Di Jakarta
satu jambatan
atasnya menonton manusia sekumpulan.
atas jambatan
ciliwung di bawah
anjing gila nyalak menyalak
gigit mengigit
rantai di leher putus sudah.
suara-suara bersuara
bukan gila, bung
anjing baik, pak
iya, bu
mas, adik, kakak, saudara
anjing gila itu sahabat kita
ha-ha-ha
tiba-tiba
dalam ber-ha-ha-ha
anjing gila mencabut kepala
sayangnya terutama kena kepala
kepala-kepala.
tapi, iya
ALLAHku Maha Kaya
anjing gila sisesat itu
dikebawahkan
kebawahkan-kebawahkan-kebawahkan
dan kau Kota Jakarta bertahan
atas Jambatanmu bertahan-han-han-han
dan kau saksikan sendiri sepuas-puasnya
anjing gila dibunuh-nuh-nuh-nuh
dan dihanyutkan oleh ciliwung
ciliwung yang setia.
1969
Sumber: Horison (Desember, 1990)
Analisis Puisi:
Puisi “Di Jakarta” karya penyair Malaysia Abdul Ghafar Ibrahim menghadirkan lanskap kota yang tak biasa. Bukan Jakarta dengan gedung pencakar langit dan hiruk-pikuk yang megah, melainkan Jakarta yang menjadi saksi atas kegilaan, kekacauan, dan konflik sosial yang dibalut dalam metafora satiris. Puisi ini bukan hanya refleksi sosial, tapi juga bentuk sindiran keras terhadap kondisi manusia dan sistem di perkotaan, terutama Jakarta, sebagai ibukota negara yang sarat ironi.
Tema
Puisi ini mengangkat tema tentang kegilaan sosial dan resistensi kota terhadap kekacauan. Anjing gila dalam puisi menjadi simbol dari kekerasan, konflik, bahkan kekuasaan tak terkendali yang mengancam manusia. Kota Jakarta dipersonifikasikan sebagai tempat yang bertahan dan menyaksikan semua hiruk-pikuk itu dengan diam, tenang, namun penuh makna.
Puisi ini bercerita tentang situasi Jakarta yang kacau, tempat di mana terjadi keributan, kekerasan, bahkan kegilaan yang membahayakan masyarakat. Anjing gila muncul sebagai metafora dari ancaman yang tak lagi bisa dikendalikan—ia menyalak, menggigit, bahkan mencabut kepala. Namun, dalam kekacauan itu, terdengar suara-suara masyarakat yang mencoba menormalkan kegilaan itu: “anjing gila itu sahabat kita”. Situasi menjadi ironi. Kota Jakarta, sebagai entitas yang diam, menyaksikan semuanya dari atas jambatan—ia tidak runtuh, tidak goyah, tetap berdiri.
Makna Tersirat
Secara tersirat, puisi ini menyampaikan kritik terhadap masyarakat yang telah terbiasa dengan kekacauan dan kekerasan, bahkan mulai menganggap hal itu normal. Ketika “anjing gila” dianggap sahabat, maka kegilaan sudah menjadi bagian dari sistem. Ini bisa dibaca sebagai sindiran terhadap sikap permisif terhadap kekuasaan yang brutal, aparat yang menyalahgunakan wewenang, atau kelompok tertentu yang meresahkan masyarakat namun tetap dibiarkan berkeliaran.
Makna tersirat lainnya adalah tentang ketahanan kota. Meski dihantam oleh berbagai bentuk kegilaan sosial, Jakarta tetap bertahan. Namun, pertanyaannya: bertahan dalam artian apa? Apakah kota ini tetap berdiri karena kekuatannya, atau karena sudah terlalu kebal terhadap luka?
Suasana dalam Puisi
Suasana dalam puisi ini tegang, kacau, dan ironis. Ada suara-suara yang mencoba menenangkan (atau justru membingungkan), tetapi dalam suasana yang sudah terlalu gila untuk dijelaskan. Suasana semakin absurd ketika anjing gila digambarkan mencabut kepala, dan semua terjadi dalam suasana “ber-ha-ha-ha”—tertawa yang justru menambah nuansa mengerikan, seolah tragedi telah menjadi hiburan.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Puisi ini memberi pesan yang kuat tentang kewaspadaan terhadap normalisasi kekacauan, dan pentingnya melawan kegilaan sosial sebelum menjadi sistemik. Ia juga menyampaikan bahwa sekalipun kota bisa bertahan secara fisik, ada luka-luka sosial yang tetap menganga bila dibiarkan. Pembaca diajak untuk tidak hanya menonton dari atas jembatan, tetapi untuk menyadari bahaya laten yang bisa “mencabut kepala” bila terus diabaikan.
Imaji
Puisi ini kaya akan imaji visual dan bunyi yang sangat kuat:
- Imaji visual: “anjing gila mencabut kepala”, “rantai di leher putus”, “dibunuh dan dihanyutkan oleh ciliwung”.
- Imaji bunyi: repetisi “ha-ha-ha”, “nuh-nuh-nuh-nuh”, dan “kebawahkan” menciptakan efek dramatis dan teatrikal, seperti orkestra kekacauan.
- Imaji ruang: “jambatan”, “Ciliwung”, dan “pojk ruang” menjadi lokasi simbolik kekacauan yang nyata dan terbayang.
Imaji-imaji ini mempertegas suasana tegang dan absurd yang ingin disampaikan penyair.
Majas
Beberapa majas utama dalam puisi ini meliputi:
- Metafora: “anjing gila” sebagai metafora kekacauan sosial, kekerasan, atau pihak yang meresahkan masyarakat.
- Personifikasi: Kota Jakarta yang “bertahan”, sungai Ciliwung yang “setia” – memberi kesan bahwa tempat-tempat ini memiliki peran dan kesadaran dalam menghadapi konflik.
- Ironi: Ketika masyarakat justru menyebut “anjing gila itu sahabat kita” – bentuk ironi tajam terhadap penerimaan sosial atas hal-hal yang merusak.
- Repetisi: Kata-kata seperti “kebawahkan-kebawahkan-kebawahkan”, “bertahan-han-han”, dan “nuh-nuh-nuh-nuh” menimbulkan efek gema yang menekankan absurditas dan ketegangan situasi.
Majas-majas tersebut bukan hanya memperindah puisi, tetapi juga menjadi perangkat retoris untuk menyampaikan kritik dan satire secara halus tapi tajam.
Puisi “Di Jakarta” karya Abdul Ghafar Ibrahim adalah puisi sosial-politik yang tajam, simbolik, dan penuh ironi. Lewat metafora anjing gila, penyair menggambarkan kota Jakarta sebagai panggung konflik, kekacauan, dan absurditas sosial. Ia mengajak pembaca untuk merenungkan: apakah kita hanya akan terus menonton dari atas jambatan, tertawa di tengah kegilaan, sementara bahaya nyata mencabut “kepala” kita satu per satu?
Dengan suasana yang suram, imaji yang dramatis, dan kritik sosial yang cerdas, puisi ini menjadi cermin bagi masyarakat urban—sebuah alarm puitik yang patut direnungkan dalam-dalam.
