Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Bukit-Bukit Teh Puncak (Karya Ragil Suwarna Pragolapati)

Puisi "Bukit-Bukit Teh Puncak" karya Ragil Suwarna Pragolapati bercerita tentang perubahan lanskap sosial, politik, dan budaya di kawasan Puncak.
Bukit-Bukit Teh Puncak

Spontan engkau teringat kawan wartawan di koran
Reportase bersambung, foto-foto, dan gosip pers
Atau bumi di sini telah dibangun opini zaman
Menjadi arca dan berhala, semesum aroma sex
Engkau tiada singgah. Waktumu kelewat sempit
Hanya mata menjelajah. Menaklukkan bukit-bukit
Tiada terbebas engkau dari gunjingan orang-orang
Artikel emosional, fiksi romantik, selalu tegang
Namun ingatanmu menguber-uber jejak Bung Karno
Melacak Pak Marhaen, fosil perjuangan 1927-1930
Terkenang sang perwira veteran dari kota Bogor
Miskin dan minder, perjuangannya panjang-lebar
Di sini, banyak erosi dan bukit longsor-longsor
Di manakah fosil Indonesia Menggugat tersohor?
Masa-silam, masa-kini, masa-depan, campur-baur

Kosong! Pepohonan amat jarang, tanpa ada dusun
Gugus-gugusan teh tidak lagi berpelindung rimbun
Tanpa suara nyanyi. Tiada mojang cantiknya lagi
Bumi Priangan berbeda dengan foto, liputan koran
Di manakah penyair yang jadi sang sinder perkebunan
Yang mengganti puisi denga lagu merdu pohonan teh
Yang kaya-raya bukan oleh sastra, melainkan cengkih
Kabut dan dingin enggan menjawab. Hanyalah senyap
Harapan dan mimpi melayang jauh. Lindap dan luruh
Kenyataan dan hidup kini menegas. Keras dan ganas

Paling berkuasa memang uang. Tangan orang hartawan
Cinta sexualita jadi bisnis panjang. Benar, kan?
Engkau membaca. Mendengar. Melihat foto-foto gempar
Namun di sini kau dungu, hanya jadi saksi melongo
Keinginan tahumu diganyang realitas dan tubuh loyo


Pasundan, 1982 - Jabotabek, 1986

Sumber: Salam Penyair (2002)

Analisis Puisi:

Puisi "Bukit-Bukit Teh Puncak" karya Ragil Suwarna Pragolapati merupakan salah satu karya yang penuh dengan kritik sosial, refleksi sejarah, dan renungan mendalam mengenai perubahan wajah masyarakat serta lingkungan. Melalui larik-lariknya, pembaca diajak merenungkan pergeseran nilai, hilangnya jejak perjuangan masa lalu, hingga dominasi kapitalisme yang mengubah wajah alam dan manusia.

Tema

Tema utama puisi ini adalah kritik sosial dan perubahan zaman. Penyair mengangkat keresahan tentang bagaimana Puncak, yang dahulu kaya dengan nilai perjuangan, alam yang subur, dan nuansa pedesaan, kini berubah menjadi arena bisnis, gosip, opini media, serta kuasa uang.

Puisi ini bercerita tentang perubahan lanskap sosial, politik, dan budaya di kawasan Puncak. Penyair membandingkan antara masa lalu yang penuh dengan jejak perjuangan tokoh-tokoh bangsa, dengan masa kini yang lebih banyak dipenuhi kepentingan ekonomi, bisnis, dan sensasi media. Gambaran alam pun turut digambarkan mengalami kerusakan: bukit longsor, pepohonan jarang, dan desa-desa yang lenyap.

Makna tersirat

Makna tersirat dari puisi ini adalah kekecewaan terhadap hilangnya nilai luhur dan semangat perjuangan bangsa yang dulu melekat di tanah Priangan. Penyair juga menyindir bagaimana media massa sering kali hanya menyajikan sensasi tanpa menyentuh realitas mendasar. Selain itu, terdapat kritik terhadap kapitalisme yang menjadikan uang dan bisnis sebagai penguasa utama, bahkan mengkomodifikasi cinta dan seksualitas.

Suasana dalam puisi

Suasana dalam puisi ini terasa muram, getir, dan kritis. Ada semacam nostalgia yang dikombinasikan dengan rasa kecewa melihat perbedaan mencolok antara masa lalu yang penuh harapan dengan masa kini yang keras dan penuh dominasi uang.

Amanat / pesan yang disampaikan puisi

Pesan yang ingin disampaikan adalah agar kita tidak melupakan sejarah, perjuangan, dan nilai-nilai luhur bangsa. Selain itu, puisi ini juga memberi peringatan bahwa jika masyarakat terlalu tunduk pada uang, bisnis, dan media yang dangkal, maka lingkungan dan budaya akan hancur, serta identitas bangsa akan kian memudar.

Imaji

Puisi ini kaya dengan imaji yang kuat, misalnya:
  • Visual: “bukit-bukit”, “fosil perjuangan 1927-1930”, “pepohonan amat jarang”, “gugus-gugusan teh tidak lagi berpelindung rimbun”. Imaji visual ini menggambarkan kerusakan alam sekaligus jejak sejarah yang memudar.
  • Auditif: “tanpa suara nyanyi”, “tiada mojang cantiknya lagi” – menghadirkan kesepian dan hilangnya keceriaan yang dulu ada di Puncak.
  • Imaji perasaan: perasaan kosong, kecewa, dan getir, misalnya dalam larik “Harapan dan mimpi melayang jauh. Lindap dan luruh”.

Majas

Beberapa majas yang digunakan dalam puisi ini antara lain:

Metafora:
  • “Bumi di sini telah dibangun opini zaman / Menjadi arca dan berhala” → menggambarkan bagaimana opini publik dan media berubah menjadi sesuatu yang diagungkan.
  • “Fosil perjuangan 1927-1930” → metafora untuk kenangan sejarah perjuangan rakyat yang kini hanya menjadi sisa masa lalu.
Personifikasi:
  • “Kabut dan dingin enggan menjawab” → kabut dan udara dingin digambarkan seolah makhluk hidup yang bisa enggan memberi respon.
Hiperbola:
  • “Cinta sexualita jadi bisnis panjang” → penggambaran berlebihan untuk menegaskan kritik terhadap komersialisasi cinta.
Ironi:
  • “Namun di sini kau dungu, hanya jadi saksi melongo” → sindiran terhadap manusia modern yang berpendidikan, namun tetap tak mampu berbuat banyak menghadapi kenyataan.
Puisi "Bukit-Bukit Teh Puncak" karya Ragil Suwarna Pragolapati bukan sekadar potret alam atau nostalgia sejarah, melainkan kritik mendalam terhadap perubahan sosial, budaya, dan ekonomi di Indonesia. Ia menghadirkan teguran agar masyarakat tidak kehilangan arah, tetap menjaga sejarah, dan tidak menyerahkan segalanya kepada kuasa uang. Imaji yang kuat dan majas yang tajam menjadikan puisi ini relevan, terutama di tengah krisis identitas dan lingkungan yang masih terjadi hingga kini.

Ragil Suwarna Pragolapati
Puisi: Bukit-Bukit Teh Puncak
Karya: Ragil Suwarna Pragolapati

Biodata Ragil Suwarna Pragolapati:
  • Ragil Suwarna Pragolapati lahir di Pati, pada tanggal 22 Januari 1948.
  • Ragil Suwarna Pragolapati dinyatakan menghilang di Parangtritis, Yogyakarta, pada tanggal 15 Oktober 1990.
  • Ragil Suwarna Pragolapati menghilang saat pergi bersemadi ke Gunung Semar. Dalam perjalanan pulang dari kaki Gunung Semar menuju Gua Langse (beliau berjalan di belakang murid-muridnya) tiba-tiba menghilang. Awalnya murid-muridnya menganggap hal tersebut sebagai kejadian biasa karena orang sakti lumrah bisa menghilang. Namun, setelah tiga hari tiga malam tidak kunjung pulang dan dicari ke mana-mana tidak diketemukan. Tidak jelas keberadaannya sampai sekarang, apakah beliau masih hidup atau sudah meninggal.
  • Dikutip dari Leksikon Susastra Indonesia (2000), pada masa awal Orde Baru, Ragil Suwarna Pragolapati pernah ditahan tanpa proses pengadilan karena melakukan demonstrasi.
  • Ragil Suwarna Pragolapati sering terlibat dalam aksi protes. Berikut beberapa aksi yang pernah diikuti: Menggugat Mashuri, S.H., Menteri PK, 1968. Memprotes Pemda Yogya, kasus Judi, 1968. Menggugat manipulasi dan korupsi, 1970-1971. Aksi memprotes Golkarisasi, 1970-1972. Memprotes Taman Mini Indonesia Indah (TMII), 1971-1972. Aksi menggugat SPP, 1971-1972. Aksi menolak televisi warna, 1971-1973. Aksi menolak komoditas Jepang, 1971-1974. Protes breidel pers 1977-1978.
© Sepenuhnya. All rights reserved.