Puisi: Menunaikan Ibadah Puisi (Karya Raedu Basha)

Puisi "Menunaikan Ibadah Puisi" karya Raedu Basha bercerita tentang seorang anak muda Madura yang menempuh jalan kepenyairan. Ia menggambarkan ...
Menunaikan Ibadah Puisi

Saatnya berangkat dari rahim perawan kepenyairan
dari sucinya perjaka santri muda tengik Madura
dengan pesawat terbang yang lesat menuju suatu kota
bukan ke Mekah bukan Madinah untuk berhaji sepertimu, Mak
pun tak menjual sate, besi tua, potong rambut atau menjadi TKI
seperti masa mudamu, Pak
tapi di Pulau Dewata sana, orang-orang 
sudah menantikan anakmu ini
berpuisi
setiba di Bali, gending kutabuh sebelum subuh
aku khotbah layaknya kiai kampung ceramah:

Cita-cita orang Madura ada dua:
pertama, ingin menjadi penyair
kedua, ingin naik haji
kami bersyair seumpama mengumandangkan azan
kami berusaha mengumpulkan uang
guna menabung pergi haji
setelah dua cita-cita itu terpenuhi
kami boleh mati
itulah makna kebebasan bagi kami
mengisi kefanaan hidup ini”

Lalu penonton tertawa aplaus meriah
seperti menertawakan pendengus kekuasaan
dan bertepuk tangan terhadap kehebatan orator
di antara hadirin yang polos padahal sebenarnya 
mereka diteror
tiba-tiba aku terkenang malam sebelum tidur
kakek menembangkan kidung
: kalbu kita terlalu puitis
Bagi sempitnya kata-kata.

Ubud, 2015

Analisis Puisi:

Puisi "Menunaikan Ibadah Puisi" karya Raedu Basha adalah salah satu karya yang memperlihatkan perpaduan antara tradisi, agama, dan ekspresi kepenyairan. Melalui larik-lariknya, penyair tidak hanya mengungkapkan identitas diri sebagai anak Madura, tetapi juga menghubungkannya dengan perjalanan spiritual dan sosial yang penuh makna. Puisi ini sarat dengan simbol, imaji, dan pesan moral yang menyentuh kehidupan, khususnya dalam memandang peran puisi sebagai sebuah ibadah.

Tema

Tema utama dalam puisi ini adalah puisi sebagai bentuk ibadah sekaligus jalan menuju kebebasan dan eksistensi hidup. Penyair menempatkan kepenyairan sejajar dengan cita-cita religius, yaitu menunaikan ibadah haji, yang menunjukkan betapa besar nilai yang diberikan kepada dunia kepenyairan.

Puisi ini bercerita tentang seorang anak muda Madura yang menempuh jalan kepenyairan. Ia menggambarkan bagaimana tradisi keluarganya yang sederhana (orang tua bekerja menjual sate, besi tua, potong rambut, atau menjadi TKI), namun dirinya memilih jalan yang berbeda: menjadi penyair.

Perjalanan menuju Bali untuk membaca puisi digambarkan bukan sekadar perjalanan fisik, melainkan perjalanan batin yang disamakan dengan menunaikan ibadah. Dalam puisinya, Raedu Basha juga menceritakan cita-cita masyarakat Madura, yaitu menjadi penyair dan naik haji, sebagai dua hal yang melambangkan puncak kebahagiaan dan kebebasan hidup.

Makna tersirat

Makna tersirat dalam puisi ini adalah kepenyairan bukan sekadar kegiatan estetis, tetapi juga spiritual dan sosial. Puisi dapat menjadi media dakwah, perlawanan terhadap kekuasaan, dan sarana untuk meneguhkan identitas diri.

Selain itu, penyair ingin menunjukkan bahwa kesederhanaan hidup orang Madura tidak menghalangi mereka untuk memiliki cita-cita tinggi, baik dalam bidang seni maupun agama. Ada juga sindiran terhadap kondisi sosial-politik, di mana masyarakat sering ditertawakan atau diteror oleh kekuasaan, namun tetap berusaha menemukan makna hidup lewat kebebasan berpuisi.

Suasana dalam puisi

Suasana dalam puisi ini cukup kompleks. Ada nuansa sakral ketika penyair menyamakan berpuisi dengan azan atau khutbah. Ada juga nuansa penuh semangat dan kebanggaan saat ia menceritakan cita-cita orang Madura. Di sisi lain, terdapat suasana satir dan getir ketika penonton tertawa dan bertepuk tangan, seolah menertawakan kekuasaan yang menindas namun tidak benar-benar bebas dari teror.

Amanat / Pesan yang disampaikan

Amanat yang dapat dipetik dari puisi ini adalah bahwa puisi bisa menjadi bentuk ibadah, perjuangan, dan jalan kebebasan hidup. Penyair mengingatkan bahwa hidup hanya sementara, sehingga manusia harus menemukan makna melalui cita-cita luhur—baik dengan menulis puisi maupun menjalankan ibadah haji.

Selain itu, penyair juga menyampaikan pesan agar kita tetap teguh pada identitas dan tidak takut melawan ketidakadilan. Puisi, dalam hal ini, hadir sebagai senjata moral dan spiritual.

Imaji

Puisi ini menghadirkan imaji yang kuat, misalnya:
  • “berangkat dari rahim perawan kepenyairan” → menghadirkan gambaran kelahiran baru sebagai penyair.
  • “setiba di Bali, gending kutabuh sebelum subuh” → menampilkan suasana tradisi Bali yang khas.
  • “kami bersyair seumpama mengumandangkan azan” → menciptakan imaji auditori yang sakral.
  • “menangkap senyuman dari atas kastil” → menyiratkan simbol kejayaan atau impian tinggi.
Imaji-imaji ini memperkaya puisi dengan nuansa visual, auditori, dan religius yang saling bersilangan.

Majas

Beberapa majas yang muncul dalam puisi ini antara lain:
  • Metafora – “rahim perawan kepenyairan” menggambarkan kelahiran baru dalam dunia puisi.
  • Simile (perbandingan) – “kami bersyair seumpama mengumandangkan azan” menyamakan puisi dengan panggilan sakral.
  • Hiperbola – “keindahan surgawi menyala dari api neraka” (pada bagian akhir sajak, dengan kontras ekstrem antara surga dan neraka).
  • Ironi/Satira – ketika penonton tertawa, penyair menyinggung bagaimana tawa itu sebenarnya menutupi kenyataan pahit tentang teror kekuasaan.
Puisi "Menunaikan Ibadah Puisi" karya Raedu Basha memperlihatkan bahwa puisi tidak hanya bicara soal estetika bahasa, melainkan juga tentang spiritualitas, perjuangan sosial, dan pencarian makna hidup. Tema, makna tersirat, imaji, serta majas yang digunakan membuat puisi ini kaya lapisan interpretasi. Melalui puisinya, Raedu Basha menyuarakan pesan bahwa menulis puisi adalah sebuah ibadah dan bentuk kebebasan sejati.

"Puisi Raedu Basha"
Puisi: Menunaikan Ibadah Puisi
Karya: Raedu Basha
© Sepenuhnya. All rights reserved.