Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Wajah Bunda (Karya Fridolin Ukur)

Puisi "Wajah Bunda" karya Fridolin Ukur bercerita tentang kenangan masa kecil seorang anak yang begitu kuat terhadap ibunya. Ia mengingat wajah ...
Wajah Bunda

Gelap bertaut
Mencipta sebuah wajah di samar mimpi
Wajah bunda seraut!

        Di sayap hening malam
        wajah bermalam menepi sepi
        melagukan dendang bersulam

Ai manisnya
masa kanakku hidup kembali
si bocah gundul keras kepala
terulang ini semua:
pukulan di pantat diseling nasihat,
cubitan telinga disela belaian hangat!

        Ai manisnya
        Masa kanakku hidup kembali,
        Bunda,
        waktu kita menanam kacang
        semasa kita menyiangi ladang;

Gelap bertaut
Mencipta sebuah wajah di samar mimpi
Wajah bunda seraut

Sumber: Wajah Cinta (2000)

Analisis Puisi:

Tema utama dalam puisi "Wajah Bunda" adalah kerinduan dan cinta mendalam seorang anak kepada ibunya. Lewat kenangan masa kecil yang sederhana namun menyentuh, puisi ini menggambarkan betapa kuatnya figur seorang ibu dalam memori batin seseorang. Wajah sang bunda menjadi simbol kasih, didikan, dan kebersamaan yang abadi dalam benak sang anak.

Makna Tersirat

Di balik keindahan bait-baitnya, puisi ini mengandung makna tersirat tentang peran ibu sebagai pilar pembentuk karakter anak. Dalam setiap "cubitan", "pukulan", dan "nasihat", terkandung pelajaran hidup yang mendalam. Selain itu, puisi ini juga menyiratkan bagaimana kenangan masa kecil akan selalu hidup dalam batin, terutama dalam suasana sunyi atau saat-saat kontemplatif seperti malam.

Puisi ini juga menyinggung makna kehadiran yang bersifat spiritual dan abadi. Sang ibu mungkin tidak lagi ada secara fisik, namun wajahnya "bermalam menepi sepi", menjadi cahaya di tengah keheningan malam. Ini menyiratkan kehadiran yang melampaui fisik: kehadiran dalam kenangan dan kasih yang tak padam.

Puisi ini bercerita tentang kenangan masa kecil seorang anak yang begitu kuat terhadap ibunya. Ia mengingat wajah sang bunda muncul dalam mimpi saat malam gelap dan hening. Terbayang kembali masa kecil yang penuh dengan suka duka: mulai dari nasihat keras, cubitan sayang, hingga momen bekerja bersama di ladang. Cerita dalam puisi ini tidak linier, namun mengalir seperti fragmen-fragmen emosi yang muncul dari ruang batin terdalam.

Suasana dalam Puisi

Suasana dalam puisi ini adalah melankolis, hangat, dan penuh nostalgia. Ada kesan keheningan malam yang menggiring ingatan ke masa lalu yang manis. Puisi ini menyatu antara rasa rindu dan kehangatan cinta seorang anak kepada ibunya. Keheningan malam bukan hanya latar waktu, tapi juga ruang batin untuk mengenang dan meresapi kasih ibu.

Amanat / Pesan

Pesan yang dapat ditangkap dari puisi ini adalah:

Kenanglah dan hargailah kasih ibu yang sering hadir dalam bentuk sederhana—baik teguran, pelukan, maupun kebersamaan. Meskipun waktu berlalu dan ibu mungkin sudah tiada, wajah dan cinta kasihnya tetap hidup dalam jiwa anak-anaknya.

Puisi ini juga menyampaikan bahwa didikan keras namun penuh cinta dari seorang ibu adalah bentuk pengabdian yang tulus, dan akan selalu menjadi fondasi kehidupan seorang anak.

Imaji

Puisi ini sarat akan imaji visual dan imaji afektif (emosional):
  • “Gelap bertaut, mencipta sebuah wajah di samar mimpi” → imaji tentang malam yang tenang dan hening, tempat munculnya kenangan.
  • “Pukulan di pantat diseling nasihat, cubitan telinga disela belaian hangat” → imaji keseharian seorang ibu dalam membentuk karakter anak.
  • “Bunda, waktu kita menanam kacang, semasa kita menyiangi ladang” → imaji aktivitas bersama yang sederhana namun melekat.
Semua ini membentuk gambaran yang hidup, seolah pembaca turut menyaksikan kembali fragmen kehidupan masa kecil bersama ibu.

Majas

Puisi ini menggunakan beberapa majas penting untuk memperkuat kesan dan nuansa:
  • Repetisi: Pengulangan baris “Gelap bertaut / mencipta sebuah wajah di samar mimpi / wajah bunda seraut” di awal dan akhir menciptakan efek simetris sekaligus mempertegas bahwa puisi ini adalah refleksi dalam lingkaran kenangan.
  • Metafora: “Wajah bermalam menepi sepi” → wajah ibu disimbolkan sebagai kehadiran batin yang mengisi sunyi.
  • Personifikasi: “Gelap bertaut” dan “sayap hening malam” → malam digambarkan seperti makhluk hidup yang mengantar kenangan.
  • Paradoks: “Pukulan di pantat diseling nasihat, cubitan telinga disela belaian hangat” → menunjukkan bahwa kasih ibu hadir dalam bentuk keras sekaligus lembut.

Unsur Puisi

  • Diksi: Pilihan kata seperti “gelap”, “hening”, “bermalam”, “sepi”, “dendang”, “cubitan”, dan “belaian” menggambarkan suasana batin yang intens.
  • Struktur: Puisi terdiri dari tiga bagian utama: pengantar suasana malam, kilas balik masa kecil, dan penutup yang mengulang awal puisi. Struktur ini menciptakan kesatuan tematik dan emosional.
  • Nada: Nada puisi ini lirih dan penuh perenungan, sangat cocok untuk tema tentang ibu dan kenangan masa kecil.
  • Ritme: Tidak terikat pada pola rima tertentu, namun mengalir bebas dan puitis, sejalan dengan nuansa perenungan malam.
Puisi "Wajah Bunda" karya Fridolin Ukur adalah puisi yang lembut namun dalam, mengajak pembaca untuk merenungi kembali kasih sayang seorang ibu yang terkadang hadir lewat teguran dan kesederhanaan. Dengan tema kerinduan pada ibu dan masa kecil, puisi ini membangkitkan rasa hangat sekaligus haru.

Makna tersiratnya menunjukkan bahwa ibu adalah sumber kekuatan batin yang akan terus hidup dalam kenangan, meski waktu berlalu. Imaji dan majas yang digunakan memperkaya pengalaman membaca dan memungkinkan kita menyelami makna puisi secara emosional.

Puisi "Wajah Bunda" adalah puisi tentang ingatan, kasih, dan cinta yang tak pernah usang, sebagaimana wajah ibu yang selalu hadir bahkan dalam gelap dan mimpi.

Fridolin Ukur
Puisi: Wajah Bunda
Karya: Fridolin Ukur

Biodata Fridolin Ukur:
  • Fridolin Ukur lahir di Tamiang Layang, Kalimantan Tengah, pada tanggal 5 April 1930.
  • Fridolin Ukur meninggal di Jakarta, pada tanggal 26 Juni 2003 (pada umur 73 tahun).
© Sepenuhnya. All rights reserved.