Sajak Jatuh Cinta
Kerna ini bunga
Maka ciumlah dengan bening jiwa
Kerna ini sajak
Maka terimalah dengan mripat kanak-kanak
Gugusan mendung yang ranum!
Menggugurkan hujan ke bumi
Dari langit jauh Engkau bagai telah turun
Pada air. Pada tanah. Dan pada sunyi
Kemudian senyap sesaat
Tuhan melintaskan syafaat
Kemudian daun-daun bersijingkat
Dalam pesona memikat
Kerna ini bunga, dik
Maka ciumlah dengan bening jiwa
Kerna ini sajak, dik
Maka terimalah dengan mripat kanak-kanak.
Sumber: Bulak Sumur - Malioboro (1975)
Analisis Puisi:
Puisi “Sajak Jatuh Cinta” karya Emha Ainun Nadjib merupakan sebuah karya liris yang menyajikan cinta dalam perspektif spiritual dan estetik. Jauh dari banalitas asmara klise, puisi ini menghadirkan cinta sebagai misteri ilahiah, yang mesti diresapi dengan jiwa bening dan mata polos seperti anak-anak. Puisi ini bukan sekadar pernyataan perasaan, melainkan meditasi puitik yang mendekatkan cinta dengan kesucian, hujan, bumi, dan syafaat Tuhan.
Tema
Puisi ini mengangkat tema cinta dalam dimensi spiritual dan estetik. Cinta tidak hadir sebagai gejolak nafsu atau emosi sesaat, tetapi sebagai fenomena agung yang menyatukan langit dan bumi, ruh dan tubuh, senyap dan syafaat. Tema lain yang hadir adalah kemurnian dalam memaknai keindahan dan pengalaman batin, serta kepekaan jiwa untuk menerima anugerah semesta.
Makna Tersirat
Makna tersirat dari puisi ini adalah ajakan untuk mengalami cinta—baik cinta kepada sesama maupun kepada Tuhan—dengan jiwa yang jernih dan hati yang polos. Emha menyarankan bahwa hanya dengan jiwa bening dan pandangan kanak-kanak, kita bisa menangkap hakikat terdalam dari cinta dan keindahan.
Kutipan seperti:
“Kerna ini bunga / Maka ciumlah dengan bening jiwa”“Kerna ini sajak / Maka terimalah dengan mripat kanak-kanak”
menunjukkan bahwa rasa cinta bukan untuk ditimbang-timbang secara rasional, melainkan untuk dirasakan dan diterima secara spiritual.
Puisi ini juga menyiratkan bahwa jatuh cinta adalah bentuk lain dari turunnya rahmat Tuhan—dinyatakan lewat gugusan mendung, hujan, dan daun-daun yang “bersijingkat” dalam pesona.
Puisi ini bercerita tentang pengalaman jatuh cinta yang tidak biasa—bukan tentang pertemuan dua insan semata, tetapi tentang hadirnya cinta sebagai hujan dari langit, sebagai peristiwa semesta yang sakral. Cinta hadir seperti syafaat ilahi, yang menyapa bumi lewat mendung, hujan, dan kesenyapan.
Melalui metafora alam dan simbol religius, Emha menarasikan perasaan cinta sebagai karunia yang tak bisa dijelaskan secara logika, hanya bisa diterima dengan penuh khidmat dan rasa syukur.
Suasana dalam Puisi
Suasana dalam puisi ini penuh keheningan, perenungan, dan kesyahduan. Ada nuansa spiritual yang lembut menyelimuti tiap larik. Kata-kata seperti “senyap sesaat”, “syafaat”, dan “pesona memikat” menciptakan atmosfer hening dan penuh takzim, seolah pembaca sedang menyaksikan ritual suci tentang datangnya cinta dalam hidup seseorang.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Amanat dari puisi ini sangat kuat:
- Jatuh cintalah dengan jiwa yang bening, dengan kepolosan hati, karena cinta bukan sekadar milik manusia, melainkan karunia dari Tuhan.
- Melalui sajak ini, Emha Ainun Nadjib juga mengingatkan bahwa menikmati keindahan dan memahami puisi (atau cinta) bukan tentang kemampuan logika, tetapi tentang kesiapan hati.
- Puisi ini mendorong pembaca untuk tidak mencemari cinta dengan kepentingan pribadi, dominasi ego, atau logika duniawi.
Imaji
Puisi ini sarat dengan imaji alam dan spiritual yang indah, antara lain:
Visual dan pergerakan alam:
- “Gugusan mendung yang ranum / menggugurkan hujan ke bumi” → citraan visual tentang mendung dan hujan yang sangat puitis.
- “Daun-daun bersijingkat” → memberi gambaran gerak halus daun yang menari tertiup angin atau karena sentuhan hujan.
Simbol spiritual:
- “Tuhan melintaskan syafaat” → memberikan dimensi sakral terhadap fenomena cinta.
Citra rasa dan sentuhan:
- “Kerna ini bunga / Maka ciumlah dengan bening jiwa” → membawa pembaca merasakan keharuman cinta dengan kepekaan jiwa.
Majas
Puisi ini kaya dengan majas yang memperkaya kedalaman maknanya:
- Metafora: “Kerna ini sajak / Maka terimalah dengan mripat kanak-kanak” → puisi disamakan dengan pengalaman murni yang hanya bisa ditangkap oleh kepolosan anak-anak.
- Personifikasi: “Daun-daun bersijingkat” → daun digambarkan seolah memiliki kehendak dan bisa bergerak dalam pesona.
- Simbolisme: Hujan, bunga, mendung, senyap → simbol dari cinta, kesucian, dan kehadiran ilahi.
- Repetisi: “Kerna ini bunga...” dan “Kerna ini sajak...” diulang dua kali, memperkuat struktur dan pesan utama puisi: perlakukan cinta (dan puisi) dengan kesungguhan dan ketulusan.
Puisi “Sajak Jatuh Cinta” karya Emha Ainun Nadjib adalah puisi spiritual tentang cinta yang dipahami sebagai karunia Tuhan, bukan sekadar relasi duniawi antar manusia. Dengan gaya bahasa yang lirikal dan puitik, puisi ini mengajak pembaca untuk merasakan cinta dan puisi dengan jiwa yang bening dan hati yang polos seperti anak-anak.
Dalam larik-lariknya, Emha berhasil menyulam metafora alam dan simbol ilahiah menjadi refleksi mendalam akan makna cinta sejati: cinta yang turun dari langit seperti hujan, yang hanya dapat ditangkap oleh hati yang lapang dan suci.
Cinta adalah bunga yang mesti dicium dengan jiwa bening. Dan puisi adalah jalan sunyi menuju Tuhan, yang hanya bisa ditempuh oleh mereka yang masih memiliki “mripat kanak-kanak.”
