Analisis Puisi:
Tema utama puisi ini adalah keterasingan dan pencarian makna hidup di tengah hiruk pikuk urban. Penyair menggambarkan benturan antara dunia luar yang sibuk, penuh pergeseran nilai, dan diri yang mencoba mencari ruang untuk merekam pengalaman. Ada kesan bahwa kehidupan kota membuat manusia kehilangan titik keintiman dan menggantinya dengan interaksi artifisial.
Puisi ini bercerita tentang seseorang yang berjalan di antara trotoar dan pasar—ruang publik yang menjadi simbol keramaian—sambil merekam kesan dan kehilangan yang ia rasakan. Bagian-bagian puisi menunjukkan fragmen pengalaman:
- Bagian I: Pencarian taman sebagai simbol kedamaian, namun terhalang rahasia gelap kehidupan kota.
- Bagian II: Kehilangan identitas diri di tengah asap, waktu, dan percakapan yang dangkal.
- Bagian III: Pencarian "iklan" yang belum pernah ditemui—metafora bagi janji atau harapan yang belum nyata.
- Bagian IV: Kenangan masa lalu yang sederhana namun kini tergantikan oleh teknologi.
- Bagian V-VI: Malam yang menelan suara dan kehidupan, lalu jalan yang tetap terjaga meski semua tertidur—menandakan kota tak pernah benar-benar mati.
Makna Tersirat
Makna tersirat dari puisi ini adalah kritik halus terhadap kehidupan modern yang serba cepat namun miskin kedalaman emosional. Trotoar dan pasar menjadi simbol pertemuan banyak orang, namun ironi muncul karena justru di ruang publik itu manusia merasa kesepian. Teknologi, polusi, dan komersialisasi (iklan) menggantikan ruang interaksi manusia yang intim. Puisi ini juga menyiratkan bahwa manusia modern terus mencari “sesuatu” yang seringkali tak pernah mereka temukan, entah itu makna, cinta, atau kebahagiaan.
Suasana dalam Puisi
Suasana dalam puisi ini campuran antara melankolis, sendu, dan sedikit sinis. Ada nuansa penyesalan akan masa lalu yang lebih hangat, sekaligus rasa jenuh terhadap kehidupan urban yang penuh kepalsuan dan polusi.
Amanat / Pesan yang Disampaikan Puisi
Amanat puisi ini adalah pentingnya menjaga ruang batin di tengah kebisingan dunia modern. Kehidupan yang serba cepat dan penuh distraksi bisa mengikis makna-makna kecil yang sebenarnya membuat hidup lebih berharga, seperti momen bersama orang tercinta, ketenangan alam, dan interaksi tulus. Penyair mengajak pembaca untuk tidak hanyut sepenuhnya dalam arus modernitas yang menelan keintiman.
Imaji
Puisi ini kaya akan imaji visual dan sensoris, seperti:
- “Wajah-wajah bergegas di trotoar” → imaji visual yang menangkap keramaian kota.
- “Make-up ku meleleh… hilang dicuri asap knalpot” → imaji visual sekaligus penciuman yang memadukan kecantikan dan polusi.
- “Daun kalender lepas sehelai demi sehelai” → imaji visual tentang waktu yang terus berjalan.
- “Rumah menarik segala titik bunyi dan titik percakapan” → imaji auditif yang menggambarkan keheningan malam.
Majas
Beberapa majas yang muncul dalam puisi ini antara lain:
- Metafora: “Make-up ku meleleh” sebagai simbol memudarnya citra atau identitas diri.
- Personifikasi: “Jalan menyusun dirinya kembali”, “Tangannya melempar segala umpat” → memberikan sifat manusia pada objek mati.
- Hiperbola: “Pertapa-pertapa… tertawan oleh dadanya yang hitam” → memperkuat kesan keterperangkapannya.
- Simbolisme: Trotoar, pasar, sungai, dan iklan menjadi simbol dunia sosial, kapitalisme, kenangan, dan janji yang tak terpenuhi.
Karya: Agit Yogi Subandi