Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Katakan Saatnya Telah Tiba (Karya Wiratmadinata)

Puisi “Katakan Saatnya Telah Tiba” karya Wiratmadinata bercerita tentang seseorang (penyair) yang berbicara kepada kekuatan yang lebih tinggi ...
Katakan Saatnya Telah Tiba

Jika kau berikan aku keagungan puisi
Biarkan ia menjelma mantera dan jampi
Mengubah kebencian menjadi cinta kasih
Tak menyalak lagi senjata dan dendam pergi

Jika kau berikan aku keindahan
Izinkan ia menjelma harapan
mengisi mulut-mulut lapar
Yang mengais remah di jalanan

Tapi kau senantiasa berahasia
Membiarkan kata-jiwaku terluka
Sedangkan mulut telah berbuih dan panah telah patah
Pintu yang kuketuk masih belum juga terbuka

Engkau tiupkan ruh kedalam segumpal darah
Engkau jumput raga dari tanah lempung yang sama
Engkau urapi kasih sayang dari rahim kaum hawa
Engkau hidupi dengan berkah tiada batasnya

Tapi satu jiwa merenggut jiwa yang lainnya
Tangan siapakah yang menggerakkannya?
Tapi duka telah letih merangkaki arasymu yang mulia
Tangan siapakah yang akan menghentikannya?

Katakanlah saatnya telah tiba
Dan kau akan bicara; kebenaran telah datang!

Dataran Qalb, 24 November 2004

Analisis Puisi:

Puisi “Katakan Saatnya Telah Tiba” karya Wiratmadinata adalah seruan lirih sekaligus tegas kepada kekuatan Ilahiah dan kemanusiaan untuk segera menghentikan penderitaan dan mengubah dunia yang penuh luka menjadi ruang cinta dan harapan. Larik-lariknya memuat keluh, harap, dan refleksi mendalam tentang perang, kemiskinan, ketimpangan, serta kerinduan akan hadirnya keadilan dan perubahan sejati.

Puisi ini bukan sekadar ungkapan estetis, tapi juga doa profetik, jeritan batin, dan mantra harapan yang menyentuh relung terdalam kemanusiaan.

Tema

Tema utama puisi ini adalah kerinduan terhadap hadirnya keadilan dan perubahan di tengah dunia yang dilanda penderitaan dan kekerasan.

Puisi ini juga mengangkat tema-tema lain yang saling terkait:
  • Kemanusiaan yang terluka
  • Kekuasaan Ilahiah dan diamnya semesta
  • Harapan dalam keindahan dan puisi
  • Kritik terhadap kekerasan dan ketimpangan sosial
Puisi ini bercerita tentang seseorang (penyair) yang berbicara kepada kekuatan yang lebih tinggi (Tuhan, semesta, atau kebenaran universal), memohon agar saat perubahan itu tiba—saat di mana puisi bukan hanya menjadi kata, tapi menjadi kekuatan mantera, jampi, dan harapan nyata. Penyair meratapi dunia yang penuh kebencian, kelaparan, dan kekerasan, serta mempertanyakan: mengapa keagungan yang telah ditiupkan dalam diri manusia justru melahirkan duka dan pembunuhan?

Ia meminta jawaban atas luka yang tak kunjung sembuh dan pintu kebenaran yang tak terbuka meski telah lama diketuk.

Makna Tersirat

Puisi ini menyimpan sejumlah makna tersirat yang dalam dan relevan secara universal:
  • Puisi sebagai jalan transformasi. Penyair menempatkan puisi bukan hanya sebagai bentuk ekspresi, melainkan alat spiritual dan sosial yang mampu mengubah kebencian menjadi cinta, dan lapar menjadi harapan.
  • Tuhan yang seolah diam. Meski Tuhan dikisahkan meniupkan ruh dan menciptakan manusia dengan kasih sayang, dunia justru diisi dengan kekerasan dan kejahatan. Ada pertanyaan teologis tersirat tentang keberadaan kebaikan Ilahi dalam penderitaan manusia.
  • Kerinduan akan saat perubahan. Kalimat “Katakanlah saatnya telah tiba” adalah seruan penuh rindu dan kelelahan, seperti seseorang yang sudah terlalu lama menunggu keadilan turun dari langit.
  • Manusia sebagai pelaku dan perusak. Ada kesadaran bahwa tangan-tangan manusialah yang menggerakkan kekerasan. Tapi juga ada harapan bahwa manusia yang sama bisa menggerakkan kebaikan—jika waktunya telah tiba.

Suasana dalam Puisi

Suasana puisi ini adalah pilu, spiritual, dan penuh ketegangan.
  • Ada kesedihan yang dalam karena penderitaan masih terjadi.
  • Ada kesunyian mistik, ketika kata-kata seolah tak mampu lagi mengubah dunia.
  • Namun ada juga semangat menggema, seruan untuk perubahan, dan harapan bahwa keadilan bisa datang, asal ada yang berani berseru: “Saatnya telah tiba!”

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Beberapa pesan penting dalam puisi ini antara lain:
  • Kata dan puisi punya kekuatan nyata jika digunakan dengan iman dan kasih.
  • Keadilan tidak akan datang sendiri tanpa seruan dan perjuangan.
  • Kekerasan tidak dilahirkan oleh Tuhan, tapi oleh manusia yang gagal menjaga amanah kasih.
  • Dunia yang luka butuh sentuhan keindahan dan pengampunan, bukan hanya kemarahan.
  • Kebenaran tidak cukup ditunggu—ia harus diseru, dibangkitkan, dan ditegaskan.

Imaji

Puisi ini sarat dengan imaji spiritual, sosial, dan emosional:
  • “Jika kau berikan aku keagungan puisi / Biarkan ia menjelma mantera dan jampi” → Imaji puisi sebagai kekuatan sakral yang mampu menyembuhkan luka dunia.
  • “Mengisi mulut-mulut lapar / Yang mengais remah di jalanan” → Imaji sosial yang nyata dan menggugah: kelaparan, pengemis, kemiskinan.
  • “Panah telah patah / Pintu yang kuketuk masih belum juga terbuka” → Imaji perjuangan yang sia-sia, menunjukkan keputusasaan dan kelelahan eksistensial.
  • “Tapi duka telah letih merangkaki arasymu yang mulia” → Imaji spiritual yang menegangkan; duka merayap menuju singgasana suci, minta perhatian Tuhan.

Majas

Puisi ini menggunakan banyak majas (gaya bahasa) yang memperkaya makna dan rasa:
  • Personifikasi: “Duka telah letih merangkaki arasymu” → Duka digambarkan sebagai makhluk hidup yang bisa letih dan bergerak.
  • Metafora: “Puisi menjelma mantera dan jampi” → Puisi bukan lagi kata biasa, tapi kekuatan spiritual.
  • Apostrof (seruan langsung kepada yang tidak hadir atau tak terlihat): Seluruh puisi adalah seruan kepada entitas besar (mungkin Tuhan atau semesta) untuk bicara, menjawab, menyatakan kebenaran.
  • Hiperbola: “Mulut telah berbuih dan panah telah patah” → Gaya yang melebih-lebihkan untuk menunjukkan perjuangan yang sudah sangat melelahkan dan sia-sia.
Puisi “Katakan Saatnya Telah Tiba” karya Wiratmadinata adalah karya puitik yang memadukan kekuatan spiritual, sosial, dan estetika. Ia menggugat diamnya dunia, memanggil hadirnya perubahan, dan memohon agar keindahan dan kebenaran tidak lagi sekadar kata, tapi menjadi kenyataan.

Dengan larik-larik yang menghantam namun lembut, puisi ini mengajak kita semua untuk tidak pasrah dalam menghadapi penderitaan, dan menggenggam kembali harapan dalam bentuk paling sederhana—puisi itu sendiri.

Sebab dalam dunia yang gelap dan bising, mungkin hanya dengan satu seruan: “katakanlah saatnya telah tiba,” kita bisa menggerakkan cahaya kecil ke tengah kegelapan panjang.

Wiratmadinata
Puisi: Katakan Saatnya Telah Tiba
Karya: Wiratmadinata
© Sepenuhnya. All rights reserved.