Cerita tentang Bapak Tua
Yang Meninggal Dunia di Pagi Tadi
Disampaikan oleh Seorang Teman
Yang Katanya Mau Jadi Penyair
Ini benar-benar merenyuhkan.
Seorang lelaki tua telah mampus di perempatan dekat
traffic light.
Perutnya cekung seperti kacamata yang dipakai untuk
melihat bagi mereka yang rabun dekat.
Seekor lalat tenggelam dalam borok yang rupa-rupanya
menjolok seperti perempuan seksi.
Aku betul-betul melihat dari jarak dekat.
Bagaimana nasib kita sekarang kalau kita begin-begini
saja.
Jangan-jangan kita akan mampus seperti anjing di tempat
sampah dengan kaki mengangkang.
1974
Sumber: Horison (Oktober, 1975)
Analisis Puisi:
Puisi ini menghadirkan potret realitas yang getir dan penuh keprihatinan sosial. Dengan gaya bahasa yang lugas, keras, bahkan cenderung frontal, puisi ini mengguncang kesadaran pembaca mengenai kematian, nasib manusia kecil, dan potensi keterpurukan hidup yang bisa menimpa siapa saja.
Tema
Tema utama dalam puisi ini adalah kematian dan ironi kehidupan sosial. Penyair menyoroti bagaimana seorang bapak tua meninggal dunia di ruang publik tanpa ada penghormatan yang layak, hanya menjadi tontonan getir di jalanan. Tema ini bukan sekadar soal akhir hayat seseorang, melainkan juga menyentuh persoalan ketidakpedulian sosial dan kemiskinan yang meminggirkan manusia.
Puisi ini bercerita tentang seorang lelaki tua yang meninggal dunia di perempatan jalan dekat lampu lalu lintas. Tubuhnya digambarkan kurus, perutnya cekung, penuh luka hingga menjadi tempat lalat hinggap. Gambaran itu menyiratkan penderitaan panjang, entah karena kemiskinan, kelaparan, atau sakit yang tak tertangani.
Lebih jauh, penyair tidak hanya berhenti pada deskripsi kematian bapak tua itu, tetapi juga mengajak pembaca merenungkan nasib manusia lain: “Bagaimana nasib kita sekarang kalau kita begin-begini saja.” Ada kekhawatiran bahwa masyarakat yang tak berubah bisa berakhir tragis dengan kematian serupa, bahkan lebih hina, “mampus seperti anjing di tempat sampah.”
Makna Tersirat
Makna tersirat dalam puisi ini adalah kritik sosial terhadap kondisi masyarakat yang abai terhadap kemiskinan dan penderitaan orang kecil. Lelaki tua yang mati di perempatan jalan menjadi simbol manusia yang terpinggirkan, sementara dunia terus berjalan tanpa menoleh.
Ada juga makna eksistensial: bahwa kehidupan manusia bisa sangat rapuh, dan tanpa solidaritas, setiap orang bisa berakhir tragis seperti bapak tua itu. Puisi ini menggugah pembaca agar tidak terjebak dalam sikap masa bodoh terhadap sesama.
Suasana dalam Puisi
Suasana dalam puisi ini adalah getir, pilu, sekaligus menyeramkan. Pilihan diksi seperti “mampus,” “borok,” “anjing di tempat sampah” menambah kesan keras, pahit, dan kontras dengan gagasan romantis tentang kematian yang biasanya digambarkan penuh penghormatan. Suasana getir ini sengaja dibangun untuk menyadarkan pembaca bahwa realitas sosial sering kali jauh lebih kejam daripada yang dibayangkan.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Amanat puisi ini adalah pentingnya kepedulian sosial. Penyair mengingatkan bahwa penderitaan orang lain bisa menjadi cerminan penderitaan kita juga, dan jika masyarakat tidak berubah, maka akan mengalami nasib yang sama tragisnya. Puisi ini menegaskan bahwa martabat manusia harus dijaga, bahkan hingga ajal menjemput.
Imaji
Puisi ini kaya dengan imaji visual yang kuat dan bahkan ekstrem. Contohnya:
- “Perutnya cekung seperti kacamata” → imaji visual yang menggambarkan tubuh renta dan kelaparan.
- “Seekor lalat tenggelam dalam borok” → imaji menjijikkan yang menunjukkan penderitaan fisik.
- “Mampus seperti anjing di tempat sampah dengan kaki mengangkang” → imaji tragis sekaligus kejam yang menutup puisi dengan kesan yang sangat membekas.
Imaji-imaji ini berfungsi mengguncang kesadaran pembaca, memaksa mereka melihat realitas pahit yang sering diabaikan.
Majas
Beberapa majas yang tampak dalam puisi ini antara lain:
Simile (perbandingan langsung)
- “Perutnya cekung seperti kacamata”
- “Seperti perempuan seksi”
- “Seperti anjing di tempat sampah”
Metafora
- Lelaki tua yang mati di perempatan jalan menjadi metafora bagi manusia kecil yang tak dihargai dalam masyarakat.
Hiperbola
- Gambaran lalat tenggelam dalam borok adalah bentuk penguatan realitas penderitaan yang ekstrem.
Majas-majas ini dipakai bukan untuk memperindah, melainkan untuk menegaskan kegetiran dan ironi yang hendak disampaikan.
Puisi ini adalah karya yang tajam, getir, dan penuh kritik sosial. Dengan tema tentang kematian dan ironi kehidupan, puisi ini bercerita tentang seorang lelaki tua yang mati di jalanan, menghadirkan makna tersirat berupa peringatan keras tentang kemiskinan, keterpinggiran, dan kurangnya kepedulian sosial. Imaji yang digunakan begitu kuat hingga menimbulkan suasana pilu sekaligus kejut bagi pembaca, sementara majas simile dan metafora memperdalam kesan tragisnya.
Melalui puisi ini, penyair menyampaikan amanat bahwa manusia harus belajar peduli, sebab penderitaan yang menimpa satu orang bisa saja menjadi nasib kolektif jika masyarakat terus abai.
Karya: Adri Darmadji Woko
Biodata Adri Darmadji Woko:
- Adri Darmadji Woko lahir pada tanggal 28 Juni 1951 di Yogyakarta.
