Analisis Puisi:
Puisi “Di Pundak Bukit ini” karya Asep Setiawan merupakan salah satu karya yang singkat, padat, tetapi menyimpan makna reflektif dan mendalam. Penyair menggunakan bahasa sederhana, penuh imaji visual, dan menyelipkan nuansa kontemplatif tentang kehidupan, kerinduan, dan pencarian makna sejati.
Tema
Tema puisi ini adalah pencarian makna batin di tengah hiruk pikuk kehidupan modern. Penyair membandingkan pemandangan alami yang agung dengan realitas perkotaan yang serba artifisial, lalu menegaskan kerinduan terhadap sesuatu yang lebih personal, intim, dan bernilai spiritual—yang diwakili oleh simbol melati dan lentera biru.
Puisi ini bercerita tentang kegelisahan batin seorang penyair yang, dari sudut pandang jendela hatinya, menyaksikan beragam pemandangan—burung putih, gunung Pangrango, deretan pohon angsana, hingga bunga plastik di mal. Semua itu hadir sebagai gambaran dunia luar. Namun, di balik keramaian dan keindahan yang tampak, ia merindukan sesuatu yang jauh lebih dekat dengan dirinya: melati dan lentera biru yang ia anggap miliknya. Kisah ini menjadi gambaran batin seseorang yang mencari makna di balik simbol-simbol personal yang tak tergantikan oleh keindahan dunia luar.
Makna tersirat
Makna tersirat dari puisi ini adalah kerinduan akan ketulusan, kesederhanaan, dan makna hidup yang sejati. Burung putih, mega, dan angsana melambangkan alam yang indah, sementara bunga plastik di mal melambangkan kehidupan modern yang artifisial. Namun, semua itu terasa hampa tanpa kehadiran sesuatu yang lebih personal—melati yang identik dengan kesucian dan cinta, serta lentera biru yang bisa dipahami sebagai cahaya batin, petunjuk hidup, atau simbol kerinduan yang mendalam.
Puisi ini menegaskan bahwa sebesar dan seindah apa pun dunia luar, hati manusia tetap mencari sesuatu yang otentik dan menyentuh jiwa.
Suasana dalam puisi
Suasana dalam puisi ini adalah kontemplatif dan melankolis. Ada rasa kagum ketika penyair menyebutkan pemandangan alam, namun sekaligus terselip rasa kosong dan kehilangan ketika menyadari bahwa sesuatu yang benar-benar ia cari tidak hadir dalam pandangan itu.
Amanat / pesan yang disampaikan
Amanat puisi ini adalah bahwa hidup bukan hanya tentang hal-hal besar dan gemerlap yang terlihat di luar, tetapi juga tentang hal-hal kecil, sederhana, dan personal yang justru memberi makna mendalam bagi jiwa. Penyair mengingatkan bahwa dalam hiruk-pikuk kehidupan modern, jangan sampai kita kehilangan apa yang sejati dalam hati kita.
Imaji
Puisi ini kaya akan imaji visual:
- “Sekumpulan burung putih di plaza kota” menggambarkan harmoni di tengah keramaian.
- “Mega-mega di perut Gede Pangrango” menghadirkan suasana megah dan natural.
- “Deretan angsana di Bogor Boulevard” menampilkan keindahan kota yang masih berpadu dengan alam.
- “Segerumbulan bunga plastik di mal” memberikan kontras imaji antara keindahan alami dan artifisial.
Selain visual, ada juga imaji simbolik melalui melati (kesucian, cinta, ketulusan) dan lentera biru (cahaya harapan, spiritualitas, atau petunjuk batin).
Majas
Beberapa majas yang menonjol dalam puisi ini antara lain:
Majas metafora
- “Dari jendela pintu hatiku” adalah metafora untuk pandangan batin atau kesadaran diri.
- “Lentera biru punyaku” sebagai metafora dari cahaya batin atau petunjuk hidup.
Majas personifikasi
- “Mega-mega di perut Gede Pangrango” mempersonifikasikan gunung seolah memiliki tubuh.
Majas kontras
- Keindahan alam (burung, mega, angsana) dikontraskan dengan keindahan palsu (bunga plastik di mal).
Majas simbolik
- Melati dan lentera biru adalah simbol kerinduan batin terhadap makna sejati.
Puisi “Di Pundak Bukit Ini” karya Asep Setiawan adalah refleksi tentang pencarian batin seorang manusia di tengah hiruk-pikuk dunia luar. Dengan menghadirkan imaji alam dan kota, penyair menegaskan perbedaan antara keindahan sejati dan keindahan artifisial, serta kerinduan akan sesuatu yang lebih personal dan abadi. Melalui tema, makna tersirat, imaji, dan majas yang kaya, puisi ini menjadi pengingat bahwa kebahagiaan sejati sering kali ada pada hal-hal sederhana yang dekat dengan hati, bukan pada gemerlap dunia luar.
Karya: Asep Setiawan