Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Kepada Darminto M. Sudarmo (Karya Gunoto Saparie)

Puisi “Kepada Darminto M. Sudarmo” karya Gunoto Saparie bercerita tentang seorang seniman (dalam hal ini Darminto M. Sudarmo) yang wafat sebelum ...
Kepada Darminto M. Sudarmo

lukisanmu belum sepenuhnya jadi
sapuan-sapuan kelabu di kanvas
dan garis-garis rawan yang menegas
barangkali cermin kalbumu sunyi

kau berkata: aku ingin punya galeri
untuk memajang lukisan-lukisan ini 
namun maut tak mengenal kompromi
ketika aku terkesiap kehilangan diri

lukisanmu belum sepenuhnya selesai
ketika suara jiwaku terus meronta
melintasi sekat ras dan bahasa
dalam pedih luka kugenggam sendiri

2022

Analisis Puisi:

Puisi “Kepada Darminto M. Sudarmo” karya Gunoto Saparie merupakan sebuah elegi atau semacam penghormatan kepada sosok yang sudah tiada. Melalui bait-baitnya, penyair menghadirkan refleksi tentang karya seni, kefanaan manusia, serta pergulatan batin yang ditinggalkan setelah kematian. Puisi ini menyimpan kesan mendalam karena tidak hanya menyentuh aspek personal, melainkan juga universal: hubungan antara manusia, karya, dan waktu.

Tema

Tema utama puisi ini adalah kematian dan warisan karya seni. Penyair menyoroti bagaimana seorang pelukis, Darminto M. Sudarmo, meninggalkan dunia ketika lukisannya masih belum selesai. Hal ini melambangkan ketidakselesaian dalam hidup manusia dan bagaimana karya seni menjadi penanda yang melampaui kematian.

Puisi ini bercerita tentang seorang seniman (dalam hal ini Darminto M. Sudarmo) yang wafat sebelum tuntas menyelesaikan karya-karyanya. Penyair menggambarkan kanvas, sapuan kelabu, dan keinginan untuk memiliki galeri sebagai simbol cita-cita yang belum tercapai. Maut datang tiba-tiba, memutus mimpi dan menyisakan luka serta kesunyian.

Makna Tersirat

Makna tersirat puisi ini adalah bahwa hidup manusia penuh keterbatasan, dan tidak semua impian dapat diwujudkan. Kematian datang tanpa kompromi, sering kali meninggalkan pekerjaan yang setengah jalan. Namun, justru dalam ketidakselesaian itu, karya seni memperoleh makna baru: ia menjadi representasi kerinduan, luka, sekaligus keabadian kenangan.

Selain itu, ada pesan tersirat tentang kekuatan seni sebagai warisan jiwa. Meskipun sang pelukis tiada, lukisannya tetap berbicara, menjadi simbol perasaan dan aspirasi yang tak pernah mati.

Suasana dalam Puisi

Suasana yang tergambar adalah melankolis, sunyi, dan penuh kehilangan. Pilihan kata seperti “kelabu”, “sunyi”, “pedih luka”, dan “terkesiap kehilangan diri” menegaskan nuansa duka mendalam. Namun, di balik itu juga ada semacam penghormatan yang tulus kepada sosok yang telah pergi.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Pesan yang dapat ditangkap dari puisi ini adalah bahwa manusia harus menyadari keterbatasannya. Hidup tidak selalu memberi ruang untuk menyelesaikan semua rencana, sehingga setiap langkah hendaknya dijalani dengan kesungguhan. Selain itu, seni hadir sebagai pengingat abadi akan eksistensi manusia, meskipun jasad telah tiada.

Imaji

Imaji dalam puisi ini kuat, terutama visual, misalnya:
  • “sapuan-sapuan kelabu di kanvas” — menghadirkan gambaran nyata tentang lukisan yang belum selesai.
  • “garis-garis rawan yang menegas” — memberikan bayangan tentang goresan yang mencerminkan kegelisahan.
  • “pedih luka kugenggam sendiri” — melahirkan imaji rasa sakit yang abstrak namun terasa emosional.

Majas

Beberapa majas yang menonjol dalam puisi ini antara lain:
  • Metafora: “cermin kalbumu sunyi” — melambangkan lukisan sebagai pantulan hati seniman.
  • Personifikasi: “suara jiwaku terus meronta” — memberi sifat hidup pada jiwa yang bergolak.
  • Hiperbola: “melintasi sekat ras dan bahasa” — menunjukkan betapa universalnya rasa kehilangan.
  • Simbolisme: sapuan kelabu, kanvas, dan galeri digunakan sebagai simbol impian serta perjalanan hidup yang terputus.
Puisi “Kepada Darminto M. Sudarmo” karya Gunoto Saparie bukan sekadar catatan duka, melainkan juga renungan tentang hidup, karya, dan keterbatasan manusia. Dengan tema kematian yang digarap melalui simbol lukisan, puisi ini berhasil menggabungkan rasa personal dan makna universal. Ia mengingatkan bahwa seni mampu menjembatani keabadian dan menjadi jejak abadi manusia setelah maut datang.

Gunoto Saparie
Puisi: Kepada Darminto M. Sudarmo
Karya: Gunoto Saparie


Biodata Gunoto Saparie:

Gunoto Saparie lahir di Kendal, Jawa Tengah, 22 Desember 1955. Pendidikan formal yang ditempuh adalah Sekolah Dasar Kadilangu, Cepiring, Kendal, Sekolah Menengah Pertama Cepiring, Kendal, Sekolah Menengah Ekonomi Atas Kendal, Akademi Uang dan Bank Yogyakarta, dan Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Semarang. Sedangkan pendidikan nonformal Madrasah Ibtidaiyyah Islamiyyah Tlahab, Gemuh, Kendal dan Pondok Pesantren KH Abdul Hamid Tlahab, Gemuh, Kendal.

Selain menulis puisi, ia juga mencipta cerita pendek, kritik sastra, esai, dan kolom, yang dimuat di sejumlah media cetak terbitan Semarang, Solo, Yogyakarta, Surabaya, Jakarta, Brunei Darussalam, Malaysia, Australia, dan Prancis. Kumpulan puisi tunggalnya yang telah terbit adalah Melancholia (Damad, Semarang, 1979), Solitaire (Indragiri, Semarang, 1981),  Malam Pertama (Mimbar, Semarang, 1996),  Penyair Kamar (Forum Komunikasi Wartawan Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah, Semarang, 2018), dan Mendung, Kabut, dan Lain-lain (Cerah Budaya Indonesia, Jakarta, 2019). Kumpulan esai tunggalnya Islam dalam Kesusastraan Indonesia (Yayasan Arus, Jakarta, 1986). Kumpulan cerita rakyatnya Ki Ageng Pandanaran: Dongeng Terpilih Jawa Tengah (Pusat Bahasa, Jakarta, 2004).  Novelnya Selamat Siang, Kekasih dimuat secara bersambung di Mingguan Bahari, Semarang (1978) dan Bau (Pelataran Sastra Kaliwungu, Kendal, 2019) yang menjadi nomine Penghargaan Prasidatama 2020 dari Balai Bahasa Jawa Tengah.

Ia juga pernah menerbitkan antologi puisi bersama Korrie Layun Rampan berjudul Putih! Putih! Putih! (Yogyakarta, 1976) dan Suara Sendawar Kendal (Karawang, 2015). Sejumlah puisi, cerita pendek, dan esainya termuat dalam antologi bersama para penulis lain.  Puisinya juga masuk dalam buku Manuel D'Indonesien Volume I terbitan L'asiatheque, Paris, Prancis, Januari 2012. Ia juga menulis puisi berbahasa Jawa (geguritan) di Panjebar Semangat dan Jaya Baya.

Ia menjabat Pemimpin Redaksi Kampus Indonesia (Jakarta), Tanahku (Semarang), Delik Hukum Jateng (Semarang) setelah sebelumnya menjabat Redaktur Pelaksana dan Staf Ahli Pemimpin Umum Koran Wawasan (Semarang), Pemimpin Redaksi Radio Gaya FM (Semarang), Redaktur Pelaksana Tabloid Faktual (Semarang), Redaktur Pelaksana Tabloid Otobursa Plus (Semarang), dan Redaktur Legislatif  (Jakarta).

Kini ia masih aktif menjadi Redaktur Pelaksana Majalah Info Koperasi (Kendal), Majalah Justice News (Semarang), dan Majalah Opini Publik (Blora).

Saat ini ia menjabat Ketua Umum Dewan Kesenian Jawa Tengah (DKJT), Fungsionaris Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Wilayah Jawa Tengah, Ketua III Komite Seni Budaya Nusantara (KSBN) Jawa Tengah, dan Ketua Forum Komunikasi Wartawan Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah. Sebelumnya ia pernah menjabat Ketua Kelompok Studi Seni Remaja (KSSR) Kendal, Ketua Pelaksana Dewan Teater Kendal, Sekretaris Forum Komunikasi Studi Mahasiswa Kekaryaan (Fokusmaker) Jawa Tengah, Wakil Ketua Ormas MKGR Jawa Tengah, Fungsionaris DPD Partai Golkar Jawa Tengah, Sekretaris DPD Badan Informasi dan Kehumasan Partai Golkar Jawa Tengah, dan Sekretaris Bidang Kehumasan DPW Partai Nasdem Jawa Tengah. 

Sejumlah penghargaan di bidang sastra, kebudayaan, dan jurnalistik telah diterimanya, antara lain dari Kepala Perwakilan PBB di Jakarta dan Nairobi, Ketua Persatuan Wartawan Indonesia Pusat, Menteri Perumahan Rakyat, Menteri Penerangan, Menteri Luar Negeri, Menteri Lingkungan Hidup, Pangdam IV/ Diponegoro, dan Kepala Balai Bahasa Jawa Tengah. Selain itu, di tengah kesibukannya menulis, ia kadang diundang untuk membaca puisi, menjadi juri lomba kesenian, pemakalah atau pembicara pada berbagai forum kesastraan dan kebahasaan, dan mengikuti sejumlah pertemuan sastrawan di Indonesia dan luar negeri.
© Sepenuhnya. All rights reserved.