Puisi: Sajak Gelombang (Karya Tri Astoto Kodarie)

Puisi "Sajak Gelombang" karya Tri Astoto Kodarie bercerita tentang pengalaman manusia dalam menghadapi kehidupan yang terus bergerak dan berubah— ...
Sajak Gelombang

di laut ini
gelombang selalu saling mendahului
tak ada yang sama
sementara kita masih saja
sendiri, sendiri

setiap pagi kita di sini
dan tanpa kita sadari
kita menaiki gelombang
yang selalu memecah itu
yang selalu menghantam batu
yang kita pandang itu

tapi setiap hari, setiap waktu
kita masih saja
sendiri
selalu

Semarang, 1980

Analisis Puisi:

Puisi "Sajak Gelombang" karya Tri Astoto Kodarie adalah karya kontemplatif yang memadukan kekuatan metafora alam—khususnya laut dan gelombangnya—dengan pengalaman batin manusia. Dalam larik-lariknya yang pendek dan repetitif, puisi ini memantulkan perasaan sepi yang mendalam, sekaligus menggambarkan ritme kehidupan yang terus bergerak, meski penuh tabrakan dan kegetiran. Penyair memperlihatkan bagaimana kehidupan yang dinamis seringkali kontras dengan kondisi batin yang statis—sendiri.

Tema

Puisi ini mengangkat tema tentang kesendirian eksistensial manusia di tengah dinamika kehidupan. Laut dan gelombang digunakan sebagai metafora utama untuk menggambarkan bagaimana kehidupan terus bergerak, saling bertabrakan, dan terus berubah, sementara manusia tetap terjebak dalam kondisi sepi yang repetitif.

Makna Tersirat

Di balik gambaran gelombang yang saling mendahului dan tak pernah sama, puisi ini menyimpan makna tersirat tentang waktu, perubahan, dan keterasingan. Gelombang menjadi lambang dari peristiwa demi peristiwa, perubahan demi perubahan dalam hidup, yang terus datang tanpa henti. Namun, alih-alih membuat manusia menjadi lebih menyatu dengan dunia, semua itu justru memperkuat perasaan "sendiri, sendiri", seperti yang diulang beberapa kali dalam puisi.

Ada juga kesan bahwa meskipun kita mengalami hidup bersama-sama, pada akhirnya setiap orang mengalami dan meresapi hidup sendiri, dalam sunyi yang tidak selalu bisa dibagi atau dijelaskan.

Puisi ini bercerita tentang pengalaman manusia dalam menghadapi kehidupan yang terus bergerak dan berubah—diibaratkan seperti gelombang laut—namun dalam dinamika itu, manusia tetap merasa sendiri. Puisi ini bukan sekadar gambaran suasana laut, melainkan pencerminan dari batin manusia yang seolah tak mampu bersatu dengan ritme kehidupan itu sendiri.

Setiap hari, meski melihat, merasakan, bahkan menaiki gelombang-gelombang kehidupan, manusia masih dilingkupi oleh kesendirian yang tak kunjung pergi.

Suasana dalam Puisi

Suasana dalam puisi ini sangat melankolis, sunyi, dan kontemplatif. Repetisi kata "sendiri, sendiri" dan deskripsi tentang gelombang yang "selalu memecah", "selalu menghantam batu" menghadirkan rasa perenungan yang dalam, bahkan sedikit fatalistik, seolah kesendirian adalah sesuatu yang tidak bisa dielakkan.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Amanat dari puisi ini dapat ditarik sebagai bentuk pengakuan terhadap kesendirian sebagai bagian tak terpisahkan dari kehidupan. Meskipun manusia hidup dalam masyarakat dan mengalami berbagai peristiwa, pada akhirnya proses perasaan, perenungan, dan penerimaan harus dilakukan sendiri.

Puisi ini seolah mengajak pembaca untuk menyadari keberadaan diri di tengah arus dunia yang terus berubah, dan bahwa tidak semua perubahan bisa menyentuh batin terdalam kita yang senantiasa menanggung kesepian.

Imaji

Puisi ini menghadirkan imaji visual dan emosional yang kuat, seperti:

Visual:
  • “gelombang selalu saling mendahului” menggambarkan dinamika yang tiada henti.
  • “menaiki gelombang yang selalu memecah itu” menciptakan gambaran kerasnya perjalanan hidup.
  • “yang selalu menghantam batu” menegaskan adanya benturan-benturan yang tak bisa dihindari.
Emosional:
  • “sendiri, sendiri”, “kita masih saja sendiri” menegaskan imaji sunyi dan terasing, meskipun berada di tengah hiruk-pikuk kehidupan.

Majas

Puisi ini mengandung beberapa majas penting:
  • Metafora: Gelombang laut menjadi metafora bagi perjalanan hidup dan tantangan yang terus datang tanpa henti.
  • Personifikasi: Gelombang yang “saling mendahului”, “memecah”, dan “menghantam batu” menunjukkan sifat manusia pada alam.
  • Repetisi: Frasa “sendiri, sendiri” dan pengulangan struktur kalimat seperti “kita masih saja sendiri” digunakan untuk menegaskan tema kesendirian dan menciptakan efek emosional yang dalam.

Unsur Puisi

Beberapa unsur penting dari puisi ini adalah:
  • Diksi: Kata-kata seperti gelombang, memecah, menghantam, dan sendiri dipilih untuk mengukuhkan atmosfer alam dan batin yang bersinggungan.
  • Nada dan Gaya Bahasa: Nada puisi ini serius, tenang, dan reflektif, memperlihatkan suara batin yang sedang menyelami makna eksistensial.

Puisi "Sajak Gelombang" karya Tri Astoto Kodarie adalah sajak yang menggugah perenungan tentang kesendirian manusia dalam arus kehidupan yang tak berhenti bergerak. Melalui metafora gelombang laut yang dinamis dan kuat, penyair menyampaikan bahwa manusia, meski turut bergerak bersama waktu, sering kali tetap tak mampu menghilangkan rasa kesendirian.

Puisi ini sederhana dalam bentuk, namun kaya dalam makna dan nuansa emosional. Ia menjadi cermin bagi setiap pembaca tentang bagaimana kita menghadapi hidup yang penuh perubahan, namun tetap saja, harus menanggung sebagian besar perjalanan itu dalam sunyi yang pribadi.

Puisi: Sajak Gelombang
Puisi: Sajak Gelombang
Karya: Tri Astoto Kodarie

Biodata Tri Astoto Kodarie:
  • Tri Astoto Kodarie lahir di Jakarta, pada tanggal 29 Maret 1961.
© Sepenuhnya. All rights reserved.