Analisis Puisi:
Puisi “Berjalan” karya Agit Yogi Subandi bukanlah sekadar perjalanan fisik menyusuri ruang-ruang kota, tetapi sebuah kontemplasi eksistensial—tentang arah, tujuan, dan kesendirian di tengah keramaian. Agit membawa kita pada jalanan malam yang padat, bukan oleh lalu lintas semata, tetapi oleh teriakan diam manusia, oleh kebingungan yang tak tersampaikan, dan oleh makna-makna yang terselip di balik kata "sampai."
Tema
Tema utama puisi ini adalah eksistensi dan keterasingan manusia dalam perjalanan hidup. Penulis menyuarakan pergulatan batin dan keheningan yang menyesakkan, meskipun dikelilingi oleh banyak orang. Puisi ini adalah refleksi dari perjalanan hidup yang tak selalu menjanjikan kejelasan, bahkan ketika arah telah ditentukan.
Puisi ini bercerita tentang seseorang yang berjalan menempuh hidup sesuai seperti yang pernah diperkirakan—penuh kebimbangan, sepi, dan kegagalan komunikasi. Di tengah malam dan beton jalanan, ia menyadari bahwa semua orang tengah sibuk dengan jeritan batinnya sendiri. Tak ada ruang untuk didengar, tak ada gema yang memantulkan suara. Ia juga mulai memahami perbedaan antara mereka yang memiliki tujuan hidup dan mereka yang hanya melangkah tanpa arah.
Makna Tersirat
Makna tersirat puisi ini sangat kuat dan kompleks. Di antaranya:
- Setiap manusia pada dasarnya kesepian, bahkan di keramaian.
- Komunikasi telah gagal, karena orang terlalu sibuk dengan pikirannya sendiri.
- Hidup bukan tentang sampai atau tidak, tapi tentang bagaimana kita menjalani perjalanan itu.
- Ada luka-luka batin yang tak pernah terucap, dan tak semua kisah sempat menjadi cerita.
Penyair juga mengajak pembaca untuk meninjau ulang definisi "berjalan"—bahwa itu bukan hanya kegiatan berpindah tempat, tapi juga kesadaran untuk hadir secara utuh dalam proses hidup, meski sunyi dan perih.
Suasana dalam Puisi
Suasana dalam puisi hening, mencekam, penuh kebimbangan, dan sekaligus melankolis. Ada rasa sepi yang padat, seperti jalan malam yang terang oleh lampu tetapi dingin oleh ketidakpedulian.
Kata-kata seperti “teriakan yang lesap ke dinding”, “lorong-lorong mengecoh logika”, “resah yang tak sempat sampai kepada gelisah” menciptakan suasana yang menghantui—mewakili tekanan emosional yang mendalam namun tak terdengar oleh dunia luar.
Amanat atau Pesan yang Disampaikan
Amanat dari puisi ini adalah:
- Berjalanlah dengan sadar, hadirkan dirimu sepenuhnya dalam hidupmu sendiri, bahkan ketika dunia terasa asing dan tak mendengarkan.
Agit ingin menyampaikan bahwa dalam dunia yang sibuk dan padat, kesadaran diri menjadi satu-satunya penerang. Kita tak bisa mengandalkan siapa pun untuk memahami jeritan batin kita; karena itu, hadirlah untuk dirimu sendiri, dan tetap berjalan, bukan sebagai pelarian, tetapi sebagai kesetiaan pada makna hidup.
Imaji
Puisi ini kaya akan imaji yang membangun atmosfer konkret dari jalan malam dan kekosongan batin:
- Visual: “jalan kedap”, “beton-beton di pinggir jalan”, “lorong-lorong” membentuk citra jalanan kota yang menyesakkan.
- Auditori: “teriakan yang lesap” menggambarkan kehampaan suara di dunia yang tak peduli.
- Kinestetik: “berjalan dalam bimbang”, “debar yang hilang”, menciptakan gerak hati yang labil.
- Emosional: “resah yang tak sempat sampai kepada gelisah” sangat puitis dan emosional, memberi kesan adanya tekanan yang bahkan tak mampu menjadi kesedihan utuh.
Majas
Agit menggunakan sejumlah majas untuk menguatkan daya ungkap puisi ini:
Metafora:
- “kata ‘sampai’ akan tersuruk ke dalam makna” – menggambarkan betapa tujuan hidup bisa kehilangan artinya.
- “jutaan debar yang hilang” – mewakili harapan atau ketegangan batin yang tak sempat berkembang.
Personifikasi:
- “lorong-lorong mengecoh logika” – memberi lorong sifat manusiawi.
- “gema itu kosong” – gema diberi makna spiritual yang biasanya menggambarkan respons atau pantulan perasaan.
Paralelisme (pengulangan struktur kalimat):
- “ada resah...”, “ada gelisah...”, “banyak orang menghiba...” – memperkuat emosi puisi dan membuat pembaca larut dalam irama perenungannya.
Puisi "Berjalan" karya Agit Yogi Subandi adalah sebuah refleksi eksistensial yang dalam. Ia bukan hanya bicara tentang kaki yang bergerak, tetapi tentang jiwa yang terus berusaha memahami ke mana ia sedang menuju dan apakah benar-benar ada tempat untuk sampai. Di tengah keramaian dunia yang membisu, puisi ini mengajak pembaca menjadi pejalan yang sadar, meski harus menempuh jalanan sunyi dan berbatu.
Seperti kata-kata di ujung puisi:
“berjalanlah, seperti orang yang benar-benar sedang berjalan.”