Analisis Puisi:
Puisi "Di Akhir Lagu" karya Agit Yogi Subandi adalah sebentuk puisi liris yang kuat dalam ekspresi emosi dan kesadaran akan kehilangan. Penyair meramu nada-nada kenangan, mimpi, dan kekecewaan menjadi narasi yang begitu menyentuh dan manusiawi. Dalam ruang yang dibangun oleh memori dan lagu, puisi ini berbicara tentang bagaimana sesuatu yang pernah sangat dekat, bisa berakhir hanya dalam satu tarikan napas terakhir dari sebuah lagu.
Tema
Tema utama puisi ini adalah cinta dan kehilangan yang hadir melalui kenangan akan sebuah lagu. Musik, dalam konteks puisi ini, menjadi medium pemicu nostalgia yang kuat, tempat sang aku lirik menyelam kembali ke masa lalu yang manis, namun ternyata telah berubah menjadi getir.
Puisi ini bercerita tentang seorang tokoh yang mendengarkan lagu dan tiba-tiba diingatkan akan kenangan manis bersama seseorang yang pernah dicintainya. Lagu itu menghidupkan kembali fantasi kejayaan, cinta, dan kemenangan—seolah-olah ia adalah panglima perang yang disambut pulang oleh kekasihnya. Namun, semua bayangan itu runtuh saat lagu berakhir. Ia tersadar bahwa semua hanya tinggal kenangan, karena kekasih itu telah berkata: “aku bukan lagi milikmu.”
Makna Tersirat
Makna tersirat dari puisi ini adalah bahwa kenangan bisa menipu, dan bahwa nostalgia seringkali lebih indah daripada kenyataan. Lagu yang membawa kembali memori indah masa lalu ternyata tak mampu menyelamatkan kenyataan bahwa hubungan itu sudah berakhir. Cinta yang dulu hangat dan penuh harapan, kini hanya menjadi bayangan yang tak lagi dapat disentuh.
Suasana dalam Puisi
Suasana dalam puisi ini sangat melankolis, romantis, lalu berubah menjadi pahit dan getir. Awalnya, puisi dipenuhi dengan imaji keagungan, cinta, dan gairah. Namun, menuju akhir, suasana berubah drastis menjadi perasaan kehilangan dan keterkejutan emosional. Pembaca dibawa dari puncak harapan ke jurang kenyataan dalam satu napas yang tenang namun menghentak.
Amanat atau Pesan yang Disampaikan
Pesan yang dapat diambil dari puisi ini adalah:
Cinta tidak selalu abadi, dan kenangan, seindah apapun, tak bisa mengembalikan yang telah pergi.
Selain itu, puisi ini juga memberi isyarat bahwa tidak semua yang kita harapkan dalam benak bisa menjadi kenyataan di dunia nyata—dan untuk itu, kita harus siap menerima kehilangan dengan lapang dada.
Imaji
Agit Yogi Subandi sangat kaya dalam menciptakan imaji. Ia menggunakan:
- Imaji visual: “bibir merah mudamu”, “istana para raja ternama”, “peperangan yang terkenal”, “bintang di balik daging”, menggambarkan dengan jelas keindahan dan fantasi dalam pikiran tokoh.
- Imaji kinestetik: “tubuhmu telah siap memasrah pada tubuhku”, menggambarkan gairah dan keintiman.
- Imaji auditif: “kudengar sebuah lagu”, menempatkan pembaca dalam pengalaman yang dimulai oleh suara dan musik.
- Imaji emosional: “aku tak menemukan bibirmu”, “aku bukan lagi milikmu”, memberikan hantaman perasaan secara perlahan namun pasti.
Majas
Puisi ini juga diperkaya dengan berbagai majas:
Metafora:
- “aku seperti panglima perang” – menunjukkan perasaan bangga dan penuh kemenangan saat cinta masih berpijak.
- “kaumenyambutku dengan lagumu itu” – menunjukkan bagaimana musik menjadi simbol keintiman dan penerimaan.
Hiperbola:
- “telah membunuh ratusan tentara musuh” – dilebih-lebihkan untuk menggambarkan betapa besar perjuangan yang dilalui demi cinta.
- “bermunculanlah istana para raja ternama” – menggambarkan imajinasi yang megah, mencerminkan besarnya harapan dan impian cinta itu.
Paradoks:
- “ketika kaumemelukku dan berkata: aku bukan lagi milikmu” – sebuah ironi yang menohok; kehangatan pelukan menjadi penanda dari berakhirnya hubungan.
Puisi "Di Akhir Lagu" karya Agit Yogi Subandi merupakan potret yang kuat tentang kerentanan cinta, kekuatan kenangan, dan konfrontasi antara ilusi dan kenyataan. Dibalut dengan metafora yang kuat dan emosi yang tajam, puisi ini berhasil mengajak pembaca untuk merenungkan bagaimana sebuah lagu bisa membangkitkan hasrat, harapan, dan akhirnya… kehilangan. Di tengah kekuatan kata, Agit menyampaikan bahwa sering kali, kita tidak kalah dalam cinta karena kurang mencintai—melainkan karena semesta sudah menulis akhirnya sejak awal.
Karya: Agit Yogi Subandi