Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Kecemasan-Kecemasan yang Berguguran (Karya Hasan Aspahani)

Puisi "Kecemasan-Kecemasan yang Berguguran" karya Hasan Aspahani bercerita tentang seorang tokoh (mungkin seorang pemimpin, prajurit, atau siapa ...
Kecemasan-Kecemasan yang Berguguran

KAMI melihat adegan-adegan berlompatan mengepung tubuhnya
mengantarkan cerita-cerita dari nama dan zaman yang gelisah

tentang aroma mesiu di udara kota, jam malam, serangan udara,
lubang-lubang perlindungan, anjing lapar dan kuda liar, yang

mungkin lari dari sebuah pertempuran, setelah sebuah pasukan
dihancurkan, bom dijatuhkan, peluk tangis perempuan dilepaskan
*
Kami mendengar pernyataan-pernyataan dipernyatakan dari mulutnya
menebalkan kata-kata keras, bualan-bualan besar, caci maki bagi

kepengecutannya sendiri, juga keberanian menghantam kebutaan
dinding waktu, membayangkan lubang menganga di situ, dan dia masuk
berlari dikejar segerombolan tahun yang membawakannya mati

Kami menunggu kecemasan-kecemasan berguguran dari jam matanya.

Analisis Puisi:

Puisi "Kecemasan-Kecemasan yang Berguguran" karya Hasan Aspahani adalah puisi kontemporer yang kuat dan kompleks, sarat dengan gambaran kekacauan, kekerasan, dan trauma sejarah. Bahasa yang digunakan padat makna, dengan gaya puitik khas penyair yang dikenal sebagai jurnalis sekaligus penggali realitas sosial-politik. Puisi ini menjadi semacam rekaman rasa takut kolektif yang dialami oleh manusia dalam pusaran konflik dan kekuasaan.

Tema

Puisi ini mengangkat tema kecemasan kolektif yang muncul dari sejarah kekerasan, trauma perang, dan ketakutan terhadap kekuasaan. Penyair menyelami sisi gelap peradaban, menggambarkan manusia yang terperangkap dalam ingatan akan kekerasan dan absurditas politik. Ada pula tema kepalsuan kepemimpinan, di mana pernyataan-pernyataan kosong dan caci maki menjadi selimut bagi ketakutan dan kegagalan internal.

Puisi ini bercerita tentang seorang tokoh (mungkin seorang pemimpin, prajurit, atau siapa saja yang berada dalam pusaran sejarah berdarah) yang dikelilingi oleh fragmen peristiwa kekerasan masa lalu: perang, pengungsian, kehancuran, dan ketakutan. Tokoh ini berbicara dengan keras, penuh klaim dan kecaman, namun semua itu tidak lebih dari bentuk lain dari pelarian dan kompensasi atas kepengecutan dan kecemasannya sendiri. Di akhir, pembaca diajak melihat bagaimana waktu perlahan-lahan menggerogoti tokoh ini, dan bagaimana kecemasan-kecemasan yang tersimpan dalam dirinya mulai “berguguran”.

Makna Tersirat

Makna yang tersirat dalam puisi ini sangat kuat. Penyair seolah ingin mengatakan bahwa kekerasan sejarah tidak pernah benar-benar berakhir. Ia tersimpan dalam tubuh dan jiwa manusia, terutama mereka yang terlibat langsung—baik sebagai pelaku, korban, maupun saksi. Kecemasan bukan hanya emosi pribadi, tapi warisan kolektif dari kekacauan zaman.

Kita juga bisa membaca puisi ini sebagai kritik terhadap retorika kekuasaan yang manipulatif, di mana pemimpin berbicara lantang, namun sebenarnya tengah dikejar oleh kegagalan, ketakutan, dan ketidakmampuannya sendiri. Dalam dunia seperti ini, keberanian bisa jadi hanya topeng bagi keputusasaan yang membusuk di dalam.

Suasana dalam Puisi

Suasana dalam puisi ini sangat gelap, tegang, dan penuh tekanan batin. Ada nuansa psikis yang intens, seperti penumpukan ingatan traumatis yang menekan satu titik: seorang manusia yang tampak kuat di luar, namun rapuh dan terseret oleh waktu dari dalam. Setiap bait seperti ledakan emosi yang tertahan lama.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Jika kita membaca puisi ini sebagai bentuk refleksi sosial dan historis, maka pesan atau amanat yang tersampaikan adalah peringatan terhadap bahaya menumpuknya trauma kolektif yang tidak pernah disembuhkan. Ia dapat menjelma dalam berbagai bentuk kekacauan baru: retorika kekerasan, keputusan-keputusan gila, hingga kehancuran individu.

Selain itu, puisi ini juga menegaskan bahwa kebenaran sejarah bukan hanya tentang peristiwa, tetapi tentang bagaimana manusia mengingat dan mengolahnya. Waktu bukan sekadar jam berdetak, tetapi ruang tempat kecemasan-kecemasan perlahan berguguran, entah dengan damai atau dalam kekacauan yang lebih sunyi.

Imaji

Hasan Aspahani terkenal dengan kemampuannya menciptakan imaji yang padat dan sinematik. Dalam puisi ini, kita menemukan berbagai imaji kuat:
  • “aroma mesiu di udara kota, jam malam, serangan udara” – menciptakan suasana horor dan perang, seolah-olah pembaca masuk ke medan konflik.
  • “lubang-lubang perlindungan, anjing lapar dan kuda liar” – menambah kesan kepanikan dan kekacauan yang tak terkendali.
  • “lubang menganga di situ, dan dia masuk” – gambaran visual yang menyeramkan, bisa dibaca sebagai metafora kehancuran diri atau kematian batin.
  • “kecemasan-kecemasan berguguran dari jam matanya” – puitis dan abstrak, namun menggambarkan bagaimana waktu membongkar ketakutan yang lama tersimpan.

Majas

Puisi ini sarat dengan majas, terutama:
  • Metafora: “jam matanya”, “lubang menganga”, “adegan-adegan berlompatan” – semuanya menggambarkan sesuatu yang bukan dalam arti harfiah, melainkan sebagai lambang dari ketegangan mental dan trauma sejarah.
  • Personifikasi: “kami menunggu kecemasan-kecemasan berguguran” – kecemasan diperlakukan seperti benda hidup yang bisa jatuh atau gugur.
  • Hiperbola: “segerombolan tahun yang membawakannya mati” – tahun digambarkan seperti makhluk yang mengejar dan membawa kematian.
  • Paralelisme: pengulangan struktur frasa seperti “kami melihat”, “kami mendengar”, “kami menunggu” memperkuat ritme dan penekanan makna.
  • Sinekdoke: “jam matanya” – bagian dari tubuh yang mewakili keseluruhan kesadaran atau waktu batin tokoh.
Puisi "Kecemasan-Kecemasan yang Berguguran" karya Hasan Aspahani adalah lukisan gelap yang memadukan sejarah, politik, dan psikoanalisis dalam narasi puitik yang mengguncang. Dengan tema trauma, kekuasaan, dan kecemasan, puisi ini bercerita tentang pergulatan manusia yang dihantui bayangan masa lalu dan ketakutan akan kehancuran.

Melalui makna tersirat yang tajam dan suasana yang mencekam, penyair menyampaikan amanat bahwa sejarah tidak pernah sepenuhnya usai—ia terus hidup dalam tubuh dan kata, dalam imaji yang menakutkan, dan dalam majas yang menggugah kesadaran. Ini bukan sekadar puisi, melainkan pengingat bahwa luka-luka kolektif harus dikenali, bukan diingkari. Jika tidak, ia akan terus berbisik dari balik jam mata kita—menunggu saatnya gugur.

Hasan Aspahani
Puisi: Kecemasan-Kecemasan yang Berguguran
Karya: Hasan Aspahani
© Sepenuhnya. All rights reserved.