Yang Terakhir
Di petak sawah terakhir
Pipit menunduk sendu
Dialah pipit terakhir
Hatinya terbakar rindu
Rindu
Rindu bersendau gurau
Rindu bercanda tawa
Rindu bersama keluarga
Kemanakah mereka?
Mereka terusir
Mereka tersingkir
Mereka berduka
Prit, prit
Pipit menjerit
Prit, prit
Suaranya melangit
Ini petak sawah terakhir
Petak harapan mengais rejeki
Akulah pipit terakhir
Menggantungkan asa di sini
Prit, prit
Pipit menjerit
Prit, prit
Suaranya melangit
Gedung-gedung perkasa
Pabrik-pabrik meraja
Petak sawah terdesak
Nafsu manusia tamak
O, pipit
Kau lemah
O, pipit
Kau kalah
Aku akan tetap di sini
Apapun yang terjadi
Biarlah aku mati
Bersama hilangnya petak ini
Ini petak sawah terakhir
Akulah pipit terakhir
Sumber: Surat dari Samudra (Balai Bahasa Jawa Tengah, 2018)
Analisis Puisi:
Dalam kumpulan puisi anak berjudul Surat dari Samudra (Balai Bahasa Jawa Tengah, 2018), karya berjudul “Yang Terakhir” oleh Arih Numboro menonjol dengan kekuatan naratif dan emosional yang tak biasa. Meski ditujukan untuk anak-anak, puisi ini menyajikan persoalan besar yang menyentuh isu lingkungan, kehilangan habitat, dan kerakusan manusia. Melalui tokoh seekor pipit, puisi ini menyuarakan kesedihan dan perlawanan atas kehancuran alam akibat ambisi manusia. Ia bukan sekadar puisi anak; ia adalah alarm kecil yang berbunyi nyaring dari pinggiran sawah yang semakin hilang.
Tema
Puisi ini mengangkat tema kehancuran lingkungan dan dampaknya terhadap makhluk hidup yang paling kecil dan lemah. Pipit sebagai tokoh utama menjadi simbol makhluk yang terdampak langsung oleh perubahan lingkungan yang drastis akibat pembangunan dan ekspansi manusia. Tema lain yang mengalir dalam puisi ini adalah kerinduan dan kehilangan, serta keteguhan dalam menghadapi kehancuran.
Makna Tersirat
Secara tersirat, puisi ini menyampaikan kritik terhadap pembangunan yang tidak berimbang, yang mengorbankan alam dan kehidupan di dalamnya demi kepentingan manusia. Pipit yang sendu dan sendiri adalah simbol dari makhluk-makhluk yang tersingkir, yang kehilangan rumah karena petak sawah digusur untuk digantikan oleh “gedung-gedung perkasa” dan “pabrik-pabrik meraja.”
Makna tersirat lainnya adalah pesan eksistensial tentang kebertahanan. Pipit sadar bahwa ia mungkin tidak bisa melawan kekuatan besar yang menggerus dunianya, tapi ia memilih untuk tetap tinggal, untuk bertahan — bahkan jika akhirnya mati bersama sawah terakhir itu. Ini adalah bentuk keberanian yang senyap, namun sangat dalam maknanya.
Puisi ini bercerita tentang seekor pipit yang tinggal di petak sawah terakhir yang tersisa. Pipit itu sedih dan rindu, karena keluarganya — pipit-pipit lain — telah pergi, terusir, dan tersingkir oleh pembangunan yang menggantikan sawah dengan gedung dan pabrik. Ia menjerit dengan suara lirih “prit, prit”, seolah memohon dan menangisi dunia yang hilang.
Namun, pipit itu tidak pergi. Ia memilih tetap tinggal, menaruh harapan terakhirnya di tempat itu. Bahkan jika ia harus mati, ia ingin mati di tanah yang ia cintai. Ini adalah cerita tentang kesetiaan, kehilangan, dan keberanian seekor makhluk kecil di tengah kehancuran besar.
Suasana dalam Puisi
Suasana puisi sangat melankolis, getir, dan menyedihkan, terutama ketika pipit digambarkan “menunduk sendu” dan hatinya “terbakar rindu.” Suasana juga menjadi muram dan mencekam saat pembangunan digambarkan menindih kehidupan kecil, menghadirkan nuansa ketidakberdayaan dan ketakutan.
Namun di balik kesedihan itu, ada juga suasana keteguhan dan tekad yang muncul ketika pipit berkata: “Aku akan tetap di sini / Apapun yang terjadi.”
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Pesan utama dari puisi ini adalah ajakan untuk menjaga dan menghargai lingkungan, terutama lahan pertanian dan habitat alam yang makin terdesak oleh pembangunan modern. Puisi ini mengingatkan bahwa setiap petak sawah bukan hanya tempat mencari nafkah bagi manusia, tetapi juga rumah bagi makhluk-makhluk lain, seperti pipit dalam puisi ini.
Amanat lainnya adalah tentang pentingnya keberanian untuk bertahan di tengah perubahan, dan tentang kesetiaan terhadap tanah dan rumah. Meski kecil, pipit tetap menolak tunduk dan memilih mati di tempat ia dilahirkan. Ini bisa dibaca sebagai pesan simbolik tentang cinta pada tanah, pada asal-usul, dan pada keseimbangan hidup.
Imaji
Puisi ini sarat dengan imaji visual dan auditif yang kuat:
- “Di petak sawah terakhir / Pipit menunduk sendu” – menggambarkan adegan sunyi dan hampa, penuh duka.
- “Prit, prit / Pipit menjerit / Suaranya melangit” – menciptakan bunyi yang bisa dirasakan pembaca, seolah menyimak jerit burung kecil di tengah kehancuran.
- “Gedung-gedung perkasa / Pabrik-pabrik meraja” – membangun gambaran tentang kekuatan besar yang menekan.
- “Menggantungkan asa di sini” – imaji harapan yang rapuh namun tetap dipegang erat.
Imaji ini menghidupkan suasana puisi dan memperkuat pesan ekologis yang dikandungnya.
Majas
Beragam majas digunakan Arih Numboro untuk memperkuat daya pukau dan pesan puisi, antara lain:
Personifikasi
- “Hatinya terbakar rindu” – Pipit digambarkan memiliki perasaan mendalam seperti manusia.
- “Petak harapan mengais rejeki” – Petak sawah dipersonifikasikan sebagai tempat penggantung harapan, bukan sekadar lahan.
Repetisi
- Kata “rindu” diulang tiga kali dalam satu bait, menekankan perasaan mendalam tokoh.
- “Prit, prit / Pipit menjerit / Prit, prit” – pengulangan ini membangun irama dan kesan dramatis.
Metafora
- “Petak sawah terakhir” menjadi metafora tentang batas akhir alam, dan “pipit terakhir” adalah simbol spesies atau generasi yang sedang menuju punah.
Antitesis
- Kontras antara “pipit” dan “gedung-gedung perkasa” atau “pabrik-pabrik meraja” menunjukkan ketimpangan kekuatan antara alam dan pembangunan.
Ironi
- Ketika pipit memilih mati di tempat terakhirnya, itu tragis tetapi sekaligus menunjukkan bentuk protes diam terhadap kerakusan manusia.
Keteguhan Pipit Terakhir di Tengah Dunia yang Rakus
Puisi “Yang Terakhir” adalah puisi anak yang membawa pesan sangat dewasa. Arih Numboro menyajikan karya ini dengan kepekaan ekologis yang tinggi, memperlihatkan bagaimana puisi bisa menjadi alat edukasi yang ampuh sejak usia dini. Anak-anak bisa belajar mengenal pentingnya lingkungan, nilai kesetiaan, dan arti bertahan lewat kisah pipit kecil di sawah yang semakin terpinggirkan.
Dengan tema yang kuat, makna yang dalam, dan penggunaan imaji serta majas yang efektif, puisi ini pantas menjadi renungan tidak hanya bagi anak-anak, tetapi juga bagi orang dewasa. Karena terkadang, suara yang paling kecil — seperti suara prit, prit dari pipit terakhir — adalah yang paling jujur memanggil kita untuk berubah.
Karya: Arih Numboro
Biodata Arih Numboro:
- Arih Numboro lahir di sebuah dusun kecil bernama Taman Kulon, Desa Wiroko, Kecamatan Tirtomoyo, Kabupaten Wonogiri.