak menyentuh tanah", merupakan simbol dari usaha ekstrem seseorang untuk terbebas dari gangguan internal yang bersifat psikis dan spiritual.
Ulat di sini bisa dibaca sebagai hasrat tersembunyi, kenangan kelam, rasa bersalah, atau bahkan godaan spiritual yang lembut tapi mematikan.
Puisi ini bercerita tentang seseorang yang mengalami mimpi ganjil dan mengerikan tentang ulat-ulat yang merayap di tubuhnya, yang meskipun dalam mimpi, efeknya sangat nyata hingga membuatnya mengalami trauma dan ketakutan mendalam. Dalam bagian pertama, si aku liris berusaha menyingkirkan ulat dari tubuhnya dengan menjentik, lalu memotong lengan, menyayat tubuh, namun ulat terus muncul dari seluruh bagian tubuhnya dan menuju ke "lubang gelap persembunyianKu"—suatu simbol batin yang terdalam.
Pada bagian kedua, pengalaman menjadi makin intens: ulat-ulat tak hanya merayapi tubuh, tetapi juga batin. Penyair menyimpulkan dengan permohonan:
“tolong sirnakan aku sebab aku takut bertempat dan menempatkan diri…”
Sebuah pernyataan total tentang alienasi, ketakutan berada di dunia, dan keinginan untuk lebur atau lenyap dari keberadaan.
Suasana dalam Puisi
Suasana puisi sangat mencekam, menegangkan, dan penuh teror psikis. Meskipun tidak ada kekerasan fisik dari luar, ketakutan yang timbul dari dalam tubuh dan batin terasa luar biasa. Pembaca akan merasakan desakan, tekanan, dan ketidaknyamanan yang meningkat seiring dengan laju puisi. Kalimat-kalimat panjang tanpa titik dalam banyak bagian membentuk suasana panik dan tak terkontrol, memperkuat kesan bahwa ini adalah mimpi buruk yang hidup.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Amanat puisi ini barangkali tidak langsung disampaikan, namun secara implisit, Emha mengajak pembaca untuk mengenali gangguan-gangguan batin yang halus namun berbahaya, dan tidak mengabaikan bisikan kecil yang bisa menjelma menjadi teror jiwa. Ada pula pesan spiritual, yakni bahwa pelarian dari kenangan, dosa, atau hasrat duniawi tidak bisa selesai hanya dengan menghindar secara fisik, karena semuanya terletak dalam ruang batin yang sangat dalam.
Imaji
Puisi ini sarat dengan imaji sensorik dan visceral, yakni yang langsung menyentuh indera tubuh:
Imaji sentuhan:
- “bergeletar-geletar di permukaan kulit lengan kiriku menuju ke leher…”
- “mengoles-oleskan kelembutannya…”
Ini menghadirkan sensasi geli, jijik, dan takut secara bersamaan.
Imaji visual:
- “ulat penuh rambut halus”
- “bergelantungan di langit-langit”
Membentuk gambaran nyata tentang banyaknya ulat yang mendominasi ruang dan tubuh.
Imaji darah dan sayatan:
- “kupotong lengan kiriku”
- “kusayat-sayat dadaku”
Memberi efek dramatis dan tragis, menggambarkan penderitaan yang tak lagi bisa dikendalikan.
Majas
Puisi ini mengandung berbagai majas yang memperkaya nuansa dan makna simboliknya:
- Simbolisme: Ulat menjadi simbol kenangan, dosa, hasrat, atau luka batin yang lembut tapi mematikan.
- Metafora: “lubang gelap persembunyianKu” sebagai metafora dari hati, jiwa, atau pusat kesadaran terdalam.
- Hiperbola: Tindakan ekstrem seperti memotong lengan dan menyayat tubuh adalah bentuk hiperbola dari penderitaan batin yang tak bisa diungkapkan secara biasa.
- Personifikasi: Ulat-ulat seolah memiliki kehendak, tahu jalan, dan bisa mencelupkan penyair ke dalam “cairan lendermu”—mewakili kekuatan asing yang menyatu dalam diri.
Puisi "Ulat" karya Emha Ainun Nadjib adalah karya sastra yang mendalam, kompleks, dan penuh simbolisme batin. Melalui kisah mimpi yang tampaknya ganjil dan menjijikkan, Emha mengajak pembaca untuk merenungkan ketakutan yang datang dari dalam diri sendiri, dari kenangan, dari dosa yang belum diselesaikan, dan dari hasrat yang menyelinap lembut tapi menghancurkan. Puisi ini berhasil memvisualisasikan teror psikologis dan spiritual, menjadikannya salah satu puisi eksistensialis paling menggugah dalam khasanah puisi Indonesia modern.
Ulat bukan sekadar makhluk lemah, tetapi simbol kekuatan batin yang bisa melumpuhkan tubuh dan jiwa manusia. Dan Emha mengingatkan kita: terkadang, satu-satunya jalan untuk terbebas bukan dengan melawan secara fisik, tetapi dengan menerima, menyelami, lalu menyucikan batin dari dalam.
