Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Sajak Pegunungan (Karya Putu Oka Sukanta)

Puisi “Sajak Pegunungan” karya Putu Oka Sukanta bercerita tentang seorang tokoh yang datang ke pegunungan sebagai pengembara. Dalam perjalanannya, ...
Sajak Pegunungan

1. Ketika Datang

Ketika datang matahari bersembunyi
di balik kabut dingin
dalam selimut tebal
seperti aku
ataukah kau
dari khalayak.

Jari jentik lembut hujan
membasuh tubuh-tubuh cemara
menyusup wajahnya
hijau ya hijau
hijau daun-daun
hijau lereng-lereng
hijau ya hijau
bunga kamboja rontok di rumput
dipungut lima kembang
ditebar di ujung bantal.

2. Pengembara Baru

Aku pengembara baru
yang berlabuh berulang kali dalam semalam
ketika hangat alami menyusup pori-pori
dan membangkitkan yang terpendam.

Ya istriku
aku di sini
luluh dalam pelukan dingin pegunungan.

3. Supper

Segumpal daging tanah sawah
di atas roti tawar
dilumat
malam.

1984

Sumber: Perjalanan Penyair (1999)

Analisis Puisi:

Puisi “Sajak Pegunungan” karya Putu Oka Sukanta adalah perenungan puitik yang mengalir dalam tiga bagian: Ketika Datang, Pengembara Baru, dan Supper. Puisi ini menyajikan pengalaman batin manusia dalam pertemuan dengan alam, sekaligus menyiratkan kontemplasi eksistensial tentang kehadiran, identitas, dan hubungan spiritual antara tubuh, alam, dan ingatan.

Sebagai penyair yang dikenal dekat dengan dunia penderitaan rakyat dan spiritualitas timur, Putu Oka Sukanta menyusun puisinya dengan bahasa sederhana, namun sarat makna dan imaji yang kuat.

Tema

Tema utama puisi “Sajak Pegunungan” adalah perjalanan batin manusia menuju ketenangan dan keterhubungan dengan alam. Puisi ini mengangkat tema ketenangan yang ditemukan dalam keheningan pegunungan, perenungan eksistensial diri, serta keharmonisan manusia dengan semesta.

Makna Tersirat

Puisi ini memiliki beberapa makna tersirat yang saling bertautan:
  • Ketenangan alam sebagai pelipur jiwa: Pegunungan digambarkan sebagai tempat pelarian dan pelabuhan jiwa yang letih oleh kehidupan kota atau peristiwa masa lalu.
  • Perjalanan spiritual dan penyucian batin: Simbol-simbol seperti “hujan membasuh tubuh-tubuh cemara” dan “tebaran bunga di ujung bantal” merujuk pada ritual penyucian, baik fisik maupun batin.
  • Pertemuan cinta dalam sunyi: Dalam bait kedua, penyair menyebutkan “Ya istriku / aku di sini”, yang bisa dimaknai sebagai kerinduan akan keintiman spiritual, bukan sekadar fisik.
  • Kehidupan yang sederhana namun mendalam: Bagian Supper menggambarkan momen makan malam yang sangat sederhana tapi penuh kesadaran akan asal-usul (daging tanah sawah).
Puisi ini bercerita tentang seorang tokoh yang datang ke pegunungan sebagai pengembara. Dalam perjalanannya, ia mengalami refleksi batin. Ia melihat keindahan dan ketenangan alam, merasakan hujan, kabut, dan dingin yang menyusup ke pori-pori. Ia pun teringat akan pasangannya dan merefleksikan hubungan batinnya dengan dunia.

Bagian akhir puisi memberi penutup yang sangat membumi: manusia yang bersatu kembali dengan tanah, bahkan saat bersantap malam. Ini memperkuat kesadaran ekologis dan spiritual bahwa hidup tak lepas dari kesatuan dengan alam.

Suasana dalam Puisi

Puisi ini menciptakan suasana hening, damai, sejuk, dan kontemplatif. Suasana itu sangat terasa lewat deskripsi kabut, hujan, cemara, dan lereng-lereng yang hijau. Ada juga kesan melankolis yang lembut, terutama saat penyair menyebut “bunga kamboja rontok di rumput” dan “lima kembang ditebar di ujung bantal”, yang bisa mengingatkan pada suasana kematian atau ziarah.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Puisi ini menyampaikan beberapa pesan penting:
  • Kembali ke alam adalah jalan pulang batin manusia: Keheningan alam mengajarkan kita untuk mendengar suara terdalam dari diri.
  • Sederhana bukan berarti miskin makna: Momen makan malam dengan “segumpal daging tanah sawah di atas roti tawar” memperlihatkan bahwa kesadaran akan asal-usul lebih penting dari kemewahan.
  • Cinta dan spiritualitas bisa hadir dalam kesenyapan alam: Dalam pelukan dingin pegunungan, tokoh puisi menemukan kehangatan batin dan cinta yang universal.

Imaji

Puisi ini sangat kaya dengan imaji visual dan sensorik yang membangun atmosfer pegunungan:

Visual:
  • “matahari bersembunyi di balik kabut dingin”
  • “bunga kamboja rontok di rumput”
  • “hijau ya hijau hijau daun-daun / hijau lereng-lereng”
Taktile / peraba:
  • “jari jentik lembut hujan membasuh tubuh-tubuh cemara”
  • “hangat alami menyusup pori-pori”
Rasa / oral:
  • “segumpal daging tanah sawah di atas roti tawar dilumat malam” — menciptakan imaji tentang makanan yang menyatu dengan bumi.
Imaji ini sangat kuat dan puitis, memberi pengalaman multisensorial pada pembaca.

Majas

Beberapa majas dominan dalam puisi ini antara lain:

Personifikasi:
  • “matahari bersembunyi di balik kabut dingin” – seolah-olah matahari memiliki kehendak dan rasa takut.
  • “jari jentik lembut hujan” – hujan dipersonifikasikan dengan gerakan manusia.
Repetisi:
  • “hijau ya hijau” – pengulangan untuk menegaskan kesan mendalam tentang dominasi warna dan ketenangan alam.
Metafora:
  • “segumpal daging tanah sawah” – bukan dalam arti harfiah, tapi menggambarkan makanan yang berasal dari bumi sebagai simbol kehidupan sederhana dan menyatu dengan alam.
Simbolisme:
  • “lima kembang ditebar di ujung bantal” – bisa diartikan sebagai simbol kematian, penghormatan, atau pengharapan dalam keheningan malam.
Puisi “Sajak Pegunungan” karya Putu Oka Sukanta adalah puisi yang dalam dan tenang, seperti udara pegunungan yang menjadi latarnya. Melalui kesederhanaan kata dan kekuatan imaji, penyair mengajak pembaca merenungkan hubungan manusia dengan alam, keintiman dalam kesenyapan, dan kesadaran eksistensial tentang asal dan tujuan hidup.

Puisi ini bukan hanya panorama puitik tentang pegunungan, tetapi juga refleksi spiritual yang mengajak kita menunduk pada keagungan semesta, dan menyadari bahwa kedamaian sejati kerap hadir dalam kesunyian, bukan dalam gegap gempita kehidupan modern.

"Puisi Putu Oka Sukanta"
Puisi: Sajak Pegunungan
Karya: Putu Oka Sukanta
© Sepenuhnya. All rights reserved.