Analisis Puisi:
Puisi "Aku Memungut Mata" karya I Nyoman Wirata adalah karya yang sarat refleksi tentang hubungan antara masa lalu, masa kini, dan masa depan dalam konteks kebudayaan serta pembangunan. Dengan gaya bahasa yang puitis dan simbolik, penyair mengajak pembaca merenungkan nilai warisan budaya di tengah arus modernisasi yang cepat.
Tema
Tema puisi ini adalah refleksi budaya dan nilai masa lalu di tengah perkembangan zaman. Penyair menekankan pentingnya menghargai dan membangun masa kini dengan fondasi nilai sejarah, tradisi, dan cinta, agar tidak tercerabut dari akar identitas.
Puisi ini bercerita tentang seseorang yang “memungut” — atau lebih tepatnya, menemukan kembali — pandangan (mata), irama, dan kata yang merekam sejarah serta nilai-nilai lama. Di tengah pembangunan kota-kota yang modern dan benderang, penyair mengingatkan bahwa ada keindahan masa lalu yang patut dijaga. Perahu besar kota yang berlayar tanpa tujuan jelas menjadi metafora akan modernisasi yang kehilangan arah jika melupakan akar budaya.
Makna Tersirat
Makna tersirat dari puisi ini adalah bahwa modernisasi dan kemajuan tidak boleh mengorbankan warisan budaya dan nilai-nilai luhur masa lalu. “Memungut mata” melambangkan kesadaran kembali untuk melihat keindahan dan makna yang dekat namun sering diabaikan. “Memungut irama” dan “memungut kata” menjadi simbol upaya mempertahankan harmoni budaya, bahasa, dan nilai-nilai leluhur di tengah ancaman hilangnya identitas akibat urbanisasi dan globalisasi.
Suasana dalam Puisi
Suasana dalam puisi ini terasa reflektif dan gundah, bercampur antara rasa cinta terhadap keindahan warisan budaya dengan kekhawatiran akan hilangnya jejak sejarah di tengah perkembangan zaman.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Pesan yang ingin disampaikan penyair adalah bahwa pembangunan fisik harus diiringi dengan pembangunan jiwa dan pelestarian budaya. Cinta pada masa lalu bukan berarti menolak kemajuan, tetapi menjadikannya landasan agar kemajuan tersebut memiliki arah yang jelas dan berakar pada identitas yang kuat.
Imaji
Puisi ini kaya akan imaji visual dan auditif:
- “Aku memungut mata di sebuah bale banjar” — membentuk gambaran ruang komunal yang khas dalam budaya Bali.
- “Kota-kota berlayar dalam cahaya benderang” — menciptakan visual kota modern penuh lampu.
- “Memungut irama di tubuh kota-kota” — memberi kesan adanya suara dan ritme kehidupan perkotaan.
Imaji ini membantu pembaca membayangkan kontras antara kehidupan tradisional dan modern yang menjadi inti perenungan penyair.
Majas
Beberapa majas yang menonjol dalam puisi ini antara lain:
- Metafora — “Memungut mata”, “memungut irama”, dan “memungut kata” bukan diartikan secara literal, melainkan melambangkan pencarian kembali nilai dan makna hidup.
- Personifikasi — Kota-kota “berlayar” dan “suka alpa” memberikan sifat manusia pada objek tidak hidup.
- Simbolisme — “Perahu besar” melambangkan perjalanan peradaban atau arah pembangunan.
- Repetisi — Frasa “Aku memungut…” diulang beberapa kali untuk memberi penekanan pada proses pencarian dan pengumpulan nilai-nilai yang terlupakan.