Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Cangkul Tumpul (Karya Agit Yogi Subandi)

Puisi “Cangkul Tumpul” karya Agit Yogi Subandi bercerita tentang kehidupan manusia yang digambarkan melalui simbol cangkul yang sudah tumpul.
Cangkul Tumpul

Aku di dalam cangkul yang tumpul. Ia tak bisa lagi menggali tanah hingga dalam. Orang-orang yang mencangkul, akan mengencangkan otot tangannya. Tanah-tanah terasa keras di mata cangkul itu. Kami tak bisa mengasahnya. Kami tak bisa menghiasnya. Kami tak bisa membuatnya menjadi cangkul yang bisa digunakan untuk berkebun. Di dalam cangkul itu, kami beranak pinak. Kami menulis sajak pesimis. Kami makan dan minum dari tangis kawan kami sendiri. Mungkinkah cangkul dan kami akan tetap berarti? Sementara kawan-kawanku semakin pandai menyulam asmara purba: Saling menggoda, saling bertanding luka.

Kepala-kepala kami menjadi batu. Batu yang mudah pecah. Kami beradu kepala hingga remuk. Siapa yang bertahan? Kami menodai diri kami sendiri dengan lumpur-lumpur sawah. Kami membunuh kawan kami dengan prilaku dan kata. Pisau adalah alat pencankok kebencian di tubuh kami. Kami seret mayat-mayat itu ke lubang-lubang kepiting dan tong-tong sampah. Kami diam. Kami mensucikan diri dengan menggendong bayi-bayi dan membuka perayaan dengan pidato. Burung-burung gagak berterbangan sambil tersenyum senang sekaligus bengis. Aku diam. Kami menjadi diam. Percakapan justru membungkam. Otak kami mati. Tangan kami hanya menjelajah ruang rahasia. Cangkul tumpul. Tanah mandul.

Tanjung Karang, 2009

Analisis Puisi:

Puisi “Cangkul Tumpul” karya Agit Yogi Subandi adalah sebuah karya yang sarat dengan simbol dan kritik sosial. Melalui pilihan diksi yang padat dan penuh metafora, penyair menggambarkan realitas hidup yang stagnan, kehilangan daya guna, bahkan kehilangan harapan. Cangkul, sebagai simbol utama, tidak hanya mewakili alat pertanian, melainkan juga perlambang kehidupan, manusia, serta peradaban yang tumpul menghadapi tantangan zaman.

Tema

Tema utama dalam puisi ini adalah keputusasaan dan kebuntuan dalam kehidupan sosial. Penyair menggunakan simbol “cangkul tumpul” untuk menyoroti kegagalan, stagnasi, dan kemandulan dalam bekerja, berkarya, maupun membangun kehidupan yang lebih bermakna.

Selain itu, puisi ini juga memuat tema kritik terhadap masyarakat yang larut dalam konflik, saling melukai, dan kehilangan nilai kemanusiaan.

Puisi ini bercerita tentang kehidupan manusia yang digambarkan melalui simbol cangkul yang sudah tumpul. Cangkul itu tidak lagi mampu menggali tanah, yang berarti manusia tidak lagi mampu menghasilkan sesuatu yang bermanfaat.

Di balik simbol tersebut, tersirat gambaran tentang orang-orang yang terjebak dalam pertikaian, saling menyakiti, bahkan kehilangan arah. Mereka makan dari tangis sesamanya, hidup dalam kesedihan, dan justru merayakan kepalsuan di tengah kehancuran moral.

Kehidupan yang digambarkan bukanlah kehidupan yang subur, melainkan kehidupan yang penuh luka, kebencian, dan kemandulan.

Makna tersirat

Makna tersirat dari puisi ini adalah kritik terhadap kondisi sosial dan kemanusiaan yang semakin merosot. Penyair ingin menunjukkan bahwa ketika manusia kehilangan daya cipta, kehilangan kepekaan, dan lebih memilih saling melukai, maka kehidupan menjadi “tanah mandul” yang tidak lagi melahirkan kebaikan.

Selain itu, terdapat makna pesimis bahwa modernitas atau peradaban yang dibangun dengan pertengkaran hanya akan menghasilkan kehancuran. Cangkul tumpul menjadi metafora tentang manusia yang kehilangan fungsi dan makna hidupnya.

Suasana dalam puisi

Suasana yang tercipta dalam puisi ini adalah muram, pesimis, dan penuh ketegangan. Gambaran tentang kepala yang pecah, tubuh yang dilumuri lumpur, mayat yang diseret, hingga burung gagak yang tersenyum bengis memperkuat atmosfer kegelapan dan keputusasaan.

Amanat / pesan yang disampaikan

Pesan yang dapat ditangkap dari puisi ini adalah bahwa hidup yang diwarnai dengan kebencian, pertikaian, dan kemandulan pikiran hanya akan membawa kehancuran. Penyair seolah ingin menyampaikan bahwa manusia harus kembali mempertajam “cangkul” kehidupan mereka: bekerja dengan tulus, menjaga kemanusiaan, dan menghindari kebencian yang merusak diri maupun sesama.

Imaji

Puisi ini kaya dengan imaji visual yang kuat, misalnya:
  • “Kepala-kepala kami menjadi batu. Batu yang mudah pecah.” → menghadirkan gambaran keras sekaligus rapuhnya manusia.
  • “Kami seret mayat-mayat itu ke lubang-lubang kepiting dan tong-tong sampah.” → menciptakan imaji tragis dan menjijikkan.
  • “Burung-burung gagak berterbangan sambil tersenyum senang sekaligus bengis.” → melukiskan atmosfer kematian yang ironis.
Imaji dalam puisi ini memperkuat kesan kelam dan pesimis yang ingin disampaikan penyair.

Majas

Beberapa majas yang menonjol dalam puisi ini antara lain:
  • Metafora – “cangkul tumpul” sebagai simbol manusia atau kehidupan yang kehilangan daya guna.
  • Personifikasi – “burung-burung gagak berterbangan sambil tersenyum senang sekaligus bengis.” Burung digambarkan memiliki sifat manusia.
  • Hiperbola – “Kepala-kepala kami menjadi batu. Batu yang mudah pecah.” Menggambarkan kondisi manusia secara berlebihan untuk memperkuat kesan getir.
  • Simbolisme – tanah mandul, pisau, mayat, lumpur sawah, semuanya menyimbolkan kegagalan dan kehancuran dalam kehidupan sosial.
Puisi “Cangkul Tumpul” karya Agit Yogi Subandi adalah potret getir tentang kondisi manusia dan masyarakat yang kehilangan arah. Melalui tema yang kelam, makna tersirat yang penuh kritik, suasana pesimis, serta imaji dan majas yang tajam, puisi ini berhasil menyampaikan refleksi mendalam tentang kehidupan yang kian kehilangan kemanusiaannya.

Agit Yogi Subandi
Puisi: Cangkul Tumpul
Karya: Agit Yogi Subandi
© Sepenuhnya. All rights reserved.