Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Kehilangan (Karya Rustam Effendi)

Puisi "Kehilangan" karya Rustam Effendi bercerita tentang tokoh lirik yang kehilangan sesuatu yang diibaratkan sebagai “batu manikam intan”—simbol ...
Kehilangan

Mengalir air hiliran hari,
        halqat rantai perjalanan hidupku.
Terlepas bebas antara jari,
        haram dapat menahannya dahulu.

Suatu batu manikam intan,
        rurut hati melepaskan larinya.
Terkenang senang masa digenggam,
        putih mata merindukan kembalinya!

Bukan beta bodoh melepas;
Hanyalah lupa mempersunting manikam,
karena diragu pikiran réwan.

Masa' mungkin mau melepas,
jikalau dapat menahani édaran?
Rumaja dimaling kehendak Alam.

Sumber: Puitika Roestam Effendi dan Percikan Permenungan (2013)
Catatan:
halqat = cincin.

Analisis Puisi:

Puisi "Kehilangan" karya Rustam Effendi memotret perasaan kehilangan sesuatu yang sangat berharga. Dengan bahasa puitis dan simbolis, penyair menghadirkan gambaran betapa cepatnya sesuatu itu lepas dari genggaman, serta rasa penyesalan yang datang terlambat.

Tema

Tema utama puisi ini adalah kehilangan sesuatu yang berharga akibat kelalaian atau ketidaksengajaan. Dalam hal ini, penyair menggambarkan kehilangan sebagai bagian tak terhindarkan dari perjalanan hidup, meskipun ada rasa penyesalan mendalam yang menyertainya.

Puisi ini bercerita tentang tokoh lirik yang kehilangan sesuatu yang diibaratkan sebagai “batu manikam intan”—simbol dari sesuatu yang sangat bernilai, baik secara material maupun emosional. Benda berharga itu mengalir pergi bersama arus waktu (“hiliran hari”) dan tak dapat ditahan lagi. Ia mengenang masa-masa saat benda itu masih dalam genggaman, merasakan kebahagiaan, namun kini hanya bisa merindukannya. Kehilangan ini bukan karena kebodohan atau kesengajaan, melainkan karena kelengahan dan keraguan yang membuatnya lupa untuk “mempersunting” atau menjaga dengan sepenuh hati.

Makna tersirat

Makna tersirat puisi ini adalah pesan bahwa waktu dan kesempatan tidak dapat diulang. Apa yang berharga dalam hidup bisa hilang jika kita lengah atau ragu, dan penyesalan biasanya datang ketika semuanya telah terlambat. “Batu manikam intan” dalam puisi ini dapat menjadi simbol berbagai hal: cinta, persahabatan, masa muda, atau peluang emas yang hilang karena kurangnya perhatian.

Suasana dalam puisi

Suasana puisi ini didominasi rasa sedih, penyesalan, dan kerinduan. Pada awalnya ada kesan pasrah terhadap aliran waktu, lalu berkembang menjadi rasa pedih ketika kenangan indah di masa lalu kembali terbayang.

Amanat / Pesan yang disampaikan puisi

Amanat yang dapat diambil adalah pentingnya menjaga dan menghargai hal-hal berharga sebelum terlambat. Kesempatan, kebahagiaan, dan orang-orang yang kita sayangi harus dipelihara dengan kesadaran penuh, karena waktu dan takdir tidak selalu memberi kesempatan kedua.

Imaji

Puisi ini memunculkan imaji visual dan imaji taktil. Imaji visual muncul dalam gambaran “mengalir air hiliran hari” dan “batu manikam intan” yang meluncur lepas. Imaji taktil hadir dalam sensasi “antara jari” yang tak mampu menahan sesuatu yang licin dan berharga. Kedua imaji ini membuat pembaca merasakan secara nyata proses kehilangan yang digambarkan.

Majas

Beberapa majas yang menonjol dalam puisi ini adalah:
  • Metafora – “Batu manikam intan” digunakan sebagai lambang dari sesuatu yang sangat berharga.
  • Personifikasi – “Rumaja dimaling kehendak Alam” menggambarkan seolah alam memiliki kehendak yang dapat merampas masa muda.
  • Hiperbola – “Putih mata merindukan kembalinya” melebih-lebihkan rasa rindu hingga membuat mata seperti kehilangan warna.
  • Simbolisme – Aliran air menjadi simbol waktu yang terus bergerak tanpa bisa dihalangi.

Rustam Effendi
Puisi: Kehilangan
Karya: Rustam Effendi

Biodata Roestam Effendi:
  • Rustam Effendi lahir pada tanggal 13 Mei 1903 di Padang, Sumatra Barat.
  • Rustam Effendi meninggal dunia pada tanggal 24 Mei 1979 (pada usia 76) di Jakarta.
© Sepenuhnya. All rights reserved.