Analisis Puisi:
Puisi "Jakarta di Antara Angka-Angka" karya Diah Hadaning adalah potret satiris sekaligus kritis tentang kehidupan modern yang terjebak dalam sistem angka. Angka, yang sejatinya hanya alat untuk mengukur dan menata, dalam puisi ini berubah menjadi simbol peradaban yang kaku, menekan, bahkan memperbudak manusia.
Tema
Tema utama puisi ini adalah dehumanisasi manusia akibat dominasi angka dalam kehidupan modern. Penyair menggambarkan bagaimana manusia kehilangan identitas sejatinya karena segalanya diukur, ditentukan, dan dikendalikan oleh angka.
Puisi ini bercerita tentang kehidupan masyarakat kota, khususnya Jakarta, yang dipenuhi simbol-simbol angka: nomor rumah, nomor sepatu, nomor KTP, nomor kursi, kode pos, hingga angka dalam urusan kesehatan maupun kematian. Kehidupan yang serba modern dan praktis justru membuat manusia seperti sekadar deretan angka, bukan lagi makhluk yang utuh dengan jiwa dan perasaan.
Makna Tersirat
Makna tersirat dari puisi ini adalah kritik sosial terhadap mekanisme modernitas yang mengekang kebebasan manusia. Angka, yang semula hanya instrumen netral, telah menjadi “berhala” baru. Manusia modern tunduk pada sistem administratif, birokrasi, dan teknologi, sehingga terjebak dalam penjara angka. Dalam konteks Jakarta, angka juga dapat dimaknai sebagai simbol kapitalisme, persaingan, dan stratifikasi sosial.
Suasana dalam Puisi
Suasana dalam puisi ini adalah satiris, kritis, dan muram. Ada rasa ironi ketika kehidupan yang seharusnya lebih mudah dengan teknologi justru mengekang manusia. Kata-kata sederhana tetapi repetitif menegaskan betapa monoton dan membosankannya hidup yang hanya diukur dengan angka.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Pesan dari puisi ini adalah bahwa manusia seharusnya tidak larut dalam sistem yang hanya menilai segalanya berdasarkan angka. Identitas manusia jauh lebih kompleks daripada sekadar nomor atau peringkat. Penyair mengingatkan kita untuk menyadari bahaya jika angka dijadikan ukuran mutlak dalam menentukan nilai kehidupan.
Imaji
Puisi ini sarat dengan imaji verbal dan visual yang konkret:
- Imaji visual: “nomor rumah, nomor sepatu, nomor baju, nomor katepe” menghadirkan gambaran keseharian yang akrab dalam kehidupan masyarakat.
- Imaji sosial: “rangkingmu berapa, kode posmu berapa” menyinggung aspek kompetisi dan sistem administrasi.
- Imaji eksistensial: “sehat angka, sakit angka, mati juga pake angka” menggambarkan absurditas kehidupan modern yang semuanya terikat angka.
Majas
Beberapa majas menonjol dalam puisi ini antara lain:
- Repetisi: Pengulangan frasa “Semuanya serba angka, semuanya jadi angka” menegaskan dominasi angka dalam kehidupan.
- Metafora: “angka telah jadi berhala, angka telah jadi penjara” → angka dipersonifikasikan sebagai sesuatu yang mengekang manusia.
- Hiperbola: “mati juga pake angka” memberikan kesan berlebihan untuk menunjukkan betapa hidup manusia modern sepenuhnya dikendalikan angka.
- Ironi: Kehidupan yang disebut “zaman canggih” justru membuat manusia tidak bebas dan kehilangan esensi kemanusiaannya.
Puisi "Jakarta di Antara Angka-Angka" karya Diah Hadaning adalah kritik tajam terhadap peradaban modern yang menomorduakan nilai-nilai kemanusiaan dan mengedepankan angka sebagai ukuran segalanya. Dengan tema dominasi angka, makna tersirat tentang dehumanisasi, serta gaya bahasa sederhana yang sarat repetisi, puisi ini berhasil menghadirkan refleksi mendalam: bahwa manusia tidak boleh terjebak dalam “penjara angka”, karena sejatinya hidup jauh lebih luas dari sekadar perhitungan matematis.

Puisi: Jakarta di Antara Angka-Angka
Karya: Diah Hadaning