Ulee Lheue
tiba di pelabuhan sunyi
seorang anak menanti
ayah dan ibu PULANG
dibawa gelombang
tsunami
2005
Analisis Puisi:
Puisi pendek karya Rusli A. Malem berjudul “Ulee Lheue” hanya terdiri dari lima baris, namun menyimpan kedalaman makna yang mengguncang. Ulee Lheue, yang merupakan nama sebuah pelabuhan di Banda Aceh, menjadi simbol lokasi, ruang luka, dan sejarah duka yang menyentuh memori kolektif bangsa.
Dengan kesederhanaan bentuk dan ekonomi kata, puisi ini merekam kepedihan manusia yang tak selesai oleh waktu: kehilangan akibat bencana alam. Dalam hal ini, tsunami 2004 yang meluluhlantakkan Aceh menjadi konteks utama. Meski pendek, sajak ini menyentuh lapisan-lapisan eksistensial tentang rindu, kehilangan, dan harapan yang menggantung di ujung senyap.
Tema
Puisi ini mengangkat tema besar tentang kehilangan dan trauma akibat bencana alam, khususnya tsunami. Tema ini juga menyiratkan tentang kerinduan yang tak lagi bisa dijawab dan harapan yang terputus karena maut. Anak yang menunggu di pelabuhan adalah simbol dari semua korban yang ditinggalkan oleh orang-orang terkasih tanpa pamit.
Puisi ini bercerita tentang seorang anak yang berdiri di pelabuhan Ulee Lheue, menanti kepulangan ayah dan ibunya. Namun, penantian itu sunyi dan sia-sia, sebab mereka telah “dibawa gelombang tsunami”. Satu baris terakhir—“tsunami”—diletakkan sebagai kesimpulan yang mengguncang. Ia tidak hanya menjelaskan latar tragedi, tetapi menjadi penanda dentuman emosional: bahwa semua keheningan dan kehilangan itu berakar pada satu peristiwa besar yang memorinya tak mungkin dilupakan.
Makna Tersirat
Makna tersirat dari puisi ini adalah tentang betapa besar luka yang ditinggalkan oleh kehilangan mendadak, dan bagaimana duka bisa menetap bahkan setelah waktu berlalu. Anak kecil itu tidak hanya mewakili korban tsunami yang kehilangan keluarganya, tetapi juga menjadi simbol dari masyarakat yang ternganga oleh kehilangan kolektif.
Pelabuhan yang seharusnya menjadi tempat pertemuan dan perpisahan biasa, di sini berubah menjadi ruang yang hanya dipenuhi diam, sunyi, dan rindu yang tak bisa pulang.
Suasana dalam Puisi
Suasana dalam puisi sangat muram, sepi, dan pilu. Kata “sunyi” di baris pertama langsung membangun atmosfer kosong, dan semakin diperkuat oleh ketegangan emosional dalam baris-baris selanjutnya. Rasa kehilangan sangat kuat terasa, namun tak dinyatakan dengan teriakan—justru melalui ketenangan yang menggigilkan.
Imaji
Meskipun puisi ini sangat pendek, ia menciptakan imaji visual dan emosional yang kuat:
- Visual: “tiba di pelabuhan sunyi” menghadirkan gambar seorang anak kecil berdiri sendiri di tempat yang lengang dan kosong.
- Emosional: “seorang anak menanti” dan “ayah dan ibu PULANG” menciptakan gambaran kerinduan yang memilukan.
- Simbolik: Baris “dibawa gelombang” menciptakan imaji kehancuran, ketiadaan, dan ketakberdayaan.
Imaji ini memperlihatkan bahwa puisi tidak perlu panjang untuk menyayat. Satu visual yang kuat, jika ditanamkan dengan tepat, bisa mengguncang batin pembaca.
Majas
Puisi ini menggunakan beberapa majas yang efektif:
- Elipsis: Ada penghilangan informasi atau penundaan penyampaian tragedi secara eksplisit. Kita baru tahu sebab dari kepergian di akhir baris kelima: “tsunami”.
- Simbolisme: “pelabuhan” sebagai tempat bertemu dan berpisah menjadi simbol dari titik trauma.
- Repetisi implisit dan penekanan tipografi: Penggunaan huruf kapital dalam kata “PULANG” memberikan tekanan emosional—kata ini menjadi pusat harapan dan penolakan akan kenyataan.
- Ironi: Si anak menanti pulang, tetapi orang tuanya tidak akan pernah kembali. Harapan hadir bersamaan dengan kepastian kehilangan.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Amanat puisi ini adalah bahwa dalam tragedi, manusia sering kali ditinggalkan dalam diam yang tidak terjelaskan. Anak yang menanti adalah gambaran dari kita semua yang pernah kehilangan sesuatu secara tiba-tiba—dan tak tahu harus bagaimana selain menunggu.
Puisi ini juga menyiratkan pentingnya mengingat: bukan untuk meratap terus-menerus, tetapi untuk memberi ruang pada duka agar tidak terkubur begitu saja. Ingatan, meski pahit, adalah bentuk cinta terhadap mereka yang telah pergi.
Puisi “Ulee Lheue” karya Rusli A. Malem adalah sajak pendek yang menyimpan kedalaman makna luar biasa. Dengan tema kehilangan, makna tersirat tentang trauma dan kerinduan, serta penggunaan imaji dan majas yang tepat, puisi ini menjadi elegi senyap bagi ribuan jiwa yang hilang dalam gelombang.
Dalam hanya lima baris, penyair berhasil membangun suasana duka, membangkitkan kesadaran, dan menyuarakan luka yang masih tertinggal dalam denyut waktu. “Ulee Lheue” bukan hanya nama tempat, tetapi juga simbol dari tragedi, cinta, dan penantian yang tak kunjung selesai.
Puisi: Ulee Lheue
Karya: Rusli A. Malem
Biodata Rusli A. Malem:
- Rusli A. Malem lahir pada tanggal 27 November 1942 di desa Lhok Nibong, Aceh.