Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Gugurnya Seorang Komponis (Karya Agam Wispi)

Puisi "Gugurnya Seorang Komponis" karya Agam Wispi adalah sebuah penghormatan terhadap para pejuang kemerdekaan, serta refleksi mendalam tentang ...
Gugurnya Seorang Komponis
(In memoriam Cornel Simanjuntak)

(1)

di sini terbaring anak merdeka
yang tewas menggenggam nyala
lagu atau senapan
abu atau kebebasan
detik jantungnya telah memilih
tetapkan arah
rubuh dan tidak menyerah
remuk dan tidak kalah
cuma satu jalan
kemerdekaan
dan kita pasti menang

terhantar tubuh di atas ranjang
kesepiannya dan rindu bergumul lebur
dalam pajar memerah
dalam cahya merekah
kemerdekaan telah datang
kemerdekaan telah datang

dari pulau ke pulau gelak teman-teman
gelak itu gelak kemerdekaan
surat-surat menuju pakem menekan rintih malam
surat bagai tangan dari jauh salam setia-kawan
kesetiaan itu sendiri rangsang kemerdekaan
dengan satu jalan maju tak gentar
yang membuat senyuman kembali remaja
jalan itu kemerdekaan

di sini terbaring anak merdeka
seorang seniman memanggul senjata
yang tewas menggenggam nyala

(2)

bersiul seorang kuli pelabuhan
dia tak tahu siapa pencipta
tapi dia bahagia
jatuh cinta pada kemerdekaan
ada saat kelam rontok senyap di desa
lembu menjilati punuk anaknya di kandang
dan memamah biak untuk segelas susu
ketika kota semarak dalam cahaya
boleh jadi sehabis bioskop kau berdebat untuk berlupa
bahwa kau bisa dikit bangga karena merdeka berpendapat
apakah lagu untuk para lembu atau raja-raja
namun lagu yang kehadirannya menembus kabut malam
membuka tiap pintu untuk melangkah bersama kepergiannya

o. kau yang berpikir tapi tidak merasa
tahulah keilangan hatimu sendiri
bahwa matari memberi warna
pada daun jatuh melayang atau tunas tumbuh harapan
pada kemuning tempat cumbuan menguji kasih
pada sorak prajurit agar sorak kemenangan bukan lupa-daratan lagi
pada kantongmu pedat dibenani keberuntungan kasar dan
                                                kepalsuan mimpi

dan malukah kau berkata: aku tak tahu di mimpiku
padahal api membakar desa menyembeli kehidupan
dan menginjak-injak kemerdekaan
menangislah, merataplah kau yang butuh ratapan
lontarkan penuh-sesak supaya hancur berserak
jika menyangka dengan ratapan kau menahan kisaran angin
tapi terutama menangis dan merataplah bagi dirimu sendiri
yang tidak ambil bagian dalam ini pertarungan

(3)

kita menyelam ke dasar kematian dan keluar
dari badai yang lagunya budak kesengsaraan dan lapar
pelabuhan tanpa pamit bagai dada terbuka
di mana kasih terhampar harapan berteduh
biarlah cermin tiada dilihat karena melihat diri sendiri
jangan lagi sebutkan nama-nama mereka yang melompat ke laut
karena tak percaya, karena tak percaya
pada tangan dan haluan kapal yang diarahkannya
kekasih, angkat kepalamu dan lihat
pantai-pantai menggarisi daratan dengan senyum damba
sedang di lembah-lembah jalan-tikus tersibak oleh kaki sidara
embun melenyapkan dirinya ke dalam matahari
dan menangkap sinar sebelum hari jadi tinggi
rumput basah telah mengirimkan baunya menuruni bukit
sungguh sayang, kapten tersungkur kuyup di geladak
selagi petani tak cukup kedar diberi harapan saja
ketika lang-laut berputar riang menyambut kedatangan ini
sungguh sayang, tapi tidak menyesal atas persahabatan
di mana kita bisa ketawa karena mengenal derita

kapten telah tersungkur kuyup
dengan baris-baris yang menghimpit dadanya
lagunya titik pertolakan pelayaran ini
ke negeri penyair menempa sajaknya
di mana puisi tidak hanya dibisikkan
tapi berlagu bersama derita dan bahagia manusia
puisi yang tak seharga logam tapi dahaga hidup menjangkau
                                                perkisaran abad

tangan kita akan menyampaikan
salam terakirnya bagi tanahair

biarkanlah, o, biarkanlah
sorak kita menggegar sampai ke sawah-sawah
agar batu tandus pada terbelah dan menyampaikan
gaung yang terbanting ke dinding-dinding
bahwa rabu seniman telah habis karena kerjanya
karena cintanya yang selalu gelisah
karena bertanding dengan impian murah yang menggoda
biarkanlah prajurit meninggalkan cermin dan melihatnya

                                                sendiri

kalau warna terlampau berkilau
biarkanlah lagu meninggi dan melayah ke lembah-lembah
biarkanlah petani hitam terbakar di bawah matahari
karena mencintai tanahnya
karena wajah gadis alit berombak di air tergenang
ketika musim-seminya datang
biarkanlah mereka yang tak ingin darah dan paksa
tapi tak membiarkan haknya dirampas
biarkanlah tahun-tahun menjadi tua bersama hari baru yang

                                                datang

tahun-tahun di mana angkatan kini
mengecap kemerdekaan, mencipta dan bekerja

tangan kita yang akan menyampaikan
salam terakirnya bagi tanahair

mungkin saja kita bisa lupa hari-hari akir hidupnya
namun tempat bertolak yang kita rasakan di bawah tapak ini
membikin kita mengerti dari mana kita harus mulai
mengapa kita bersahabat dan melintasi kepahitan
mengapa kita mencipta dan mencintai kebebasan
mengapa cinta jadi tak terpatahkan oleh perpisahan
mengapa gerimis membikin kita tertambat
di bawah lampu rumah sendiri

(4)

dalam pajar memerah
dalam cahya merekah
kemerdekaan telah datang
kebebasan menang

komponis, o, komponis
yang mati muda
pada lembar-lembar terurainya
keagungan hari pertama

dialah pelaut tersungkur kuyup di geladak
dialah pelaut yang berkubur di daratan
kita yang hidup membikin kerja selesai
dan perjalan dilanjutkan

di sini terbaring anak merdeka
yang tewas menggenggam nyala

Medan, 1956

Sumber: Yang Tak Terbungkamkan (1959)

Analisis Puisi:

Puisi "Gugurnya Seorang Komponis" karya Agam Wispi menyajikan sebuah narasi yang penuh emosi dan refleksi tentang perjuangan, kemerdekaan, dan pengorbanan. Dengan menggunakan simbolisme yang kuat dan bahasa yang puitis, Wispi merangkum pengalaman dan harapan rakyat, serta kesedihan atas hilangnya jiwa-jiwa yang berjuang demi kebebasan.

Struktur dan Tema Puisi

Puisi ini terbagi menjadi empat bagian yang saling berkaitan, menggambarkan perjalanan seorang komponis yang gugur dalam perjuangan kemerdekaan.

Bagian 1: Kemerdekaan yang Diperjuangkan

Di bagian pertama, Wispi memperkenalkan sosok "anak merdeka" yang terbaring setelah gugur dalam perjuangan. Dengan lirik yang kuat, puisi ini menggambarkan semangat dan dedikasi si komponis:

"yang tewas menggenggam nyala lagu atau senapan abu atau kebebasan."

Pernyataan ini menunjukkan bahwa pilihan si komponis adalah kemerdekaan, dan meskipun ia gugur, semangatnya tetap hidup. Wispi menyampaikan bahwa kemerdekaan telah datang, mengajak pembaca untuk merasakan kebangkitan harapan.

Bagian 2: Kebahagiaan dalam Kemerdekaan

Bagian kedua puisi ini berfokus pada kebahagiaan rakyat atas kemerdekaan. Meski ada saat-saat kelam, ada momen-momen kebahagiaan yang menyatu dalam lagu-lagu yang mencerminkan semangat perjuangan:

"bersiul seorang kuli pelabuhan dia tak tahu siapa pencipta tapi dia bahagia jatuh cinta pada kemerdekaan."

Ini menyoroti bagaimana kemerdekaan bukan hanya milik segelintir orang, tetapi dirasakan oleh semua lapisan masyarakat. Rakyat menikmati hasil perjuangan, meski mereka tidak selalu mengetahui siapa yang menciptakan lagu-lagu kebangsaan tersebut.

Bagian 3: Refleksi atas Perjuangan dan Kehilangan

Di bagian ketiga, Wispi membahas perasaan kehilangan yang dialami rakyat dan tantangan yang harus dihadapi. Ia menggambarkan kesedihan dan ketidakpastian yang melanda:

"menangislah, merataplah kau yang butuh ratapan lontarkan penuh-sesak supaya hancur berserak."

Di sini, penekanan pada kesedihan menunjukkan bahwa kehilangan para pejuang tidak boleh dilupakan. Wispi mengajak pembaca untuk merasakan duka, sekaligus menegaskan pentingnya mengambil bagian dalam perjuangan.

Bagian 4: Penutup yang Menggugah

Bagian terakhir menekankan pencapaian kemerdekaan dan mengingat sosok komponis yang telah gugur:

"di sini terbaring anak merdeka yang tewas menggenggam nyala."

Sosok komponis diibaratkan sebagai pelaut yang tersungkur, melambangkan pengorbanan dan dedikasi yang telah diberikan. Meskipun telah gugur, warisannya tetap hidup, dan perjuangan untuk melanjutkan kemerdekaan akan terus berlangsung.

Simbolisme dan Makna

Puisi ini kaya akan simbolisme, dengan "kemerdekaan" sebagai tema utama yang melambangkan harapan, perjuangan, dan cita-cita bangsa. "Anak merdeka" menjadi simbol dari generasi yang berjuang untuk kebebasan, sedangkan "komponis" melambangkan jiwa-jiwa kreatif yang berkontribusi dalam menciptakan semangat perjuangan melalui seni.

Puisi "Gugurnya Seorang Komponis" karya Agam Wispi adalah sebuah penghormatan terhadap para pejuang kemerdekaan, serta refleksi mendalam tentang kehilangan dan harapan. Melalui bahasa yang puitis dan simbolisme yang kuat, Wispi mengajak pembaca untuk mengenang pengorbanan para pahlawan dan terus memperjuangkan kemerdekaan. Puisi ini tidak hanya merayakan kemerdekaan, tetapi juga menekankan tanggung jawab generasi penerus untuk menjaga dan melanjutkan perjuangan yang telah dirintis oleh para pendahulu.

Agam Wispi
Puisi: Gugurnya Seorang Komponis
Karya: Agam Wispi

Biodata Agam Wispi:
  • Agam Wispi adalah seorang penyair Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra).
  • Agam Wispi lahir pada tanggal 31 Desember 1930 di Pangkalan Susu, Medan, Sumatra Utara.
  • Agam Wispi meninggal dunia pada tanggal 31 Desember 1930 di 1 Januari 2003, Amsterdam, Belanda.
© Sepenuhnya. All rights reserved.